Kearifan Sumenep; Sebuah Epistemologi Adat Kebudayaan






Oleh Mohroychan Fajar 

Sumenep, begitulah nama salah satu Kabupaten yang terletak di ujung timur pulau Madura. Dengan kapasitas penduduk lebih dari 1 Juta jiwa, nuansa intetarksi yang harmonis antara satu sama lain tetap terjaga dan dilestarikan. Hal demikian dapat terjadi tatkala prinsip dan nilai-nilai kei-Agama-an yang masih tertata rapi. 

Seakan tak habisnya, membuat banyak orang (luar madura) menyanjung dan memujinya. Kota luhur, damai dan nyaris tak tercium aroma konflik serius antara daerah ke daerah yang lain. Tentu, konstelasi tersebut sampai kini dapat terjaga dan masih dipandang penting karena masih adanya norma-norma sosial yang dihormati bersama. Sebagaimana norma, tercipta atas beberapa kebiasaan, lalu menjadi kesepakatan serentak.

Kebiasaan terebut, mengkristal menajdi satu perekat atas heterogenitas masing-masing masyarakat. Sebagaimana termafhum, kualitas otak seorang manusia pastilah berbeda antara satu-sama lain. Perbedaa tersebut, melebur menjadi satu kesatuan tak terpisah dalam satu sekepakatan serentak, sehingga kemudian menjadi norma yang membatasi prilaku diluar kesepakatan.

Norma-norma yang merupakah buah dari berbagai kesepakatan tersebut, menjadi “pengikat” untuk selalu dan senantiasa membanggakan hasil karya lokalitas penduduk. Karena tanpa pengikat, masyarakat akan bertindak bebas atas naluri dan keinginannya sendiri.

“Kebebasan” ini, amatlah berbahaya dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, tak ada hukum (ke)bebas(an) (sebebas-bebasnya) dalam konsepsi kehidupan bermasyarakat. Para ulama’ sangat puitis dalam merespon persoalan ini, “kebebasan kita, akan terbentur atas kebebasan orang lain”. artinya, seorang manusia tidak akan pernah hidup dalam kebebasan ditengah masyarakat. Karena, sintem masyarakat diatur secara bersama dan tidak boleh memihak secara indevidu.

Dalam bahasa yang berbeda, norma sosial adalah “polisi” bagi  masyarakat Sumenep untuk tetap menghormati dan bangga atas budayanya sendiri. Karena bagi masyarakat sumenep, budaya adalah ruh peradaban yang harus terus dilestarikan.

Epistemologi Kebudayaan Sumenep
Menurut seorang cendikiawan muslim berkebangsaan Iran, Al Syari’ati budaya adalah pengetahuan universal dan fundamental dalam satu kehidupan masyarakat. Dalam kehidupan sosial di masyarakat Sumenep, kebudayaan sudah menjadi suatu ciri hidup yang dibanggakan.

Memang seyogyanya suatu kebudayaan merupakan “barang” yang patut dibanggakan, karena pada akhirnya nanti kebudayaa tersebut akan diwariskan dari satu generasi ke generasi yang berikutnya. Selain dari pada itu, budaya masyarakat Sumenep juga merupakan manifestasi dari unsur-unsur seperti sistem Agama, Politik, dan Adat Istiadat yang dihormati secara utuh.

Unsur-unsur tersebut, menjadi simbol persaudaraan. Dalam hubungan persaudaraan, tentu tak akan mengenal chaos atas nama kepentingan pribadi, ia akan terus berupaya menyusun dan merumuskan bersama tentang hari esok yang cerah untuk anak dan cucunya kelak. Juga akan saling menjaga antara satu sama lain.

Sehingga, atas dasar tersebut, budaya yang dihasilkannya juga masuk dalam "karya pemikiran" yang wajib dilindungi berdasarkan prinsip persaudaraan tersebut. Budaya juga akan menjadi karakter, simbol, dan sebagai citra atas sikap dari masyarakat Sumenep itu sendiri.

Dalam konteks ini kebudayaan harus dipahami, sebagai satu cara hidup yang bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Aspek-aspek budaya turut menentukan prilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial penduduk Sumenep.

Termasuk dengan sikap masyarakat Sumenep yang dikenal sebagai pemberani. Dan termanifestasikan dalam budaya yang dikenal Carok. Dalam adagiumnya dikenal “katembeng pote matah penguk poteah tolang” (ketimbang puti matah lebih baik putih tulang).

Kendati sepintas adagium ini mengandung nilai anarkisme. “Pote tolang” (putih tulang) berarti luka sampai terlihat tulangnya dari bacokan clurit. Namun sebenarnya, budaya carok ini, bagian dari menjaga sakralitas norma-norma yang disepakati bersama sebagai landasan kehidupan bermasyarakat.

