Mimpi dan Masa Depan


http://kartikoputra.blogspot.co.id

Moh. Roychan Fajar 
Selalu ada tantangan yang tak sederhana bagi setiap keinginan yang besar. Mungkin dari itulah, hidup ini perlu diperjuangkan. Mungkin dari itulah pula, hidup ini tak pernah mudah untuk didaki. Ia tak bisa berjalan lurus, terdikte, seperti yang kita rencanakan. Dunia ini penuh dengan kejutan yang akan membuat kita sesekali berada dalam keadaan menyakitkan, tapi juga dalam keadaan yang lain: meletakkan kita pada keadaan menyenangkan.

Hidup dengan mimpi yang besar adalah pertaruhan. Karena di dalamnya, perlu energi kesabaran,  ketabahan dan usaha yang tinggi. Sekali saja lengah, maka bisa saja mimpi itu runtuh seketika. Maka darinya, tak ada pilihan lain kecuali selalu hati-hati dan fokus pada satu titik yang hendak akan kita capai. Melalukan itu semua memang tak semudah kita tidur sehabis kita melahap banyak makanan.

Saya adalah orang yang lahir di tengah keluarga kelas bawah. Keluarga saya tidak punya penghasilan tetap. Hidup dengan bertani yang penghasilannya tak pernah pasti. Selalu turun dan naik. Memang, ayah dan ibu saya seorang guru di sekolah swasta, tapi itu semua bukan pekerjaan. Sebagaimana guru tradisional, mereka memahami mengajar adalah pengabdian kepada Tuhan dan makhluk-Nya.

Dalam keadaan seperti itu, untuk sebuah mimpi yang saya yakini hingga hari in; menulis banyak buku, meneruskan studi ke Prancis, rasanya tak mungkin. Bahkan, bila di antara famili dan tetangga saya tahu akan hal ini, mereka akan tertawa terbahak-bahak, bahwa apa yang saya yakini sebagai cita-cita itu adalah mimpi di siang bolong; jauh dari kenyataan, bahkan bisa saja mustahil terjadi.

Tapi saya yakin, bahwa proses tak akan mengingkari hasil. Boleh semua orang, bahkan teman-teman saya sendiri, kini menertawakan mimpi-mimpi saya itu, namun suatu saat mereka akan meyakini bahwa yang sedang saya lakukan hari ini bukan main-main. Memang akhir-akhir ini saya selalu bersikap egois. Apa yang saya yakini benar, maka saya lakukan. Tak peduli apakah orang-orang di samping saya marah, tak sepakat atau apalah. Yang penting niat saya baik.

Saya memang merasakan, beberapa orang telah menjauh. Saya biarkan. Saya memang cenderung membiarkan siapa saja yang akan menghambat aktivitas belajar saya. Wajar, hari ini, saya lebih sering sendiri. Dalam keadaan inilah, komputer dan buku menjadi sahabat paling akrab.

Bersahabat dengan Buku dan Komputer
Komputer, ia menjadi teman curhat yang telah mendokumentasikan segala yang saya pikirkan, rasakan, menjadi beberapa pregraf singkat ataupun panjang. Ia selalu menjadi saksi, kapan saya marah, sedih dan gembira. Sedangkan buku, ia menjadi teman yang memberikan saya banyak informasi, pengetahuan dan ilmu sebagai bekal saya untuk hidup. Sesederhana inilah aktivitas sehari-hari saya, yang dengannya menggantung cita-cita besar yang saya ungkapkan di atas. Saya yakin, Tuhan akan berbaik  hati bagi setiap hambanya yang mencintai ilmu, lebih suka belajar, dalam agenda besar pengabdian untuk bangsa dan agama.

Delam keadaan di mana lebih banyak orang yang masa bodoh dengan ilmu. Di situlah saya harus bertahan. Tetap yakin bahwa itulah salah satu jalan menuju ridha-Nya. Ya. Hanya bermodal inilah, saya memberanikan diri untuk bermimpi. Tak peduli dengan keadaan keluarga yang jelas tak akan mampu bila diminta untuk membiayai semua yang saya inginkan itu.

Tekun dalam Khazanah Filsafat
Kali ini, saya berpikir bagaimana menguatkan integritas saya dalam konsentrasi ilmu yang saya bidangi. Saya memilih filsafat. Dari dulu saya memang senang disiplin ilmu satu ini. Makanya, saat ini, sambil dalam kesibukan menggarap skripsi, dan pekerjaan menulis lainnya, saya berusaha untuk terus membagi waktu dalam penggarapan buku. Buku saya pertama ini, memang bukan murni filsafat. Tapi paling tidak wilayahnya pada domain pemikiran.

Harus saya akui bahwa filsafat sejauh ini, telah mempengaruhi bagaimana saya berpikir, bukan hanya itu, tapi juga terhadap sikap saya selama ini. Dari dulu saya memang menekuni filsafat barat. Hanya segelintir pengatahuan saya tentang filsafat timur (Islam). Maka tak heran, tulisan saya selalu berkelindan dengan dunia pemikiran, utamanya filsafat.

Memang pengatahuan saya tentang filsafat tidak utuh. Karena latar belakang studi saya, lebih-lebih jurusan kuliah yang saya ambil adalah Pendidikan Agama Islam. Pengetahuan saya tentang filsafat sekedar berangkat dari ketekunan membaca, yang lebih banyak literasi-literasi filsafat itu sendiri. Maka dari itu, belajar dan terus belajar, sampai detik ini saya lakukan.

Dalam hal ini, saya harus mengusai teks. Menguasai teks tentu bukan perkara gampang. Bukan saja saya harus fasih melakukan iterpretasi teks berbahasa Indo, tapi juga harus fasih menerjemah dari teks-teks berbahasa asing, paling tidak bahasa Inggris. Meskipun, saya sadar, tradisi filsafat barat kontemporer lebih banyak tumbuh dari negara Jerman dan Prancis.

Semua orang yang menekuni filsafat tahu, bahwa literasi di Indonesia tentang filsafat sangat tidak memadai. Sangat minim, karya filsafat yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indo. Belum lagi berbicara kualitas terjemahan yang jarang sempurna hingga tak mudah dipahami. Dari itu, belajar filsafat hari ini, meniscayakan penguasaan bahasa asing yang maksimal. Dan kemampuan saya dalam hal itu masih pas-pas-an. Harus terus diasah dan sabar untuk kembali dan terus belajar.

Tentu, ini semua demi mimpi saya agar tercapai. Hingga nanti ilmu yang saya dalami bisa berguna untuk semua orang di sekitar saya. Karena telah barang tentu, bahwa ilmu dan pengatuah tujuannya tak lain adalah untuk diterapkan. Karena ilmu yang diperdebatkan, tak akan pernah selesai, ia akan terus berputar sampai pada waktu yang tak pernah dapat ditentukan. Hasilnya kosong.

Ilmu dan Ketakterhinggaan
Dalam Islam, kita menganal al-‘ilmu nĂ»run (ilmu adala cahaya). Terminologi cahaya adalah konteks ini, tentang bagaimana ilmu itu bisa berguna, hingga ia mampu menerangi yang gelap gulita. Hingga ia mampu menyingkap yang awalnya tersembunyi, menjadi nampak sebagai fakta. Dari penampakan itu, nantinya akan dapat dipilah dan dipilih, mana yang baik dan buruk, yang pantas dan tak pantas, yang jujur dan dusta dan yang haram dan yang mubah. Berangat dari prinsip dasar ini, keteraturan hidup akan tercipta. Tercipta melalui ilmu yang dapat memancarkan cahaya. Mungkin lewat alasan inilah, Tuhan selalu melindungi dan menjamin bagi setiap hambanya yang tekun mencari ilmu.

Bila disederhanakan dari seluruh isi tulisan ini, mimpi saya ingin menjadi orang yang benar-benar ber-ilmu. Orang yang benar-benar berilmu, ia akan menganggap bahwa tak ada yang pernah selesai. Ia hidup dalam narasi yang terus bergerak dan tak pernah usai. Sama seperti ilmu itu sendiri, ia lahir sebagai sesuatu yang tak terbatas, sesuatu yang tak pernah usai. Hingga, harus selalu dan senantiasa dicari.

Menjadi orang pemburu ilmu, berarti ia secara tak langsung melatakkan diri ini dalam eksperimentasi kehidupan yang yang abadi, tak pernah utuh. Dirinya harus sadar bahwa tak ada keutuhan, kepuasan dalam mencari ilmu. Maka dari itu, saat ini, saya dimana pun, dalam kondisi apapun, saya selalu meniatkan untuk belajar. Dengan itulah, saya yakin, mampi saya pada waktunya nanti akan menjadi nyata. Wallahu a’lam…
Komisariat PMII Guluk-Guluk
Kamis, 8 Desember 2016 M.

Dalam Kesendirian yang Utuh





Moh. Roychan Fajar

Waktu terlalu cepat bergeser. Empat tahun yang lalu, detik pertamakalinya kita bersua, seolah beru saja terjadi kemarin sore. Telah banyak pengalaman yang kita lewati begitu saja, tanpa sempat kita catat, terlalu cepat sampai tak sempat membekas, tertinggal dalam perjalan waktu yang tak pernah ingat, kalimat untuk berhenti. Kamu, adalah “kemenjadian” yang lahir dari narasi waktu yang terus mengalir dan tak pernah terduga.

Mengingat selogan Herakleitos, semuanya mengalir, maka waktu itu selalu menjadi, dan tidak mungkin waktu bisa hidup tanpa suatu kemenjadian. Menjadi di sini berarti tidak ada yang persis sama. Semuanya mengalir dari X ke Y sejauh dipahami dalam rentangan ruang dan waktu. Segala sesuatu mengalir. Karenanya, kaki kita dalam sungai tidak pernah dialiri air yang sama.

Waktu memang “misteri” paling akbar di dunia ini. Kadang ia cepat, dan kadang pula ia pelan, lambat, sampai kita bosan menunggu. Dua dan tiga tahun yang lalu, masih segar dalam ingatan, tentang sibuk-riamu membuat laporan, makalah, tugas di bangku kuliah, dst. Selanjutnya, beberapa bulan yang lalu, kesibukanmu membuat proposal skripsi, lalu skripsi. Dari mahasiswa biasa, lalu menjadi anggota LPM, sampai menjadi Ketua BEM Fakultas Ilmu Pendidikan bahkan Asisten Dosen.

Suatu ketika, kala itu (pasti) yang terlintas, “kapan semua ini usai?”, denga nada letih dan seolah tak cukup energi untuk melanjutkan. Tapi kini, setelah semua usai tak tersisa, lalu kembali mengeluh, “andai waktu itu bisa kembali, sungguh, terlalu cepat.” Waktu, memang terkadang menyeret kita pada ke-tak-mengerti-an yang dalam dan tandus. 

Mengarungi hidup, berti ia mengarungi waktu. Pada tahap itulah, kita tak boleh berangkat dengan tangan kosong. Berbekallah, minimal sabar dan keikhlasan, semuanya akan terarungi. Tak peduli seterjal dan setajam apakah rintangan itu, ia pada akhirnya akan menjadi debu yang beku pada musim hujan awal November ini. Mengenang masa-masa perjuanganmu itu, semua orang akan merunduk, tersenyum dan berpikir, ternyata perempuan tak sederna yang lumrah kita pikirkan; feminim, make up, dan busana yang mewah. Di luar itu, ada tipikal yang tersembunyi, yang bila tak diasah akan tenggelam, yaitu: totalitas dan ketekunan.

Usaha tak akan ingkar pada hasil. 20 Oktober yang lalu, engkau dinobatkan sebagai Wisudawan Terbaik. Semuanya orang pasti terharu bercampur gembira. Maka wajar, ada yang memelukmu dengan air mata yang sambil terurai, merjabatkan tangan dengan ucapkan selamat. Mereka—keluarga, dosen, kerabat dan semua orang yang pernah akrab mengnalmu—pasti menyesal bila tak sempat datang pada mmomentum itu. Apalagi, bagi orang yang menganggapmu sebagai perempuan paling berarti. Sungguh pasti ia sangat menyesal.

Engkau berhasil dalam lembaran pertama. Membuat bangga semua orang, terharu dalam kegembiraan, gembira dalam kepuasan. Saat yang nyaris dikira tak mungkin, menjadi mungkin dan nyata terjadi. 

***

Tak berselang lama. 22 Oktober kemarin—tentu lewat pertimbangan dan pemikiran yang matang—Bus Sumenep-Surabaya, berangkat mengantarkanmu, menjemput mimpi yang lama terpendam. Menju Kota Kediri, Pare, tempat di mana nanti engkau menemukan dunia baru, suasana baru, teman baru dan tentunya ilmu baru. 

Kini, jarak semakin jauh memisahkan. Di mana nyaris tak ada lagi perjumpaan. Tak ada lagi tatapan dari mata-kemata. Wajah dan parasmu, kini sekedar menjadi bekas dalam ingatan. Hanya tersisa kenangan, dari jejak mata yang dulu pernah saling memandang. Setiap mata yang kita tatap memang meninggalkan gaung dalam diri, yang selalu saja baru terdengar setelah perpisahan itu terjadi.

Mata, dan tatapan pada waktu yang lalu, adalah bahasa yang amat subtil, menjelaskan segala hal. Dari hati-ke-hati. Seolah dengan lirih ia bercertai tentang kerinduan, kesepian, kehambaran, kekhawatiran yang kian membelenggu dahaga untuk saling melepas pandang; meletakkan diri ini pada kesendirian yang utuh. Hegel, filsuf agung Jerman, benar ketika mengatakan bahwa “mata adalah cermin jiwa”. Bahwa keterpautan dan keserasian jiwa antar satu sama lain, adalah gambaran dari kedalaman mata memandang.

Namun mata bukanlah segalanya. Ia juga pada saat yang lain, dapat menjadi fatamorgana jiwa. Ia tetap tak dapat menjadi cermin ajaib yang bisa menuturkan seutuhnya tentang kabar, keadaan dan kondisi seseorang. Mata adalah cermin yang retak. Dahaga kerinduan tak seutuhnya dapat diatasi dengan pandangan. Kita tak pernah tahu apa yang ada di benak seseorang dengan hanya menatap matanya. Mata tetap sebagai “instrumen” yang masih problemik dan bukan kunci kehidupan ini; dimana semua asumsi datang-berlalu tak beraturan.

Dalam khazanah kesendirian, nilah aku menemukan sedikit demi sedikit yang kusukai dan yang tak kusukai, yang menyenangkan dan yang menjengkelkan, yang melipur dan yang menggusarkan, tentang kamu yang jauh. Satu per satu seperti terkuak dari benang-benang yang kusut. Kutemukan sisi-sisi wajah yang kadang kabur dari bayanng wajah tetangmu: suatu saat, kutemukan ketidakpedulian dan egoisme, di saat lain, kutemukan antusiasme dan kehangatan. Suatu saat, kutemukan sifat temperamental yang sewenang-wenang, di saat lain, kutemukan senyum ramah. Suatu saat, kutemukan dahi yang sedang mengkerut, di saat lain, kutemukan uluran tangan memanja. Aku hanya bisa tersenyum, meratapi, bahwa semua ini adalah sebongkah hayal tak seutuhnya benar, namun bukan berarti seutuhnya salah.

Ibu Juga Manusia (!)










Moh. Roychan Fajar

Mungkin akan ada banyak orang yang menganggap essai ini mengandung parodi dan aneh tentang rasionalitas, manakala harus berpikir tentang “Ibu” dan “manusia” dalam satu frase sebagai judul. “Adakah Ibu yang bukan manusia?” pertanyaan tersebut yang kemudian muncul dalam benak. Ya, cukup lucu memang. Namun terlepas dari praduga tersebut, penulis hanya sekedar ingin berbagi kegelisahan dan kekhawatiran tatkala bangunan pemahaman tentang Ibu acapkali ter-reduksi dalam pergeseran substansi yang lepas dari sasaran.

Demikianlah, penulis dapat menyebutnya, “ketegangan eksistensialis” antara nilai tanggung jawab Ibu dan keberadaan anak. Di sini akan melihat bagaimana di antara keduanya tersebut kerapkali tercerabut dari akar-akar nilai fundamentalnya sebagai manusia. Terlebih pada Ibu yang memiliki posisi strategis dalam kenyataan sosio-agama dan sosio-kultural masyarakat.

Terbukti, dalam pengetahuan sejarah dan agama, term Ibu telah menjadi kajian yang cukup intens, entah dalam bentuk krangka ilmiah-normatif, atau hanya dalam bentuk bangunan spekulasi. Konon—dalam sejarah Islam—nabi Muhammad menempatkan ibu sebagai orang yang tiga tingkat lebih dulu harus dimuliakan oleh anak sebelum menghormati bapaknya. Menandakan bahwa Ibu memang seorang figur yang berkerja tanpa tanda jasa.

Dalam hal ini, perempuan yang menyandang identitas diri sebagai Ibu memang miliki posisi dengan kualitas yang nyaris tak tertandingi oleh manusia lainnya. Menjadi Ibu, sebenarnya ia telah memiliki jasa besar untuk peradaban. Karena, anak yang talah ia lahirkan akan menjadi generasi yang akan menentukan arah dunia selanjutnya. Karena arah dan kemajuan dunia akan terus berkembang sebagaimana kehendak manusia yang juga terus berkembang tanpa batas.

Meskipun seorang Ibu tidak semuanya melahirkan orang-orang pintar dan cerdas—seperti Christopher Columbus (1451-1506) penemu Benua Amerika, Isac Newton (1642-1727) ahli Fisika Inggris yang yang memberikan deskripsi final tentang tata surya dan orbit planet, Albert Einstein (1879-1955) peracik sains modern, dan Vladimir Ilyich Ulyanov Lenin (1870-1924) politisi Rusia dan penggagas komunis dunia—tak akan pernah ditemukan sorang Ibu membenci anaknya karena hanya tidak memiliki kemampuan sebagaimana tokoh-tokoh donua di atas.

Betapa pun keberadaan seorang anak, Ibu akan menjadi orang yang pertama kali yang akan menyanjung dan memujinya. Sebagaimana dalam pepatah klasik dari China, hanya ada satu anak yang paling cantik dan spesial di dunia, dan setiap Ibu memilikinya. Setiap Ibu akan menganggap bahwa anak mereka adalah manusia terbaik dari semua manusia di jagat raya ini.

Kasih sayang Ibu kepada anak bukan lagi menjadi diskursus yang harus diperdebatkan. Hal tersebut sudah menjadi satu kepastian yang nyata di dunia ini. Bahkan kita dapat membangun spekulasi, kalau saja tak ada Ibu di dunia ini, sejarah kehidupan akan putus. Tak ada lagi gagasan tetang masa depan yang harus dikejar dan diburu. Oleh karena itu, menghormati dan selalu berbuat baik kepada Ibu menjadi keniscayaan yang tak dapat dibantah kembali.

Kenyataan tersebut, menjadikan Ibu sebagai sosok “yang sakral” di dunia. Agama pun juga bersifat aktif dalam mengatur tata cara sikap seorang anak kepada Ibu; Ibu tak boleh dilawan, disakati, dikecam oleh katata arogan yang kasar. Karena, kepercayaan masyarakat masih konsisten bahwa sikap durhaka kepada Ibu akan melahirkan kondisi yang sungguh mengerikan.

Dalam masyarakat Indonesia, keyakinan tersebut dikukuhkan oleh cerita dari keluarga nelayan di pesisir pantai wilayah Sumatra Barat, yakni: Legenda Malin Kundang; seorang anak yang durhaka kepada Ibunya, hingga kemudian dikutuk menjadi batu. Kepercayaan ini, menjastifikasi atas norma agama yang memang sangat getol membela harkat dan martabat seorang Ibu. Ya, perempuan sebagai Ibu adalah keuntungan terbesar untuk perempuan itu sendiri.

Dekonstruksi Mitologi (Ke)ibu(an)
Akan tetapi, dalam hal ini, bukan bermaksud meletakkan Ibu sebagai makhluk yang tak lepas dari perilaku yang salah dan keliru. Sosok Ibu adalah “manusia biasa” yang juga harus mendapat kajian secara kritis. Sehingga tidak hanya menjadi mitos yang hanya dapat dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek tentangnya sebagai manusia yang juga banyak kekurangan—jaun dari kesempurnaan yang mutlak.     

“Surga di bawah telapak kaki Ibu.” Hadis Nabi tersebut seringkali menjadi “alat lagitimasi” atas kekuasan Ibu yang bersifat totaliter. Hingga dalam kondisi ini menempatkan anak berada dalam “penjara eksistensi”. Dalam artian, sang anak menjadi objek yang tak punya kesempatan untuk memiliki jati dirinya secara merdeka. Kalau Ibu sebagai manusia biasa, anak juga begitu. Ia bukan robot dan budak pada masa Jahiliyan dan Imperium Romawi yang hanya dapat diperintah oleh tuan atau majikannya.

Dalam sajak Emha Ainun Nadjib, ia merefleksikan makna-substansi tentang hadis Nabi tersebut dengan puitis: “Surga berada di bawah telapak kaki Ibu itu artinya bukan bahwa Ibumu ini berkuasa atasmu, sehingga tidak ada kebaikan bagimu kecuali mematuhi apa saja kata Ibu kepadamu...” seorang anak adalah subjek yang juga memiliki kehendak untuk berbuat dalam menikmati indahnya dunia ciptaan Tuhan.

Sebagaimana termafhum, sifat fundamental manusia adalah makhluk yang kreatif dan terus men-dialektika-kan dirinya bersama sejarah sesuai dengan kehendaknya. Atau, bagi Jean-Paul Sartre—pemikir berkebangsaan Prancis—manusia tak akan bisa melampaui subjektivitas kemanusiaannya (human subjectivity). Dalam artian, semua umat manusia bersifat subjektif. Yang mustahil memiliki satu kesatuan kehendak.

Pilihan yang baik bagi Ibu, belum tentu juga baik menurut anaknya, karena masing-masing memiliki nalar yang subjektif (relatif). Hal ini yang dimaksud “subjektivitas kemanusiaan”. Kita tidak akan bisa melampaui hal tersebut, sebaimana Sartre di atas.

Maka dari itu, Ibu bukan sebuah “kebenaran final” yang haram untuk dirunding kembali. Namun bukan berarti harus ditentang apalagi dimanfaatkan.  Karena ia bukan Tuhan yang maha kuasa, begitupun bukan Bidaddari yang hanya bertugas sebagai pelayan manusia di surga.

Ibu tetaplah manusia yang harus senantiasa bersifat terbuka dan adil. Ia bukan lahir sebagai pencetus kisah lengkap dari perjalanan hidup seorang anak. Segala bentuk kesepakatan (antara Ibu dan anak) harus melalui perundingan, agar tidak terjebak dalam praktik-praktik dehumanisme; pengekangan, penyandraan ide, serta dan membunuh kreatifitas.

Ibu dan Anak;
Sebuah Keniscayaan “Menyatu”
Seorang Ibu memang bukan perempuan yang maha sempurna dan maha kuasa, karena ia adalah manusia yang biasa. Namun tak ada alasan untuk tidak menghormati dan tidak memiliki rasa cinta dan kasih-sayang kepadanya. Jasa Ibu tak akan pernah tergantikan terhadap seorang anak yang telah dilahirkan.

Hingga tak heran seorang laki-laki kelahiran tanah Makasar, SM Muchtar menulis lagu anak dengan judul: Kasih Ibu. Dalam bait pertama lirik lagu tersebut, “Kasih Ibu kepada Beta tak terhingga sepanjang masa”. Lagu ini, meng-ilustrasi-kan sebuah pandangan eksotis dari seorang laki-laki terhadap Ibu.

Dengan lentur namun penuh spirit—lewat lagu tersebut—hendak menegaskan bahwa Ibu harus diletakkan dalam ingatan dan imajinasi yang terus “terpancar”. Meletakaan Ibu sebagai sumber nostalgia yang akan berlangsung lama pada rentang waktu yang tak terbatas. Kita dapat menjaga ingatan tersebut dengan berbagai perilaku-perilaku baik terhadapnya.

Karena tak boleh jasa Ibu dalam ide kita, terdampar jauh dalam tepian ingatan kita. Mengingat, perkembangan zaman saat ini semakin begitu ganas, gelombang isu-isu menggoda menghempaskan diri dalam ingatan manusia untuk segera disentuh dan diikuti. Hingga, kepercayaan dan kesadaran akan jasa-jasa Ibu bisa saja terhanyutkan pada “ruang kosong” yang akan terlupakan.

Oleh karena itu, cinta dan rasa hormat—dalam ilustasi ide yang abstrak—kita kepada Ibu, rasanya tak cukup. Nama-nama besar yang berarti dalam hidup kita relatif akan mudah luntur dalam waktu yang terus melangkah. Adakalanya, abstraksi atas orang yang kita anggap “besar” dan berjasa harus dapat di-kongkret-kan dalam bentuk aktualisasi yang berbentuk jasa.

Ibu adalah figur yang menyatakan cinta dan kasih kepada anaknya dengan tindakan; mengandungnya, merawatnya hingga (sang bayi) dapat berjalan dan berdandan dengan cantik atau tampan, sampai (anaknya) dapat berpikir dalam membedakan yang baik dan yang buruk, yang jujur dan yang dusta, yang sombong dan yang rendah hati. Segala hal tersebut tak akan pernah lepas dari campur tangan sang Ibu.

Ibu adalah pelaku yang senantiasa bergelut dengan aksi riil untuk anaknnya. Memang Ibu tak pernah menagih hutang atas balas jasanya. Namun, ketika sang anak dalam pengakuan cinta dan sayang kepada Ibunya hanya dalam konteks kesadaran dalam pikiran, barang kali mirip dengan Nietzsche yang menolak untuk dicintai, disayangi, dikagumi dan diikuti jejak karirnya, dugaan penulis sejauh menjadi “Nietzschean”, hanya menjadi identitas dan atribut.

Cinta dan kasih sayang anak kepada Ibu hendaknya tak boleh sekedar identitas dan atribut. Lebih dari itu, seorang anak harus mewarisi perilaku dan sikap Ibu itu sendiri. Keduanya harus menyatu ”meyatu” dalam sikap timbal-balik, bahwa apa yang telah dilakukan Ibu kepada anak, sang anak harus juga dapat melakukannya kepada Ibu, meskipun dalam batas-batas tertentu seorang anak tak dapat secara murni berprilaku sebagaimana Ibu yang dulu telah merawatnya. Wallahua’lam...

*) Ketua LPM Fajar Instika,
dan penggiat Ijtihadul Falasifah (Ijafa)
Kom. PMII Guluk-Guluk

 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates