Oleh Moh Roychan Fajar*
Konsepsi
terntang cara manusia hidup dan
bagaimana manusia harus bersikap adalah “metode” yang selalu tak bertahan lama—metode-metode tersebut akan terus
bergerak melalui tahapan-tahapan yang akan berpuncak pada kondisi
normal dan kemudian “membusuk” karena telah digantikan oleh metode (cara) yang lain.
Demikian selanjutnya, metode baru
mengancam metode lama
yang sebelumnya juga menjadi metode baru.
Perubahan-perubahan tersebut terjadi
tatkala sejarah kelahiran dunia pertama kali hadir dengan banyak perbedaan hingga
kini dalam perkembangannya.
Perbedaan tersebut lahir dari prodak pemikiran yang dengan kodratnya terus
berkembang tanpa kenal puas. Sehingga, tak ada satu pun yang “ada” akan
bersifat abadi untuk
merusmukan sebuah nilai ‘kebaikan’ dan kebenaran
yang termanifestasikan dalam mekanisme kehidupan manusia an sich, dengan
bahasa yang berbeda Bertrand Russell menulis, bahwa tak ada seorang pun yang
akan bisa mencapai kebenaran yang utuh dan tuntas mengenai persoalan apapun.
Heterogenitas
manusia dalam menghadapi persoalan yang dilaluinya semakin menajdi sebuah
tantangan berat bagi pemuka agama, filosof, bahkan ilmuwan untuk
menarik pangkal dan ujung—layaknya—sebuah benang
merah yang tertumpuk di tempat sampah. Kebanaran abadi dalam sejarah kehidupan
manusia tak pernah mampu untuk dicapainya—apa yang
menurut Plato yakini kebenarannya di Yunani kono dulu, dihancurkan di kemudian
hari oleh muridnya, Arestoteles.
Konstelasi
pemikiran tersbut terus berlangsung berabad-abad hingga saat ini, hanya dalam rangka membangun
sebuah gagasan ilmiah untuk mekanisme kehidupan manusia. Kelahiran
agama acapkali
dipercaya sebagai
“pahlawan” di medan problematika kehidupan di dunia. Namun sayang, cita-cita
tersebut kini terlihat miris kala Agama selalu dibantah oleh perkembangan sience, teologi
dan filsafat modern.
Bantahan dan guggatan tersebut
terlihat produktif dalam kritik ontologi-metafisik yang jauh dari rasionalitas—yang telah
menjadi ukuran kebenaran horizon pemikiran modern. Karya-karya teolog klasik
layaknya al-Farabi, al-Ghazali, Mulla Sadra, Thomas Aquines dan St. Agustinus
dinilai sebagai prodak pemikiran yang lahir dari banguna imajinasi—yang jelas
imajinasi tak butuh penalaran secara rasional—dalam mencapai sebuah kongklusi
utuh perihal kebenaran absolut.
Kompleksitas
Tak diragukan
kembali, lahirnya Abad
modern dengan lantang berteriak untuk mendekonstruksi bangunan etika, moral dan
normaa-norma sosial
yang disepakati oleh kodifikasi hukum Agama yang dinilai irasional dan penuh
dengan “tahayul-mistika” untuk mengatasi kehidupan riil umat manusia. Ide-ide
kebenaran Agama secara konsepsional terus diragukan dan terus dicarikan sebuah
alternatif untu membangun kembali epistimologi yang otonom, tentunya
dengan berlandaskan rasio yang normal.
Upaya tersebut, dilakukan sebagai
usaha untuk menggapai sebuah kesepekatan penuh dalam mendiskreditkan eksistensi
agama. Boleh saja, apabila Karl Marx melihat agama sebagai candu yang
kehadirannya meninabobokan eksistensi kemanusiawian seorang manusia. Juga,
Sigmun Freud, yang menganggap para pemeluk agama sebagai manusia-manusia yang
mengidap penyakit neorotis (penyakit jiwa) dan haru masuk Rumah Sakit Jiwa
untuk menyembuhkannya.
Dua pemikir tak kenal agama itu,
barang kali akan menarik gagasannya, manakala, sampai hari ini, mereka saksikan
bahwa agama tetap menjadi kebutuhan atas keberlangsungan hidup umat manusia.
Tentu bekan dalam rangka, ingin mengatakan bahwa dua pemikir tersebut salah
atau keliru dalam mengambil kesimpulan. Karena, hal demikian adalah masuk dalam
kategori konsepsi kehidupan yang digagas dan tak harus sama antara satu sama
lain tentunya.
Sebagaimana termafhum, manusia akan
terus memburu kebenaran. Karena tanpa keyakinan atas sesuatu yang ia anggap
benar, ia tidak akan puas. Dan akan selalu bertanya. Sebagaimana Hegel, ia mengibaratkan
pengetahuan manusia sebagai perjalanan panjang menuju Roh Absolut, yang
merupakan satu-satunya pengetahuan manusia dalam bentuk yang paling sempurna.
Manusia memahami dirinya sebagai subjek dangan melakukan dialektika denngan
sejarah, sehingga akhirnya mencapai kesempurnaan yang berpuncak pada kesadaran
diri yang menyeluruh.
Akan tetapi, model berpikir semacam
ini ditolak oleh postmodernisme. Karena terbukti bahwa krangka epistemologi
semacam ini, hanya mewariskan filsafat totaliter, yang menjatuhka segalanya
kepada satu entitas tunggal. Dan pada akhirnya, akan ‘menyandra’
entitas-entitas yang lain untuk berekspresi dalam menawarkan solusi.
Maka dari itu, dunia sedang
melaksanakan sleksi tentang bagaimana caranya untuk mencapai kebenaran yang hakiki.
Keragaman berpendapat akan terus tercipta. Tentu harus dihormati, bukan malah
dibakar dan di bom. Bukankah Ibnu Rusyd, sorang folosof islam berasal dari
tanah Andalusia, memberi petuah memukau tentang keragaman? Ra’yuna shahih
yahtamil al-khata’, wa ra’yu ghairihi khata’ yahtamil al-shahih (pendapat
kami benar, tapi ada kemungkinan mengandung kesalahan; dan pendapat selain kami
salah tapi mungkin juga mengandung kebenaran). Wallahua’lam…
*Penulis adalah manusia waras
Guluk-guluk 19 Oktober 2014
Guluk-guluk 19 Oktober 2014