Budaya carok ini, tidak sebagaimana banyak orang menjadikan bahan legetimasi bahwa masayarakat Madura—termasuk Sumenep—adalah sekelompok masyarakat yang biadab, arogan dan tidak mengenal sikap kasih dan sayang antar sesama.

Meminjam bahasanya Huub De Jonge, Carok  adalah kebudayaan masyarakat Madura sebagai tindakan menolong sendiri dengan sebab yang pasti, suatu motif di balik hilangnya kesabaran orang lain. Carok merupakan gambaran atas tegasnya masyarakat Sumenep dalam membina kesepakatan, etika, kesantunan yang harus dijunjung bersama sebagai satu bentuk prinsip persaudaraan.

Carok ini, hanya terjadi bilamana ada pelanggaran norma-norma sosial yang sudah bersifat fatal. Semisal, mengambil istri orang lain, melecehkan hak-hak orang lain, dan sejenisnya. Karena bagi masyarakat madura, harga diri sangat mahal dan tak bisa ditukar dengan apapun.

Pelanggaran norma sosial adalah bentuk pudarnya kedisiplinan dalam menjunjung tinggi prinsip kebersamaan sebagai satu masyarakat arif. Apabila hal itu akan terus dilestarikan—tanpa ujung yang pasti—maka seluruh sistem masyarakat akan juga ikut memudar. Kehidupannya juga tak akan menjadi aman dan damai kembali.

Selain dari pada itu, Sumenep sebagai luhur juga termanifetasikan dalam kebudayaan-kebudayaan yang arif dan bijaksana. Dalam hal ini, tergambarkan dalam budaya Kerapan Sapeh. Budaya satu ini, mengandung nilai filosofis yang bijaksana. Karena, dalam budaya tersebut, orang Sumenep meyakini bahwa aduan sapi yang terdiri dari sapi jantan tersebut, merupakan gambaran tentang keperkasaan, ketabahan, dan kesabaran pria-pria madura dalam menghadapi kerasnya hidup.

Tidak hanya bagi kaum pria, masyarakat madura juga memiliki kasih sayang yang besar untuk kaum perempuan, hal demikian terbukti dalam budaya kontes Sape Sono’, dan yang diikutkan hanya sapi betina dengan dihiasi se-menarik mungkin untuk tampil dihadapan orang banyak yang menyaksikannya.

Nilai filosofis yang dapat dipetik dalam budaya ini, masayarakat madura juga memberi gerak bagi kaum perempuan, agar tidak hanya melakukan tugas-tugas di dapur, namun memiliki kesempatan untuk tampil di publik dalam membangun sebuah peradaban.

Maka dari itu, persoalan-persoalan kebudayaan tak akan pernah lepas dari cerminan kehidupan lokal penduduknya. Sumenep masih tetap dalam nuansa kearifannya. Atas prinsip persaudaraan, sikap gotong royong, saling mengasihi, dan ikut sengsara atas kesedihan para tetangganya tetap menjadi tradisi sampai detik ini.

Dalam hal demikian penulis ingin mengakhiri tulisan ini, sebagaimana Huub Dee Junge, sebagai antropolog yang berhasil mengangkat harkat martabat masyarakat Madura (termasuk Sumenep di dalamya) menulis, “Di seberang kejanggalan, keprimitifan, kebiadaban orang Madura, ada kesantunan, kemajuan, keteraturan, kemanusiaan dan keberadaban kelompok sendiri”. Wallahua’lam… 

*Penulis adalah seorang putra yang masih 
bangga pada pekerjaan Bapak dan Ibunya sebagai petani

Keragaman; dalam “Membunuh” Kepastian


Oleh Moh Roychan Fajar*

Konsepsi terntang cara manusia hidup dan bagaimana manusia harus bersikap adalah “metode” yang selalu tak bertahan lama—metode-metode tersebut akan terus bergerak melalui tahapan-tahapan yang akan berpuncak pada kondisi normal dan kemudian “membusuk” karena telah digantikan oleh metode (cara) yang lain. Demikian selanjutnya, metode baru mengancam metode lama yang sebelumnya juga menjadi metode baru.

Perubahan-perubahan tersebut terjadi tatkala sejarah kelahiran dunia pertama kali hadir dengan banyak perbedaan hingga kini dalam perkembangannya. Perbedaan tersebut lahir dari prodak pemikiran yang dengan kodratnya terus berkembang tanpa kenal puas. Sehingga, tak ada satu pun yang “ada”  akan bersifat abadi untuk merusmukan sebuah nilai ‘kebaikan’ dan kebenaran yang termanifestasikan dalam mekanisme kehidupan manusia an sich, dengan bahasa yang berbeda Bertrand Russell menulis, bahwa tak ada seorang pun yang akan bisa mencapai kebenaran yang utuh dan tuntas mengenai persoalan apapun.

