Moh. Roychan Fajar
Pasca Muktamar NU ke-33 di Jombang 2015 kemarin, ada satu putusan menarik menyangkut hubungan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) dan NU ke depan. Keputusan tersebut adalah: PMII harus kembali masuk dalam stuktur kelembagaan NU. Wacana ini kini menjadi salah satu bahasan aktual dan serius oleh kader-kader PMII. Walaupun keputusannya, nanti akan tergantung dari Kongres PMII XIX Nasional yang akan digelar di kota Palu, 15 Mei 2017 M.
Pasca Muktamar NU ke-33 di Jombang 2015 kemarin, ada satu putusan menarik menyangkut hubungan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) dan NU ke depan. Keputusan tersebut adalah: PMII harus kembali masuk dalam stuktur kelembagaan NU. Wacana ini kini menjadi salah satu bahasan aktual dan serius oleh kader-kader PMII. Walaupun keputusannya, nanti akan tergantung dari Kongres PMII XIX Nasional yang akan digelar di kota Palu, 15 Mei 2017 M.
Pro dan
kontra atas wacana tersebut kini ramai diperbincangkan mulai tingkat yang
paling kecil sampai tingkat paling besar dalam kelembagaan PMII, seperti: di tingkat
Rayon, Komisariat, Cabang dan PKC se-Nusantara, bahkan hingga PB PMII sekalipun.
Penulis, lewat tulisan ini, juga akan berupaya ikut andil dalam perdebatan tersebut,
walaupun pada akhirnya penulis harus tegas memilih berada pada posisi kontra
dengan berbagai pertimbangan: entah itu dalam wilayah konseptual-ideologis atau
perkembangan aktual mengenai NU dan PMII mutakhir ini.
Setidaknya,
hemat penulis, ada beberapa catatan nanti yang itu akan menjadi satu sanggahan
mengapa PMII harus tetap mandiri di luar kelembagaan NU. Mungkin akan banyak
yang bertanya: mengapa PMII tidak boleh kembali menjadi bagian struktural dari
NU—padahal secara ideologis dan historis keduanya adalah satu-kesatuan yang tak
dapat dipisahkan? Dalam konteks ini, pertanyaan itu hanya dapat dijawab dengan
meneroka suatu krisi spesifik, yang barangkali merupakan fenomena khas dari
model penghayatan ideologis dan bagaimana pola keberislaman warga Nahdlatul
Umala’ selama ini.
***
Kita tak
bisa menyangsikan. NU kini mengalama krisis ideologis. Aswaja sebagai ideologi
NU yang biasa diproyeksikan sebagai landasan beragama, telah menjadi sangat
elitis di hapadan bermacam problem kontemporer hari ini. Sebagai salah satu
penghayatan agama di Indonesia, ia tidak mampu hadir sebagai “malaikat”
penyelemat bagi mereka yang sedang tertindas. Kita perlu mengakui, bahwa aswaja
NU hari ini hanya fokus pada pertarungan gagasan teologis dan truth calaim.
Sebagai bangunan ideologis, ia terjebak pada ruang fanatisme yang berhasil
menciptakan pergeseran perhatian islam pada aspek horizontal (material) kepada
aspek-aspek—yang hanya—dalam nuansa vertikal (ideasional).
Sejatinya pada
wilayah inilah, mereka juga terjebak seperti liberalisme: gencar berwacana,
namun nyaris tak pernah bersikap. Melihat gejala sosial hanya dalam kerang teoretik
tanpa terlibat langsung secara riil tentang konstelasi sesungguhnya seacara
kongkret. Kita boleh melihat di antara salah satu pengembangan wacana tersebut,
misalkan telah lahir selama ini argumentasi-argumentasi: Aswaja Manhaj al-Fikr[1] sampai Post-Tradisionalisme
Islam[2]. Walaupun, perkembangan
argumentasi ideologis tersebut, nyaris tak pernah memberikan kontribusi sosial
yang jelas di hadapan kita, kecuali sekedar dalam forum-forum ilmiah. Kondisi
ini memposisikan eksistensi aswaja hanya berada di atas meja diskusi dan
seminar saja.
Pada fase
ini, aswaja sebagai basis ideologi NU, gagal berdenyut dan tak menemukan
perwujudannya dalam kehidupan umat Islam Indonesia. Di sinilah, spektrum
ideologisasi aswaja terreduksi hanya sekedar tuntunan beribadah kepada Tuhan
yang Maha Esa. Sehingga tidak jarang, bagi orang-orang desa, Aswaja—atau dalam
hal ini NU—hanya dipahami sebagai tradisi tahlil-an, shalawat-an,
kunnut, shalat taraweih, dan bentuk ibadah yang lainnya.
