Oleh Moh Roychan Fajar
Di Guluk-Guluk, tempat diperingatan
haulnya, beberapa orang diundang oleh keluarga Dhalem PP. Annuqayah Daerah
Lubangsa. Sudah pasti, mereka yang mengahadiri hanya secuil dari pengagum, murid
dan kerabat almarhum seantero Negeri ini. Ada banyak orang dari lintas generasi
yang (tentunya) memperingati satu tahun kepergian beliau dengan aneka ragam
ritual; bukan hanya berdo’a dengan mengirim fatihah kepadanya (sebagaimana
tradisi pesantren), untuk para itelek mungkin dengan mendiskusikannya, untuk
para seniman mungkin dengan melukisnya, dan untuk para penulis tentu dengan
menulisnya.
Seakan, beliau pergi untuk dirayakan
bukan untuk diratapi. Akan tetapi, sudah semestinya sikap ta’dhim tak boleh
terbatas pada satu eksotisme diri secara fisik, dengan melukis, menulis dan
berdiskusi harus kita hargai juga sebagai prayaan dan ratapan pribadi yang
hanya dirinya dan Tuhan mengetahui.
Satu tahun berlalu setelah kiai Warits
pergi dalam kenyataan dunia yang tak bisa kita nikmati lewat indra, ada rasa
ragu, khawatir, bahkan pesimis tatkala (tanpa terasa) meletakkah posisi kiai
Warits dalam lintasan waktu yang tak kenal kompromi dalam meruntuhkan satu
bangunan ingatan dan imajinasi.
Walaupun kenyataan sikologi kita
selalu meletakkan masa lalu yang berharga tentang orang lain sebagai sumber
nostalgia yang selalu hangat dan segar (termasuk dalam mengenang kiprah Kiai
Warits dalam memory otak kita) hingga kita mustahil untuk
melupakannya, tapi waktu masih memiliki posisi yang lebih berkuasa, dan tak
akan getir dalam menundukkan sebuah kualitas ingatan kita sebagai manusia.
Waktu terus menyatakan perubahan,
dan tak ada perubahan tampa sebuah pergantian. Pergantian tersebut, tidak akan
menutup kemungkinan menggantikan pikiran dan imajinasi kita tetang figur kiai
Warits dengan hal-hal yang kini kita anggap lebih menggoda. Lalu, ada tanda
tanya yang menggantung, yang cukup rumit untuk terjawab, akankah waktu bersedia
untuk mengabadikan kiai Warits? Kita atau waktu yang akan menentukannya?
Kiai Warits dan Waktu yang terus
berjalan, adalah dua dimensi yang hari ini perlu untuk kita satukan. Memang
rumit, bilamana kita ingin menyusunnya secara teoretis dan ilmiah, karenan dua
dimensi tersebut memang mememiliki rentang perbedaan yang berlawanan.
Bentangan waktu akan bergerak bebas
kendati kehendak tak merestui, ia bersifat abadi. Sementara, kiai Waris dalam
ingatan kita hanya sebuah “fonomena logis” dalam pikiran karenan faktor
sejarah. Sebagaimana termafhum, sebuah fenomenan dalam dimensi psikis tak akan
bersifat abadi. Ia terbatas dalam kehendak yang tak pernah konsisten dan
hakiki.
Menurut petuah klasik dalam khazanan
keimanan Islam, bertambah dan berkurang, melonjak dan menyusut, menguat dan
melemah. Begitu pula sikap hormat, empati, dan peduli kita kepada almarhum kiai
Warits yang bisa saja menguat dan melemah, melonjak dan menyusut, dan bahkan
hilang sama sekali tampa jejak. Meletakkan kiai Warits hanya sebagai ingatan, itu
tidak cukup.
Nampaknya kiai Warits, memang tidak
cocok hanya sebagai sumber imajinasi dan ingatan semata. Beliau adalah pelaku,
sepanjang hidupnya beliau memang bergulat dengan aksi dan laku. Sebagai pelaku,
Kiai Warits—dalam sejarah hidupnya—mengabdikan dirinya untuk bangsa dan
agamanya.
Pengagum, Santri, dan mantan
Santrinya, ia harus menjadikan kiai Warits tidak hanya sebagai gambaran abstrak
dalam imajinasi dan ingatan. Mereka harus memposisikan kiai Warits sebagai
aktualisasi diri. Kalau Al-Fayyadl menyebut Gus Dur sebagai “Kata Kerja”, maka
kini saya juga akan menyebut kiai Warits sebagai “Kata Kerja” pula, bukan
sebagai kata sifat. Sekali lagi, Kiai Warits bukan kata sifat yang hanya
sebagai sumber nostalgia yang bersifat konsepsional.
Hanya dengan cara itu, bagaimana
kita dapat menyatukan kaiai Warits dengan waktu, bahkan menjadi waktu itu
sendiri. Kita, anak kita dan cucu kita kelak, sampai nanti kita menjadi nenek
moyang adalah mata rantai waktu. Rangkaian tersebut adalah waktu itu sendiri.
Teladan kiai Warits dalam diri kita harus menjadi warisan yang tak boleh putus.
Melalui itu, kiai Waris juga akan menjadi waktu, waktu yang abadi dan tak
pernah terselesaikan dan berubah. Kita, anak kita, cucu kita (dan seterusnya)
yang mengaktualisasikan nilai-nilai teladan kiai Warits, adalah fenomeman masa
depan tentang kiai Warits yang abadi.
Sehingga, sistesis KH. Warits Ilyas
dan waktu menjadi sikap mengabadikan kiai Warits dalam perputaran waktu dan
zaman. Dengan demikian beliau akan melampaui waktu yang terbatas pada masa
depan dan masa lalu. Kiai warits sebagai nilai implementatif
Waallahua’lam...