Heterogenitas manusia dalam menghadapi persoalan yang dilaluinya semakin menajdi sebuah tantangan berat bagi pemuka agama, filosof, bahkan ilmuwan untuk menarik pangkal dan ujung—layaknya—sebuah benang merah yang tertumpuk di tempat sampah. Kebanaran abadi dalam sejarah kehidupan manusia tak pernah mampu untuk dicapainyaapa yang menurut Plato yakini kebenarannya di Yunani kono dulu, dihancurkan di kemudian hari oleh muridnya, Arestoteles.

Konstelasi pemikiran tersbut terus berlangsung berabad-abad hingga saat ini, hanya dalam rangka membangun sebuah gagasan ilmiah untuk mekanisme kehidupan manusia. Kelahiran agama acapkali dipercaya sebagai “pahlawan” di medan problematika kehidupan di dunia. Namun sayang, cita-cita tersebut kini terlihat miris kala Agama selalu dibantah oleh perkembangan sience, teologi dan filsafat modern.

Bantahan dan guggatan tersebut terlihat produktif dalam kritik ontologi-metafisik yang jauh dari rasionalitas—yang telah menjadi ukuran kebenaran horizon pemikiran modern. Karya-karya teolog klasik layaknya al-Farabi, al-Ghazali, Mulla Sadra, Thomas Aquines dan St. Agustinus dinilai sebagai prodak pemikiran yang lahir dari banguna imajinasi—yang jelas imajinasi tak butuh penalaran secara rasional—dalam mencapai sebuah kongklusi utuh perihal kebenaran absolut.

Kompleksitas
Tak diragukan kembali, lahirnya Abad modern dengan lantang berteriak untuk mendekonstruksi bangunan etika, moral dan normaa-norma sosial yang disepakati oleh kodifikasi hukum Agama yang dinilai irasional dan penuh dengan tahayul-mistika untuk mengatasi kehidupan riil umat manusia. Ide-ide kebenaran Agama secara konsepsional terus diragukan dan terus dicarikan sebuah alternatif untu membangun kembali epistimologi yang otonom, tentunya dengan berlandaskan rasio yang normal.

Upaya tersebut, dilakukan sebagai usaha untuk menggapai sebuah kesepekatan penuh dalam mendiskreditkan eksistensi agama. Boleh saja, apabila Karl Marx melihat agama sebagai candu yang kehadirannya meninabobokan eksistensi kemanusiawian seorang manusia. Juga, Sigmun Freud, yang menganggap para pemeluk agama sebagai manusia-manusia yang mengidap penyakit neorotis (penyakit jiwa) dan haru masuk Rumah Sakit Jiwa untuk menyembuhkannya.

Dua pemikir tak kenal agama itu, barang kali akan menarik gagasannya, manakala, sampai hari ini, mereka saksikan bahwa agama tetap menjadi kebutuhan atas keberlangsungan hidup umat manusia. Tentu bekan dalam rangka, ingin mengatakan bahwa dua pemikir tersebut salah atau keliru dalam mengambil kesimpulan. Karena, hal demikian adalah masuk dalam kategori konsepsi kehidupan yang digagas dan tak harus sama antara satu sama lain tentunya.

Sebagaimana termafhum, manusia akan terus memburu kebenaran. Karena tanpa keyakinan atas sesuatu yang ia anggap benar, ia tidak akan puas. Dan akan selalu bertanya. Sebagaimana Hegel, ia mengibaratkan pengetahuan manusia sebagai perjalanan panjang menuju Roh Absolut, yang merupakan satu-satunya pengetahuan manusia dalam bentuk yang paling sempurna. Manusia memahami dirinya sebagai subjek dangan melakukan dialektika denngan sejarah, sehingga akhirnya mencapai kesempurnaan yang berpuncak pada kesadaran diri yang menyeluruh.

Akan tetapi, model berpikir semacam ini ditolak oleh postmodernisme. Karena terbukti bahwa krangka epistemologi semacam ini, hanya mewariskan filsafat totaliter, yang menjatuhka segalanya kepada satu entitas tunggal. Dan pada akhirnya, akan ‘menyandra’ entitas-entitas yang lain untuk berekspresi dalam menawarkan solusi.