Sebagai
konsekuensinya, disadari atau tidak, keadaan itu menciptakan
pergeseran-pergeseran di mana agama dan dunia mengalami pemisahan secara
radikal. Semua orang membedakan dengan sendirinya, mana yang agamawi dan
duniawi. Saat aswaja sekedar dipahami dalam kerang aqidah, maka di situlah
problem duniawi, tidak termasuk dalam garis perjuangan Aswaja. Aswaja sebagai
ideologi kemudian terjepit dalam masing-masing pribadi orang dengan beragam
kepentingan—di luar bagaimana agama memproyeksikan kepentingannya sendiri.
Bahkan secara ekstrem berhasil dengan halus, memisahkan tradisi[3]
dari masyarakat dan kehidupan sehari-hari. Tradisi kemudian dimodifikasi
sebagai sebuah barang: sebagai benda seni, artefak atau sebagai sesuatu yang
berbeda dari orang-orang kebanyakan. Tradisi yang dulu mengakar dalam
masyarakat kebanyakan, mulai tercerabut dari lingkungan dimana ia tumbuh.
Komodifikiasi ini memungkinkan tradisi beralih dari lokusnya dalam pesantren
dan komunitas, untuk selanjutnya dipindahtangankan menuju ruang baru yang
bernama museum, galeri, atau dalam narasi besar tentang “pembaruan” atau
“purifikasi”.[4] Tradisi lokal yang sejak
dulu dimaknai sebagai fenomana aktual yang berhasil mengintergarasikan
nilai-nilai religius aswaja dan khazanah sosial, dengan sendirinya kini
terreduksi sebagai sesuatu arsitektur seni yang hanya bernilai keindahan.
Terciptanya tembok
besar di antara religiuitas aswaja dan khazanah sosial, membuat aswaja beserta doktrin teologisnya tak dapat
mengimbangi seluruh pergerakan ideologi-ideologi gobal yang kini serba mengatasnamakan
kepentingan kemajuan. Sampai akhirnya, infiltrasi NU ke ruang politis tak
terbendung. Hal ini terjadi di atas fase kapitalisme global yang berhasil mencairkan
batas-batas tegas ideologisasi NU yang sebenarnya sudah tertata rapi sejak
dulu. Moderatisme dalam NU justru kemudian menjadi lumbung gerakan-gerakan
borjuistik itu bersembunyi dengan tenang. Dalam keadaan ini, gerakan NU menjadi
organisasi keagamaan yang memfokuskan diri dalam dimensi sosial-politik praktis
yang secara terselubung berafiliasi dengan para pemodal.
Keadaan ini,
jelas menimbulkan kesenjangan dimensi sosial-politik dan doktrin religius
aswaja dalam tubuh NU. Yang dalam titik perkembangannya lebih lanjut,
melahirkan kontradiksi yang lama kelamaan memperlihatkan tendensinya: arus yang
menjadikan NU sebagai aspek tak-sadar yang berpartisipasi dalam hegemoni politik-ekonomi
global dengan mensubordinasikan masyarakat yang sejak dulu menjadi basis
gerakan ideologis NU itu sendiri.
Partisipasi
ini, membuat Khittah NU berdasarkan hasil muktamar ke-27 yang berlangsung di
Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo tahun 1984, hanya selesai di
atas kertas. Singgungan NU dan politik praktis-borjuistik menciptakan
kesenjangan baru hari ini, tentang relasi kultural NU dengan negara yang
bergerak timpang. Kita tahu, orang-orang nahdliyin hari ini telah nyaris
mendominasi di bangku-bangku stragis birokrasi. Tapi di tempat yang jauh,
masyarakat yang hidup di pinggir-pinggir pedesaan, justru fakta tentang
diskriminasi, kemiskinan, eksploitasi ekologis, senantiasa meriah terjadi.
Semakin eratnya NU dan negara, malah krisis sosial senantiasa marak terjadi.
Fenomena ini
menunjukkan aswaja tidak lagi berdiri atas nama masyarakat pinggir, tapi ia
berubah wujud menjadi ajaran yang berkibar di atas kemapanan sebagian kelas
sosial tertentu. Salah satu nilai aswaja, yakni: ta’addul (keadilan)
menjadi barang mahal yang tak bisa kita beli hanya bermodal taqwa dan jujur.
Inilah krisis ideologis aswaja NU yang memberikan pengaruh riskan kepada setiap
lini strategis kehidupan kita.
***
Kondisi
krusial perihal ideologisasi NU ini, kemudian menjadi ladasan epistemologis,
mengenai eksistensi PMII yang tidak boleh bergabung secara struktural dengan NU.
Walau pada aspek yang lain dan di waktu yang sama, PMII juga memiliki tanggung
jawab untuk kembali merevitalisasi secara konseptual gagasan aswaja yang sudah
final menjadi basis ideologisnya. Merevitalisasi aswaja itu, tentu fardhu untuk
menggali aspek metodologis yang lebih segar untuk diadaptasikan pada
aswaja--sebagai ideologi PMII—dan akan kita proyeksikan bersama nanti.
Denagan
tetap menjadi independen, peluang besar terbentang di hadapan kita, yaitu
kemunculan satu tendisi lain dalam dari PMII berhadapan dengan pola tendensi
ideologis NU di atas. Tendensi ini, tentu tidak boleh lepas dari konstelasi
aktual mutahir dalam konteks ke-Indonesia-an. Dalam menggali sebuah tendensi
ideologi baru tersebut setidaknya, aswaja PMII memperhatikan beberapa hal di bawah
ini.
Pertama,
aswaja PMII harus memiliki pijakan yang tegas sesuai dengan kondisi aktual
khazanah pemikiran Islam Indonesia hari ini. Kedua, keranka ideologis PMII
harus memiliki pijakan teoritik yang memadukan khazanah Islam Ahlussunnah
waljma’ah yang terbuka pada kerifan lokal, kritik sosil dan strategi
gerakan bersekala trans-nasional (baca: global). Sedangkan yang ketiga, mampu
menegasikan argementasi konservatif dari tendensi keagamaan yang bernuansa
liberal-skuler dan akstrimes-fundamentalistik.
Dengan
rumusan ini, PMII bisa mengabil pola yang berbeda dari kondisi objektif NU saat
ini. Yakni berada pada titik perjuangan yang sejati, dengan kerja-kerja
strategis yang senantiasa tetap mendudukkan aswaja sebagai bangunan ideologis
yang dapat memotivasi seluruh aspek gerakannya sebagai dakwah pembebasan. Dengan tetap memegang teguh
ajaran agama secara holistik—yang berhasil mensinergiskan antara urusan eskatologis dan
sosiologis. Dari ini kemudian, kita berharap PMII akan lagi lebih berarti dari sekedar biasanya. Wallahua’alam…
[1] Dapat
dibaca secara utuh, Said Aqil Siraj, “Latar Kultural dam Politik Kelahiran
Aswaja”, dalam Imam Baehaqi (ed.), Kontroversi Aswaja, Aula Perdebatan dan
Reinterpretasi, (Yogyakarta: LkiS, 2000).
[2] Lihat dalam, Rumadi, Post-Tradisionalisme Islam: Wacana Intelektual
Muda NU, (Jakarta: Direktorat, 2003). Bahkan menurut Ulil Abshar Abdallah,
kemunculan Postra dalam khazanah baru pemikiran Islam Indoneisa, dianaggap
sebagai, “metode lebih canggih untuk melestrarikan konflik PMII versus HMI,
NU versus Muhammadiyah, Modernis versus Tradisionalis.” Lanjut
Ulil, “Postra lebih sebagai upaya untuk mempertegas identitas kelompok dari
pada untuk mengambangkan wacana pemikiran”. Tperdapat dalam catatan pribaddi Ulil
Abshar abdallah, dalam seminar “Mendialogkan Post-Tradisionalisme Islam
dengan Islam Liberal dalam Gairah Baru Pemikiran Islam Indonesia”, yang
dilaksanakan BEM IAIN (UIN) Jakarta pertengan November 2001.
[3] Tradisi yang dimaksud dalam hal ini adalah bagian dari kebududayaan
lokal yang eksistensinya berhasil menyerap nilai-nilai ke-Islam-an. Gagasan ini
secara konseptual mendapat relevansinya dengan Pribumi Islam-nya, Abdurrahman
Wahid, yang populer sekitar pada akhir tahun 1980-an dulu.
[4] Lihat dalam makalah, Ahmad Baso, “NU Studies Vis-À-Vis Islamic Studies: Perspektif dan Metodologi dari, oleh dan untuk
Islam Indonesia Pasca 11 September,” tt.
0 komentar:
Posting Komentar