Moh. Roychan Fajar
Mungkin akan ada banyak orang yang menganggap essai ini mengandung
parodi dan aneh tentang rasionalitas, manakala harus berpikir tentang “Ibu” dan
“manusia” dalam satu frase sebagai judul. “Adakah Ibu yang bukan manusia?” pertanyaan
tersebut yang kemudian muncul dalam benak. Ya, cukup lucu memang. Namun
terlepas dari praduga tersebut, penulis hanya sekedar ingin berbagi kegelisahan
dan kekhawatiran tatkala bangunan pemahaman tentang Ibu acapkali ter-reduksi
dalam pergeseran substansi yang lepas dari sasaran.
Demikianlah, penulis dapat menyebutnya, “ketegangan
eksistensialis” antara nilai tanggung jawab Ibu dan keberadaan anak. Di sini
akan melihat bagaimana di antara keduanya tersebut kerapkali tercerabut dari
akar-akar nilai fundamentalnya sebagai manusia. Terlebih pada Ibu yang memiliki
posisi strategis dalam kenyataan sosio-agama dan sosio-kultural masyarakat.
Terbukti, dalam pengetahuan sejarah dan agama, term Ibu telah
menjadi kajian yang cukup intens, entah dalam bentuk krangka ilmiah-normatif,
atau hanya dalam bentuk bangunan spekulasi. Konon—dalam sejarah Islam—nabi
Muhammad menempatkan ibu sebagai orang yang tiga tingkat lebih dulu harus
dimuliakan oleh anak sebelum menghormati bapaknya. Menandakan bahwa Ibu memang seorang
figur yang berkerja tanpa tanda jasa.
Dalam hal ini, perempuan yang menyandang identitas diri
sebagai Ibu memang miliki posisi dengan kualitas yang nyaris tak tertandingi
oleh manusia lainnya. Menjadi Ibu, sebenarnya ia telah memiliki jasa besar
untuk peradaban. Karena, anak yang talah ia lahirkan akan menjadi generasi yang
akan menentukan arah dunia selanjutnya. Karena arah dan kemajuan dunia akan
terus berkembang sebagaimana kehendak manusia yang juga terus berkembang tanpa
batas.
Meskipun seorang Ibu tidak semuanya melahirkan
orang-orang pintar dan cerdas—seperti Christopher Columbus (1451-1506) penemu
Benua Amerika, Isac Newton (1642-1727)
ahli Fisika Inggris yang yang memberikan deskripsi final tentang tata surya dan
orbit planet, Albert Einstein (1879-1955) peracik sains modern,
dan Vladimir
Ilyich Ulyanov Lenin (1870-1924) politisi Rusia dan
penggagas komunis dunia—tak akan pernah ditemukan sorang Ibu membenci anaknya
karena hanya tidak memiliki kemampuan sebagaimana tokoh-tokoh donua di atas.
Betapa pun keberadaan seorang anak, Ibu akan menjadi orang
yang pertama kali yang akan menyanjung dan memujinya. Sebagaimana dalam pepatah
klasik dari China, hanya ada satu anak yang paling
cantik dan spesial di dunia, dan setiap Ibu memilikinya. Setiap Ibu akan menganggap bahwa anak mereka adalah
manusia terbaik dari semua manusia di jagat raya ini.
Kasih sayang Ibu kepada anak bukan lagi menjadi diskursus
yang harus diperdebatkan. Hal tersebut sudah menjadi satu kepastian yang nyata
di dunia ini. Bahkan kita dapat membangun spekulasi, kalau saja tak ada Ibu di
dunia ini, sejarah kehidupan akan putus. Tak ada lagi gagasan tetang masa depan
yang harus dikejar dan diburu. Oleh karena itu, menghormati dan selalu berbuat
baik kepada Ibu menjadi keniscayaan yang tak dapat dibantah kembali.
Kenyataan tersebut, menjadikan Ibu sebagai sosok “yang
sakral” di dunia. Agama pun juga bersifat aktif dalam mengatur tata cara sikap
seorang anak kepada Ibu; Ibu tak boleh dilawan, disakati, dikecam oleh katata
arogan yang kasar. Karena, kepercayaan masyarakat masih konsisten bahwa sikap
durhaka kepada Ibu akan melahirkan kondisi yang sungguh mengerikan.
Dalam masyarakat Indonesia, keyakinan tersebut dikukuhkan
oleh cerita dari keluarga nelayan di pesisir pantai wilayah
Sumatra Barat, yakni: Legenda Malin Kundang; seorang anak yang durhaka
kepada Ibunya, hingga kemudian dikutuk menjadi batu. Kepercayaan ini,
menjastifikasi atas norma agama yang memang sangat getol membela harkat dan
martabat seorang Ibu. Ya, perempuan sebagai Ibu adalah keuntungan terbesar untuk
perempuan itu sendiri.
Dekonstruksi Mitologi (Ke)ibu(an)
Akan tetapi, dalam hal ini, bukan bermaksud meletakkan Ibu
sebagai makhluk yang tak lepas dari perilaku yang salah dan keliru. Sosok Ibu
adalah “manusia biasa” yang juga harus mendapat kajian secara kritis. Sehingga
tidak hanya menjadi mitos yang hanya dapat dikagumi saja, tanpa memandang
aspek-aspek tentangnya sebagai manusia yang juga banyak kekurangan—jaun dari
kesempurnaan yang mutlak.
“Surga di bawah telapak kaki Ibu.” Hadis Nabi tersebut seringkali
menjadi “alat lagitimasi” atas kekuasan Ibu yang bersifat totaliter. Hingga
dalam kondisi ini menempatkan anak berada dalam “penjara eksistensi”. Dalam
artian, sang anak menjadi objek yang tak punya kesempatan untuk memiliki jati
dirinya secara merdeka. Kalau Ibu sebagai manusia biasa, anak juga begitu. Ia
bukan robot dan budak pada masa Jahiliyan dan Imperium Romawi yang hanya dapat
diperintah oleh tuan atau majikannya.
Dalam sajak Emha Ainun Nadjib, ia merefleksikan
makna-substansi tentang hadis Nabi tersebut dengan puitis: “Surga berada di
bawah telapak kaki Ibu itu artinya bukan bahwa Ibumu ini berkuasa atasmu,
sehingga tidak ada kebaikan bagimu kecuali mematuhi apa saja kata Ibu
kepadamu...” seorang anak adalah subjek yang juga memiliki kehendak untuk
berbuat dalam menikmati indahnya dunia ciptaan Tuhan.
Sebagaimana termafhum, sifat fundamental manusia adalah makhluk
yang kreatif dan terus men-dialektika-kan dirinya bersama sejarah sesuai dengan
kehendaknya. Atau, bagi Jean-Paul Sartre—pemikir berkebangsaan Prancis—manusia
tak akan bisa melampaui subjektivitas kemanusiaannya (human subjectivity). Dalam artian, semua umat manusia bersifat subjektif.
Yang mustahil memiliki satu kesatuan kehendak.
Pilihan yang baik bagi Ibu, belum tentu juga baik menurut
anaknya, karena masing-masing memiliki nalar yang subjektif (relatif). Hal ini
yang dimaksud “subjektivitas kemanusiaan”. Kita tidak akan bisa melampaui hal
tersebut, sebaimana Sartre di atas.
Maka dari itu, Ibu bukan sebuah “kebenaran final” yang
haram untuk dirunding kembali. Namun bukan berarti harus ditentang apalagi
dimanfaatkan. Karena ia bukan Tuhan yang
maha kuasa, begitupun bukan Bidaddari yang hanya bertugas sebagai pelayan
manusia di surga.
Ibu tetaplah manusia yang harus senantiasa bersifat
terbuka dan adil. Ia bukan lahir sebagai pencetus kisah lengkap dari perjalanan
hidup seorang anak. Segala bentuk kesepakatan (antara Ibu dan anak) harus
melalui perundingan, agar tidak terjebak dalam praktik-praktik dehumanisme;
pengekangan, penyandraan ide, serta dan membunuh kreatifitas.
Ibu dan Anak;
Sebuah Keniscayaan “Menyatu”
Seorang Ibu memang bukan perempuan yang maha sempurna dan
maha kuasa, karena ia adalah manusia yang biasa. Namun tak ada alasan untuk
tidak menghormati dan tidak memiliki rasa cinta dan kasih-sayang kepadanya.
Jasa Ibu tak akan pernah tergantikan terhadap seorang anak yang telah
dilahirkan.
Hingga tak heran seorang laki-laki kelahiran tanah Makasar,
SM Muchtar menulis lagu anak dengan judul: Kasih Ibu. Dalam bait pertama lirik
lagu tersebut, “Kasih Ibu kepada Beta tak terhingga sepanjang masa”. Lagu ini,
meng-ilustrasi-kan sebuah pandangan eksotis dari seorang laki-laki terhadap Ibu.
Dengan lentur namun penuh spirit—lewat lagu
tersebut—hendak menegaskan bahwa Ibu harus diletakkan dalam ingatan dan
imajinasi yang terus “terpancar”. Meletakaan Ibu sebagai sumber nostalgia yang
akan berlangsung lama pada rentang waktu yang tak terbatas. Kita dapat menjaga
ingatan tersebut dengan berbagai perilaku-perilaku baik terhadapnya.
Karena tak boleh jasa Ibu dalam ide kita, terdampar jauh
dalam tepian ingatan kita. Mengingat, perkembangan zaman saat ini semakin
begitu ganas, gelombang isu-isu menggoda menghempaskan diri dalam ingatan
manusia untuk segera disentuh dan diikuti. Hingga, kepercayaan dan kesadaran
akan jasa-jasa Ibu bisa saja terhanyutkan pada “ruang kosong” yang akan
terlupakan.
Oleh karena itu, cinta dan rasa hormat—dalam ilustasi ide
yang abstrak—kita kepada Ibu, rasanya tak cukup. Nama-nama besar yang berarti
dalam hidup kita relatif akan mudah luntur dalam waktu yang terus melangkah.
Adakalanya, abstraksi atas orang yang kita anggap “besar” dan berjasa harus
dapat di-kongkret-kan dalam bentuk aktualisasi yang berbentuk jasa.
Ibu adalah figur yang menyatakan cinta dan kasih kepada
anaknya dengan tindakan; mengandungnya, merawatnya hingga (sang bayi) dapat
berjalan dan berdandan dengan cantik atau tampan, sampai (anaknya) dapat
berpikir dalam membedakan yang baik dan yang buruk, yang jujur dan yang dusta,
yang sombong dan yang rendah hati. Segala hal tersebut tak akan pernah lepas
dari campur tangan sang Ibu.
Ibu adalah pelaku yang senantiasa bergelut dengan aksi
riil untuk anaknnya. Memang Ibu tak pernah menagih hutang atas balas jasanya.
Namun, ketika sang anak dalam pengakuan cinta dan sayang kepada Ibunya hanya
dalam konteks kesadaran dalam pikiran, barang kali mirip dengan Nietzsche yang
menolak untuk dicintai, disayangi, dikagumi dan diikuti jejak karirnya, dugaan
penulis sejauh menjadi “Nietzschean”, hanya menjadi identitas dan atribut.
Cinta dan kasih sayang anak kepada Ibu hendaknya tak
boleh sekedar identitas dan atribut. Lebih dari itu, seorang anak harus
mewarisi perilaku dan sikap Ibu itu sendiri. Keduanya harus menyatu ”meyatu”
dalam sikap timbal-balik, bahwa apa yang telah dilakukan Ibu kepada anak, sang
anak harus juga dapat melakukannya kepada Ibu, meskipun dalam batas-batas
tertentu seorang anak tak dapat secara murni berprilaku sebagaimana Ibu yang
dulu telah merawatnya. Wallahua’lam...
*) Ketua LPM Fajar Instika,
dan penggiat Ijtihadul Falasifah (Ijafa)
Kom. PMII Guluk-Guluk
0 komentar:
Posting Komentar