Maka dari itu, dunia sedang melaksanakan sleksi tentang bagaimana caranya untuk mencapai kebenaran yang hakiki. Keragaman berpendapat akan terus tercipta. Tentu harus dihormati, bukan malah dibakar dan di bom. Bukankah Ibnu Rusyd, sorang folosof islam berasal dari tanah Andalusia, memberi petuah memukau tentang keragaman? Ra’yuna shahih yahtamil al-khata’, wa ra’yu ghairihi khata’ yahtamil al-shahih (pendapat kami benar, tapi ada kemungkinan mengandung kesalahan; dan pendapat selain kami salah tapi mungkin juga mengandung kebenaran). Wallahua’lam…  

*Penulis adalah manusia waras
Guluk-guluk 19 Oktober 2014


NU dan Aswaja; Merajut Indonesia Bermartabat


 

Oleh: Moh. Roychan Fajar[1]

Sejarah kelahiran Nahdlatul Ulama’ tak dapat terlepas dari proses perkembangan umat Islam dalam konteks pemikiran maupun politik—baik ranah lokal, nasional maupun internasional. Pada masa itu tak bisa dipungkiri, dialektika gerakan-gerakan imprealisme-kolonialisme Belanda yang semakin menunjukkan taring-taringnya untuk memperbudak masyarakat pribumi Nusantara, serta gerakan kaum agamis pembaharu yang semakin memperlebarkan sayap upaya konstuksi pradigma baru bagi masyarakat di tanah Nusantara, harus mendapat respon serius dari bangsa Indonesia.

Pada masa pra kemerdekaan Indonesia, kala gerakan-geran kolonialisme Belandan mengeksploitasi di semenanjung tanah Nusantara, serta gerakan-gerakan wahabisme yang mengatas namakan sebagai ajaran-ajaran pembaharu dari wilayah timur tengah. Membuat para kiai tanah air gelisan atas realitas ini, yang konon bagi mereka realitas ini mengancam sendi-sendi kedaulatan bangsa di satu sisi dan keteguhan pemahaman keagamaan model tradisionalis—dalam bingkai Ahlussunnah Waljama’ah—yang telah diyakin pada sisi yang berbeda[2].

Sehingga, para kiai-kiai pesantren dan tokoh-tokoh agama yang lainnya beri’tikad menciptakan organisasi keislaman yang berbasis masyarakat pinggiran dan ‘kaum sarungan’ (pesantren) dengan ideologi Ahlussunnah Walja’ah sebagai landasan berpikirir dalam membingkai dan menjaga tradisi masyarakat ke-Islaman sebagai prisai dalam membentengi gempuran ajaran-ajaran modernis yang dihawatirkan akan menggerus budaya dan tradisi masyarakat pedesaan yang memang telah menjadi identitas kental.

Dalam melestarikan tradisi dan keasrian pemahaman keagamaan model tradisionalis, dan mengatasi adaya kekhawatiran dari sebagian umat islam yang berbasis pesantren terhadap gerakan kaum modernis yang meminggirkan mereka, pada tanggal 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H)[3] para tokoh agama dan kiai-kiai pesantreen menggagas jami’iyah sebagai organisasi umat islam, dengan sebuah nama Nahdlotoel Oelama’, sebuah nama yang diusung oleh H. Alwi Abdul Aziz. Tentu, dalam organisasi ini bergerak sebagai penjaga gawang atas tradisi-tradisi islam tradisionalis[4] dari gerakan Wahabi yang dimotori oleh Ibnu Sa’ud yang berhasil menguasai Mekah Saudi Arabiah berkat bantuan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang tak lain sebagai ketua kelompok wahabi.

Kendati NU (Nahdlatul Ulama’) lahir berdasarkan wawasan keagamaan tidak kebangsaan, namun organisasi para kiai dan para santri ini, juga berperan aktif dalam turun ke medan perang upaya menyapu bersih emprialis-kolonialisme Belanda yang telah membuat masyarakat sangat gelisah atas pengaruh tersebut.

Untuk mencapai cita-cita tersebut—yang telah didambakan pula oleh seluruh pendudu tanah air—NU beserta para kiai dan para santri terus berteriak dan bergerak untuk mencapai perubahan bangsa yang telah lama diduduki dan takhluk dibawah kekuasaan penjajah agar cepat menghirup udara bebas dari segala bentuk penjajahan Negara Belanda. Karena, tak dapat dipungkiri imprealis-kolonialisme Belanda telah jelas mmencedrai nilai-nilai kemanusiaan; entah dalam bentuk penyiksaan, pemerasan dsb.

Para ulama’ dan santri terus menentang ajaran-ajaran  para penduduk Asing Belanda yang tak sesuai dengan adat budaya bangsa Indonesia  yang anti kekerasan dan penindasan, seperti yang telah ditulis oleh Choirul Anam dalam bukunya Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama’. Perjuangan NU secara kultular di bawah komando Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar dalam srtuktur kepengurusan Nahdlatul Ulama’ terus berkiprah seesuai alur sejarah.

Semangat nasionalisme untuk bebas dari belenggu penjajah asing, menjadi agenda besar bagi kiai-kiai dan para santri yang tergabung dalam organisasi NU. Tak cukup hanya berharap dan berteriak tentang semangat nasionalisme. Semangat nasionalisme di kalangan ulama-lah kata-kata bangsa dan nasionalisme sangat kuat menggerakkan semangat mereka untuk membebaskan Indonesia dari penjajahan bangsa asing[5].

Gelora nasionalisme ini kemudian dibuktikan pada lahirnya Sumpah Pemuda, dan juga pada tahun 1945 saat negara Indonesia baru berdiri. Kala itu, indonesia menghadapi tantangan akan dijajah kembali. Resolusi Jihad yang dikeluarkan KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 yang mewajibkan kaum santri beserta masyarakat setempat, berperang menghadapi Tentara Sekutu, Inggris dan Belanda, telah membakar semangat heroisme rakyat dan umat Islam untuk terlibat mempertaruhkan nyawa guna mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Itu ditunjukkan dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Dan perlawanan heroik tersebut kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan[6].

Perjuangan NU adalah perjuangan para kiai, santri dan para penduduk yang berada di wilayah pelosok pedesaan di segala penjuru Indonesia. Tiga tokoh besar dalam NU, KH Wahab Habullah, KH Hasyi Asy’ari, dan KH Kholil, merupakan pionir signifikan dalam tubuh NU.

NU dalam Membina Masyarakat Heterogen
Sketsa sejarah tebentuknya NU, adalah bagian dari prestasi agung tersendiri dalam romantisme sejarah masa lalu kemerdekaan Indonesia. Terlihat sangat jelas kiprah NU dalam membentuk jati diri Bangsa Indonesia.

Dalam perkembangannya secara historis, NU terus menjadi ‘episentrum’ gagasan dalam membina seluruh penduduk Indonesian yang hidup dalam interaksi sosial yang penuh dengan keberagaman budaya, tradisi, dan kepercayaan.

Di tengah heterogenitas masyarakat Indonesia, NU tetap bergerak dengan berjalan di garis-garis prinsip Aswaja—yang tak lain memang merupakan ideologi NU dalam setiap gagasannya—untuk membangun bangsa yang tetap mengghormati nilai-nilai humanistik sesama umat manusia di semenanjung bumi Indonesia.

Sebagai organisasi para kiai-kiai besar yang diharapkan mampu mengemban tugas untuk membawa bangsa pada nasib yang lebih baik, dalam wilayah pemikiran NU harus selaluu bersikap eksklusif dalam setiap perbedaan dan tolenransi yang sangat tinggi pada pluralisme agama dan budaya.

Karena sudah barang tentu, bahwa Indonesia adalah bagsa yang memiliki wilayah sangat luas. Dapat dibayangkan total luas negara, 5. 193.250 km2 (mencakup daratan dan lautan) hal ini menempatkan Indonesia sebagai negara terluas ke-7 didunia setelah Rusia, Kanada, Amerika Serikat, China Brasil dan Australia[7]. Maka tidak heran apabila penduduk Indonesia memiliki tradisi dan budaya yang beraneka ragam dari setiap wilayah yang mereka tempati. Oleh karna itu, NU dalam rangka membangun masyarakat yang tetap menghargai segala perbedaan dari masing-masing kelompok dan wilayah, di segala penjuruh bangsa, prinsip Aswaja (Ahlussunnah Waljama’ah) menjadi salah satu kunci utama yang menjadi landasan atas strategi NU dalam mencapai misi-misinya tersebut.

NU sebagai interpretasi dari gerakan kaum tradisionalis, menjadi wadah yang menampung masyarakat mayoritas secara geografis berada dalam wilayah pinggiran[8]. Masyarakat pinggiran (pedesaan) cenderung membangun peradabannya melaui proses akulturasi tradisionalis. Tradisionalitas dapat dipahami sebagai kecenderungan untuk melakukan sesuatu yang telah dilakukan oleh pendahulu, dan memandang masa lampau sebagai otoritas dari segala bentuk yang telah mapan.[9]

Dalam hal ini, NU brusaha untuk mengekspresikan bentuk pemikiran atau keyakinan yang berpegang pada ikatan masa lampau dan sudah diperaktekkan oleh Nabi Muhammad SAW[10] selama proses gerakan sejarah peradaban Islam. Tentu, hal demikian dilakukan dalam rangka menjaga keasrian gagasan tradisionalis untuk tetap mempertahankan Identitas Islam di Indonesia agar tetap berpijak pada lorong-lorong Ahlussunnah Waljama’ah yang diyakini sebgai ideologi yang akan mamapu untuk menjadi landasan berpikir dalam membingkai keberagaman penduduk Indonesia.

Keberagaman yang terdapat di bangsa ini, termasuk masyarakat tradisional—yang memang sebagai salah satu basis NU—memiliki karakter yang khas, hal demikian dapat kita saksikan atas budaya dan tradisi yang mereka bangun untuk peradabannya. Misalkan: sikap tolong menolong, gotong royong, yang terus aktif berkembang, kendati perkembangn zaman telah berusaha unntuk menyapunya.

Karakter khas ini, nampak jelas ketika dalam sebuah desa berkumpul masyarakat untuk tahlil bersama kepada salah satu dari kerabat mereka yang meninggal dunia. Sementara NU, organisasi yang dapat dibilang sebagai orgasnisasi tertua ini, menjaga segala bentuk tradisi dan budaya tersebut.

Perlu untuk dijaga, karna secara ontologis bentuk tradisi-budaya yang selalu terpraktekkan dalam interaksi masyarakat, adalah bagian modifikasi sosial agar respon kekerabatan atar sesama dapat selalu dijaga dengan penuh keharmonisan didalamnya. Selain nilai teologi yang dapat diambil, namun juga nilai sosial yang terkandung dalamnya juga sangat besar manfaatnya.

NU dalam memelihara tradisi, berpijak pada adagium klasik: Al-muhafadhatu ‘ala al-qadim al-shalih wa-I-akdzu bi-Ijadi al-shlah (memelihara apa yang baik dari masa lampau dan mengambil apa yang lebih cocok yang dihasilkan masa kini merupakan motto yang tidak hanya diucapkan melainkan dihayati).

Atas dasar tersebut, NU bersedia berada di garda paling depan dalam mepertahnkan tadisi dan budaya tradisional penduduk Indonesia. Termasuk di dalamnya, tradisi tahlil—seperti yang telah sedikit terjabarkan diatas,—qunut subuh[11], salawatan[12], adzan jum’at dua kali, wiridan setelah shalat arrdhu, pembacaan niat shalat (ushalli), peringatan tahunan orang mati (haul), ziarah kubur, pembacaan taqlid[13] dan tarawih 20 raka’at.

Berbagai tradisi diatas, sebagai bukti kongkret bahwa NU sebagai penjaga tradisi budaya masyarakat yang penulis temui dalam kehidupan masyarakat yang hidup dalam wilayah pedesaan. Oleh karena itu, bernmacam strategi yang telah digagas oleh NU dalam menjaga masyarakat agar tetap hudup rukun dengan satu keyakinan sebagai umat muslim.

Sebagai dari bagian upaya NU untuk merawat traddisi dan keberagaman penduduk Indonesia, dengan ideologi Ahlussunnah wal Jama’a, sikap kemasyarakatan yang diambil Nahdlatul Ulama’ bermuara atas beberapa prinsip yang terkandung di dalamnya. Prinsip-prinsip aswaja, tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), ta’addul (adil), tawazun (seimbang)[14], telah menjadi karakter khas orang-orang NU di tengah kehidupan masyaraka luas. Empat prinsip ini, sekaligus menjadi pola pikir warga nahdliyyin sebagai wujud dari pemahaman Aswaja yang mesti diimplementasikan ditengan masyarakat heterogen.

Aswaja Sebagai Bingkai Keberagaman
Apabila ‘flashback’ sejenak pada alur historis Aswaja, tak lain adalah ideologi yang lahir dari pemikiran Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi, saat terjadi problematika teologis ketika suhu politik Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah menampakkan taring runcingnya. Sehingga, bias dari realitas ini, islam terpecah menjadi beberapa kelompok. Dalam perpecahan ini, lahirlah pula aswaja yang digagas oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi.

Kedua tokoh tersebut acapkali dianggap sebagai tokoh Aswaja dibidang Aqidah, apabila ditarik benag merah dari kedua tokoh ini, bahwa dari berbagai epistimologi pemikirannya terlihat sebuah tipologi pemikiran teologis dengan prinsip untuk tetap berpijak pada tradisi (al-sunnah) yang shahih dan cara pendekatan yang dapat memuaskan tuntutan penalaran tanpa mengabaikan (keluar) terlalu jauh dari makna yang tersurat dari teks, merupakan metode pemahaman keagamaan yang dicoba dikembangkan oleh Asy’ari dan al-Maturidi[15].

Kerangka teori berpikir ini, nampaknya merupakan suatu pemahaman keagamaan yang tidak hanya memberikan implikasi pada kehidupan individu, tetapi berimbas pada interaksi soial dalam realitas penduduk atas segala perbedaan yang tak terbantahkan di dalamnya.

Walhasil, akan melahirkan konsep harmonisasi antara model berfikir tekstual dan kontekstual. Jika hal ini dapat difahami secara benar dan dinamis, pada gilirannya akan melahirkan pola keberagaman yang “ramah” terhadap kultur dan kearifan lokal, tanpa harus keluar dari semangat keislaman[16].

Konsep teoretis Aswaja ini, yang telah menjadi metode berpikir Nahdlatul Ulama’. Dalam kerangka ini, NU memiliki manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah sebagai berikut: Pertama, dalam bidang aqidah (teologi), Nahdlatul Ulama’ Manhaj dan pemikirannya bertumpu pada gagasan Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi.

Kedua, dalam bidang fiqh Ahlussunnah wal Jama’ah bermadzhab secara qauli dan manhaji kepada salah satu al-Madzhib al-‘Arba’ah (Hanafi, Maliki, Syafi,I dan Hambali). Ketiga, sementara dalam bidang Tasawuf, NU mengikuti Imam Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid al-Ghazali (150-505 H./1058-1111 M.)[17].

Tiga gerakan ini, (aqidah, fiqih dan tasawuf) dalam tubuh Aswaja yang diyakini oleh NU sebagai Ideologi final dan akan membangun realitas sosial yang harmonis dalam proses interaksi pluralitas masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, tiga bagian pokok dalam literatur kerangka pemahaman Aswaja menjadi landasan yang dipercaya sebagai setting sosial-masyarakat.

Pengetahuan tentang Aswaja—tiga bagian di dalamnya—menjadi pengetahuan pokok dalam proses kehidupan manusia yang menganutnya. Dalam kerangka ini, pada dasarnya membicarakan dua hal pokok. Pertama, apa yang harus diyakini kaum nahdiyyin[18] dalam kehidupannya. Pengetahuan ini dikenal sebagai pengetahuan aqidah—dalam aswaja menganut atas pemikiran dua tokoh; antara Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi.

Kedua, tentang apa yang mesti diaplikasikan oleh kaum nahdiyyin dalam segala bentuk apa yang akan ia lakukan dalam kehidupannya. Pengetahuan semacam ini kemudian mengkristal menjadi Ilmu syari’ah. Konseptualisasi pengetahuan syari’ah terbelah menjadi dua bagian pula, entah itu ada pada pengetahuan yang kita sebut fiqh—sebagai disiplin pengetahuan Islam yang mengatur segala bentuk aktifitas manusia dalam perspektif Islam—dan tasawuf—tingkat pengetauan yang mengajarkan (cara dsb) untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah sehingga memperoleh hubungan langsung secara sadar dengan-Nya[19].

Segala bentuk kerangka epistimolgis dari gagasan beberapa tokoh Aswaja yang kemudian menciptakan tiga gerakan (aqidah, fiqih, tasawuf), hal tersebut menjadi bagin terpenting dalam pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah. Sementara, posisi  NU sebagai aktor yang megang kemudi gagasan ideology tersebut, karna kelahiran NU memang sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakata. Tentu tugasnya pun harus berusaha membina berbagai hal yang terjadi dan mungkin akan terjadi dalam proses kehidupan masyarakat, yang kehidupannya penuh dengan berbagai perbedaan.

Cita-cita NU dalam menjaga segala bentuk perbedaan tradisionalitas penduduk Indonesia, dapat tercapai melalui beberapa hal yang telah dilakukannya. Kehidupan harmonis yang dapat dirasa hingga saat ini, berkat kerja keras NU dalam mebingkai segala pluralitas yang ada.

Pada zaman yang banyak orang mengagungkan ini, tak jarang terdengar kabar atas terciptanya konflik besar atas nama agama. Hal yang lebih kronis lagi, atas terciptanya konflik tersebut, banyak menjatuhkan korban-korban, bahkan sampai beribu-ribu nyawa yang melayang hanya karna persoalan yang menurut Dr. Ali Syari’ati “keterikatan palsu”—dalam kelompok manusia yang memiliki satu keyakinan teologis, namun bertikai antara satu dengan yang lainnya.

Namun tidak bagi Indonesia, indonesia yang notabene terdiri dari strata masyakat yang menganut agama islam, tetap saling menghargai atas segala perbedaannya; entah bagi sesama kaum muslim di dalamnya, atau pada agama yang non-muslim sekalipun. Di berbagai negara yang lain, dapat disaksikan betapa permusuhan antara orang Katolik dan Protestan di Ulster; Islam dan Kristen di Beirut dan Bethlehem; orang Katolik Kroasia dan orang Gereja Ortodoks Serbia dan orang Islam di bekas Yugoslavia; orang Sunni dan Syiah di Baghdad. Beribu-ribu orang tewas dan cacat dan telantar[20].

Indonesia sampai saat ini, berhasil mempertahankan idealismenya karna pengaruh NU yang berhasil membingkai seleruh masyarakat yang hidup dalam interaksi sosial yang penuh dengan berbagai perbedaan; entah dalam persoalan keyakinan, budaya, tradisi dsb. Sekali lagi, hal tersebut kana perawatan NU kepada Indonesia yang sampai saat ini tetap sebagai bangsa yang selalu kita banggakan bersama. Wallahu A’lam...
                                            

[1] Moh. Roychan Fajar, Lahir Sumenap 23 September 1994, nyantri di Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa, Guluk-Guluk Sumenep Madura, kini kuliah di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Guluk-guluk, semester IV Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI). Aktif di sejumlah organisasi dan komunitas: sebagai kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Komisariat Guluk-Guluk angkatan Gema Demokrasi, sebagai pengurus sekaligus Pimpinan Redaksi Fajar News Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Fajar Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika), juga sebagai Ketua komunitas kajian Filsafat “Ijtihadul Falasifah.” Dan aktif dalam komunitas “Jamand” lembaga kajian para sejarawan muslim. Dan tinggal di alamat alhakim_fajar@yahoo.co.id.

[2] Wasil, Gusdur Sang Guru Bangsa Pergolakan Islam, Kemanusiaan dan Kebangsaan, (Yogyakarta: INTERPENA Yogyakarta, 2010), hal 73.

[3] Imam Muhlis, Ijtihad Kebangsaan Soekarno dan NU, (Kebumen: CV Tenaga Emas Publiser), hal 113.

[4] Kelompok tradisionalis sering dikategorikan sebagai kelompok Islam yang masih mempraktekkan beberapa praktek tahayyul, bid'ah, khurafat, dan beberapa budaya animisme, atau sering diidentikkan dengan ekspresi Islam lokal.

[5] Ahmad Baso Menulis dlam Makalahnya yang berjudul NU Studies Vis-À-Vis Islamic Studies Perspektif dan Metodologi dari, Oleh dan Untuk Islam Indonesia Pasca 11 September.

[6]Ibid

[7] www.inovonesia.com/luas-wilayah-negara-indonesia.html. diakses pada hari selasa 18 Februari 2014, pukul 12 30 WIB.

[8] Pinggiran, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia—KBBI-Offline—adalah penduduk yang tinggal di pinggiran kota.

[9] Andrew Rippin, Muslim, hal, 6.

[10] Ibid.

[11] Secara etimologi, ini berarti berhenti sejenak. Pembacaan do’a ini biasanya dibaca setelah ruku’ terakhir shalat subuh. Dalam pembacaan quunut ini, sering kali diklaim sebagai do’a yang merupakan hasil dari inovasi. Bahkan respon yang lain, ada yang sampai mengharamkan atas melakukan pembacaan qunut tersebut, hal demikian sering kali terjadi bagi kalangan yang mengatasnamakan dirinya sebagai kaum reformis.

[12] Pembacaan shalawat ini, biasanya dilaksanakan setiap malam jum’at sebagai malam yang suci di mushallah-musallah dan mesjid. Ada pula, dalam pembacaan shalawat ini, dikolaborasikan dengan musik rebana yang dilantunkan dalam bentuk irama lagu.

[13] Secara etimologis, hal ini berarti bimbingan atau petunjuk. Dalam pembacaan do’a ini, biasaanya dibaca diatas kuburan seetelah baru selesai proses pemakaman atas seseorang yang telah meninggal. Do’a ini, diharapkan agar orang yang baru menigggal tersebut, mendapatkan tuntunan dan petunjuk untuk menjawab segala pertanyaan-pertanyaan dari penjaga kubur agas dapat lolos dari siksa kubur. Lebih jelas, lihat Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis Lokalitas, Pluralisme, Terorisme, (Yogyakarta: LKiS, 2011). Hal, 179-180.

[14] Tentang ciri-ciri Fikrah Nahdiyah atau prinsip-prinsip Aswaja, Lihat di, KH. Abdurrahman Nvis, Muhammad Idrus Ramli, Faris Khoirul Anam, Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah dari Pembiasaan menuju Pemahaman dan Pembelaan Akidah-Amalian NU, (Surabaya: Khalista, 2012). Hal, 169 

[15] http://cholsproduction.blogspot.com/2013/12/aswaja-dalam-perspektif-akidah.html. Diakses pada hari selasa 18 Februari 2014.

[16]Ibid.

[17] KH. Abdurrahman Navis, Muhammad Idrus Ramli, Faris Khoirul Anam, Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah dari Pembiasaan menuju Pemahaman dan Pembelaan Akidah-Amalian NU, (Surabaya: Khalista, 2012). Hal, 126. 

[18] Nahdiyyin adalah kelomlompok orang atau indevidu yang tetap memiliki metode berpikir, prilaku, dan pengetahuan ke-NU-an. Lebih jelasnya, hal ini terdapat dalam buku Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah dari Pembiasaan menuju Pemahaman dan Pembelaan Akidah-Amalian NU.

[19] Penjelasn tentang ilmu tasawuf, diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI offline).

[20] Goenawan Muhammad mengutip dalam esainya, yang dimuat oleh TEMPO Edisi. 23/XXXIIIIII/ 30 Juli - 05 Agustus 2007 di rubrik Catatan Pinggir. <strike></strike></strike></strike>
 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates