Di Seberang Kejauhan...


Moh. Roychan Fajar

Aspal yang keras, hitam dan tebal itu menjadi jejak terakhir, sabagai satu-satunya wujud (namun samar) yang kini masih segar membekas, menggantung, mengendap, di seberang kejauhan ini. Kejauhan yang akan kembali menguji kesabaran, keseriusan, ketangguhan dalam hubungan kita bersama. Sumenep-Kediri, jarak yang tak dekat itu, akan membukan lembaran cerita dan kisahnya kembali, yang mungkin nanti akan lebih kempleks dan berat dibandingkan kisah Layla dan Majnun, Romeo dan Juliet, atau kisah Budha kuno tentang Rama dan Sinta.

Kedepan, ada banyak hal yang akan terjadi, yang akan kita lalui dalam perjalanan kisah yang mungkin tak akan selalu mudah untuk kita ringkas menjadi satu-dua paragraf di atas kertas; moment-moment dimana romatika itu tak bisa kita logikakan, kita bahasakan, kita jelaskan. Sebut saja, salah satunya: rindu. Yang kadang hadir melalui penampakan-penampakan yang samar, antara dua dimensi sekaligus: kebahagiaan dan kesedihan.

Ya, pada satu sisi, rindu itu memang melelahkan. Ia hanya membuatku duduk tersungkur memandang langit; membayang, merenung, mengingat, tentang kamu yang tak pernah pasti kecuali kepastiannya sebagai jejak yang menggores di dinding-dinding masa lalu. Masa di mana kita masih bebas bertukar senyum, bertegur sapa, dan makan bersama. Tetapi, ia (baca: ridu) juga sampul yang dapat melipat jarak kejauhan ini menjadi dekat, sedekat-dekatnya, antara aku dan kamu, meskupun hanya dalam bayangan—yang tak seutuhnya benar, namun juga tidak seutuhnya salah.

Tentu, betapa melelahkannya rindu itu, aku selalu tabah. Aku sadar, bergelut tanpa sudah dalam kejauhan ini—menjelajahi kesunyiannya, menelusuri liku demi liku jejaringnya, mencatat penggal demi penggal sejarahnya, terperangkap dan bahkan kadang jatuh dalam ke-semu-annya—merupakan sebuah perjalanan yang berat. Ibarat belukar hutan rimba, yang kapan saja dapat menelantarkan pengembara dari tujuannya. Di tengah gersang dan pengapnya rimba itu, seseorang hanya bisa berjalan mengikuti bayang-bayang fatamorgana yang sejatinya tak akan pernah terkejar.

Namun, kenapa harus peduli jika sudah yakin dan berdasarkan niat yang luhur? Aku memilihmu, sejak dulu hingga nanti sampai ajal memisahkan kita. Aku bukan bermaksud mendahului Tuhan. Ini semua aku katakan, karena kuyakin Tuhan akan meridhai hamba-Nya yang bersungguh-sungguh. Jadi biarlah tersesat sekalian dalam rimba tak bertuan itu, toh lama kelamaan kesesatan itu nanti bisa menjadi jalan yang menuju ridha-Nya. Memang tidak mudah, namun juga bukan berarti kesulitannya tak mungkin ditakhlukkan.

***

Tiga tahun sampai empat tahun kedepan, adalah waktu yang nanti akan membuka dan mengisi lembaran-lembaran cerita tentang kita berdua. Cerita yang mungkin tak akan pernah kita lupakan dan tak akan pernah lusuh dalam perjalanan waktu. Ya, semoga kita bisa merangkai cerita itu dengan indah, sejuk dan bersamaan dengan ridha-Nya. Karena kita pun sadar bahwa waktu tiga sampai empat tahun itu bukanlah waktu yang hanya bisa dilewati dalam sekejap mata berkedip. Jadi sabar dan saling mengerti antar satu sama lain adalah hal terpenting yang tak boleh kita lupakan.

Dua hal di atas itu bisa menjadi perekat atas keadaan hubungan kita nanti yang mungkin tak selalu berjalan mulus; kita memang sering saling bertukar senyum bersama, namun kita juga tak boleh lupa bahwa kita juga pernah saling marah. Itulah perlajanan. Selalu menyimpan dua kesan yang berbeda dalam prosesnya, antara keindahan dan keburukan, senyum dan kemarahan. Selain berdo’a dan memohon perlindungan kepada Tuhan, saling memahami antar satu sama lain, juga adalah jalan tengah untuk mendamaikan dua kesan yang selalu tanpil bersebrangan itu. Saling memahami ini sangat ditentukan betul oleh sejauh mana kita saling mencintai, menyayangi, dan sejauh mana kita saling memiliki. Karena di atas cinta dan perasaan menyayangi itulah, ia memilki watak “negativitas”, satu hal yang akan aku dijelaskan dalam konteks ini.

“Negativitas” yang aku maksud adalah pengetahuan yang secara otomatis tercipta di bawah perasaan “menyangi” sebagaimana yang disinggung di atas. Yang perlu digarisbawahi bahwa ia telah berhasil melampaui pengetahuan “hitam-putih” semesta ini. Inilah cinta yang total. Dengan prinsip negativitas-nya, ia tidak lagi memandang subjek yang ia pilih dalam metriks, baik-buruk, cantik-jelek, kaya-miskin, dst. Lebih dari itu, ia memahami orang yang dipilihnya sebagai sosok yang harus ia terima apa adanya, apapun kekurangannya.

Dari itulah, apa yang disebut sebagai “seling memahami” itu, dapat kita bangun melalui spirit “negativitas” ini; moment di mana tak lagi ada alasan, rasionalitas, tentang mengapa kita saling mencintai dan saling memiliki. Moment di mana kekurangan dan celah di antara kita tak lagi penting. Dan moment di mana kita saling terdorong untuk saling menjaga, mengingatkan, dan saling mengisi atas kekuaran-kekurangan yang tak bisa kita sembunyikan.

Memang tidaklah mudah.
Karena memang tidak ada yang mudah
dalam mencapai kebahagiaan.
Namun aku yakin,
kita sudah sama-sama siap menempuh itu semua!

***

Kini, aku selalu bertanya: apa yang bisa kulakukan, kuberikan, padamu selain kesetiaan ini? Aku sadar, karena kebodohanku, ketidakdewasaanku, kemalasanku, keteledoranku, kenakalanku, kemarahanku, telah berkali-kali menyia-nyiakanmu, membuatmu kecewa, mebuatmu marah dan jengkel. Membuatmu lelah, letih dan bahkan sesekali terganggu atas hubungan ini. Seolah-olah, cinta, sayang, dst, yang sering saya sampaikan kepadamu tak sebanding lurus dengan apa yang setiap saat kuperbuat. Ya, aku berjanji untuk terus belajar. Belajar untuk menjadi yang terbaik untukmu. Belajar agar apa yang selalu aku sampaikan tidak sekedar rongsokan wacana yang bisu dan hampa akan bukti, jauh dari kenyataan, atau sekedar aksara yang tertulis.

***

Sayang, aku mencintaimu, hingga nanti kita hidup di atap yang sama, bahkan sampai nanti, saat ajal memisahkan kita. Semoga Allah SWT meridhainya. Amien...

PMII Vis-À-Vis Radikalisme Agama (Refleksi dan Kritik-Kontradiktif Berbasis Ideologis)


http://images.nusantaranews.co/assets/uploads/2016/12/Ilustrasi-Deradikalisasi-dalam-menumpas-terorisme.-Foto-Ilustrasi-via-okezone.jpg

Moh. Roychan Fajar*

Tak bisa disangsikan, bahwa PMII telah menjadi organisasi mahasiswa yang paling dinamis dalam diskursus perkembangan wacana keislaman. Ikhwal ini diakui pula oleh Martin Van Bruinessen, kontras dengan mahasiswa islam modernis, PMII lebih memiliki penguasaan yang lebih konfrehensif terhadap khazanah ilmu tradisional,[1] namun sumber bacaan mereka (baca: PMII) melampaui tradisi keilmuan tradisional, seperti karya-karya ulama’ islam abad pertengahan, atau ulama’-ulama’ eksklusif sebagaimana yang dikagumi mahasiswa modernis. Kita sebut saja misalkan: Maududi dan Sayyid Qutb. 

Bertolak dari eksklusifitas mahasiswa modernis, PMII mempelihatkan minat yang cukup kreatif terhadap khazanah perkembangan islam kontemporer. PMII juga mengapresiasi dan mengakomodasi bukan cuma pemikiran-pemikiran liberal dan radikal semacam Hassan Hanafi, Asghar Ali Angenair, Muammad Abed al-Jabiri, al-Na’im, Muhammad Arkoun, Abu Zayd, Syahrour dan Khalil Abd Karim, tapi juga tradisi pemikiran sosialis Marxis, Post-Strukturalis, Post-Modernisme, gerakan feminisme dan civil society.

Dengan usaha ini, PMII berhasil membuka wacana keislaman yang lebih segar, dengan struktur gagasan yang tentunya lebih terbuka, namun ideologis, dibangdingkan gerakan modernisme islam, yang setiap saat menyerukan pemurnian agama untuk segera kembali berpijak pada al-Qur’an dan Hadist, kembali pada Negara Islam dan sekarang yang terbaru, anti China. Pada wilayah ini, kita harus “mencetak merah” tentang gerakan modernisme dalam islam. 

Terminologi modernisme dalam islam mempunyai sejarah dan konteksnya sendiri. Garis geneologi pemikiran modernis, juga neo-modernis, bersambung kepada Wahabi dan berpuncak kepada Ibnu Taimiyah yang jelas-jelas mencerca tradisionalis.[2] Yang kemudian sampai ke Indoensia, gerakan ini menjadi kelompok paling ekstrem dalam radikalalisme, fundamentalisme dan ekstremisme bermotifkan agama.

Pada titik ini, perjumpaan PMII dengan Radikalisme Islam dapat dipertemukan. Sebagai dua kelompok yang memiliki basis ideologis yang berbeda. Redikalisme agama yang hari ini menjadi perdebatan banyak pihak tentu tak bisa sekedar dilihat sebagai fenomena spiritual-religius (agama). Di sisi lain, ia juga fardu dilihat sebagai fenomena sosial yang sangat kelindan dengan ideologi poitik-ekonomi yang hari ini sedang berkembang. Uapaya ini kemudian menyudutkan kita bahwa PMII dan kelompok fundamentalis memang memiliki dua pendekatan konseptual yang berlawanan.

PMII mampu mendudukkan agama dalam lokus material. Meletakkan agama dalam lokus material adalah usaha melihat agama melalui parameter-parameter eksternal, yaitu agama sebagai praktik dan istitusi yang bekerja dalam dimensi empirik, sehingga dapat diamati melalui konstruksi nalar dan analisis-kritis tentang singgungan antara dogma dan politik, dogma dan ekonomi, dogma dan tradisi serta dogma dan kearifan lokal. Pada saat yang bersamaan, kita melihat fenomena terbalik: islam radikal seolah membangun tembok besar yang secara ketat memisahkan hubungan klindan sosial dan agama. Agama pada konteks ini, menjadi semacam “logosentrisme”—dalam istilah Jecques Derrida—yang secara total bersifat absolut dan totaliter. Dengan manafikkan realitas sosial, struktur sosial, yang kadang kali mampu merubah wajah agama yang sebenarnya; agama yang sejatinya arif, bisa menjadi garang seketika, yang awalnya bijaksana bisa pula menjadi jahat dalam sekejap mata memandang.

Maka tidak heran, barisan islam radikal ini, sangat ekstrem memposisikan infrastruktur sosial, untuk tunduk secara total pada prangkat normatif agama. Karena mereka memahami agama sebagai entitas final dalam arti tak boleh bercampuradukkan dengan prangkat sosio-kultural dan sosio-politik masyarakat. Alhasil—untuk sekedar menyebutkan contoh—negara harus menjadi agama, menolak pancasila, menolah NKRI dengan kembali pada syari’at islam secara normatif, seperti Islam di Timur Tengah, dst.

Konsekuensi dari penghayatan agama semacam ini, menciptakan pergeseran-pergeseran dimana agama dan dunia (harus) mengalami pemisahan yang radikal. Orang semakin dapat membedakan mana yang agamawi dan yang duniawi. Tradisi kemudian juga dimodifikasi sebagai sebuah barang: sebagai benda seni, artefak atau tidak lagi diyakini sebagai salah satu kekuatan tradisional. Komodifikiasi ini memungkinkan tradisi beralih dari lokusnya dalam pesantren dan komunitas, untuk selanjutnya dipindahtangankan menuju ruang baru yang bernama museum, galeri, atau dalam narasi besar tentang “pembaruan” atau “purifikasi”.

Inilah keadaan dimana agama sedang terjepit ke dalam ruang-ruang pribadi, ketika di sisi lain, pranata-pranata kehidupan semakin menguasai nyaris segala aspek kehidupan. Sebagai akibatnya, agama, beserta segala penjelasan teologisnya, tampak tak berdaya mengimbangi pergerakan ilmu-ilmu sekular yang memberi pola bagi kehidupan sosial. Sampai pada titik klimaksnya, persoalan-persoalan sosial seperti kemiskinan, marginalisasi, ketimpangan, semata-mata hanya problem dalam aspek moral.

Sementara PMII, ia memahami agama tidak sekedar dalam dimensi spiritual yang akhirnya bersifat ideasional. Sebaliknya, agama harus bertolak dari dunia sosial-materialis. Materialisme, sebagai suatu ontologi sosial (baca: pemikiran mendasar tentang masyarakat, individu, dan sejarah), dalam hal ini, sebagai suatu bentuk kesatuan otonom dari relung agama itu sendiri. Di sinilah, spirit “teologi pembebasan”-nya Asghar Ali Engineer, “islam kiri”-nya Hassan Hanafi, dan “post-tradisionalismenya”-nya Muhammad Abed al-Jabiri (diterjemahkan oleh Ahmad Baso), mendapatkan posisinya yang sangat vital, vis-a-vis dengan gerakan radikalisme agama yang semakin menggurita ke berbagai pelosok negeri.

PMII mencita-citakan agama bukan sekedar prangkat alfabeta pengetahuan diruang akademik dan di meja-meja diskusi. Atau sekedar prangkat doktrin pada “orientasi tunggal” yaitu: akhirat. Sebagai bagian dari gerakan ideologis, PMII juga harus dimaknai kehadirannya secara inklusif sebagai common platform bagi aktivisme masa depan yang bergerak dengan integritas intelektual dan wacana dari himpunan tradisi, pencerahan dan kritisisme, yang berakar dalam khazanah kognitif dan praksis mayoritas umat beragama di Nusantara. Infrastruktur ideologis PMII adalah perpaduan hibrid antara tradisi Aswaja, praksis kebangsaan dan keindonesiaan serta dinamika ilmu-pengetahuan kontemporer yang juga tak boleh di tinggalkan. Wallahua’lam...

*) Pengurus Cabang PMII Sumenep
Masa Khidmat 2016-2017 M.


[1] Martin van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (Yogyakarta: LKiS, 1994), hal. 233
[2] Lihat Ahmad Baso, “Neo-Modernisme Islam vs Post-Tradisionalisme Islam” dalam  Tashwirul Afkar Edisi No. 9 Tahun 2000, (Jakarta: Lakpesdam NU, 2000), hlm. 32.

Menjadi Santri-Marxisme (Ekperimentasi Metodologis “Islam Proletar” di Madura)



Bagi seorang santri yang mempelajari pemikiran Karl Marx, jelas akan menemukan kesulitan-kesulitan yang pelik, rumit bahkan membosankan. Kesulitan pertama, terdapat dalam instrumen referensi yang tentu saja tidak disediakan dengan manja oleh pesantren, tidak seperti kitab-kitab ulama’ muslim Abad Pertengahan yang tersedia langsung di perpustakaan. Kedua, Marxis dalam dunia pesantren kurang populer sebagai sebuah diskursus intelektual di kalangan santri. Sehingga bagi peminat Marxis, ia akan menemukan kesulitan untuk berinteraksi wacana dalam melakukan kritik dan otokritik tentang seluk-beluk pengembangan ilmu pengetahuannya tentang Marxis itu.

Dan kesulitan yang ketiga, Marxisme dalam spektrum pemikiran Islam dan/atau pesantren, masih dianggap sebagai tendensi berpikir yang cenderung liberal bahkan “anti tuhan”. Sehingga, bagi pengagum Marx dalam dunia pesantren, ia akan selalu dicurigai sebagai santri yang tidak taat beragama. Kesuliatan yang terakhir ini, sebenarnya bukan hanya terjadi di kalangan pesantren, tapi juga terjadi pada banyak orang yang kadang hanya secuil mempelajari khazanah pemikiran Marx, dan parahnya langsung menyimpulkan bahwa Marx adalah ateis, komunis, dst.

Dari itulah, bergelut dalam pemikiran Marxis di dunia pesantren adalah pertaruhan. Pertaruhan apakah nanti ia akan benar-benar intens dalam studinya itu, atau menyerah pada realitas yang seolah-olah tak dapat menghendaki sebuah pemikiran Marxis tumbuh subur melampai tradisi keilmuan yang sudah sejak dulu dikembangkan sebagai kurikulum pesantren itu sendiri. Tapi bagi saya, santri (saat ini) harus menjadi Marxis. Hal ini bertolak dari kosmologi kaum santri yang kini sudah nyaris sirna elastisitasnya dan paradigma kritisnya.

***
Mengapa santri harus menjadi Marxis? Tentu bukan untuk membangun serikat buruh dan bermaksud melenyapkan tradisi keilmuan pesantren, yang oleh Wali Songo dan para kiai-kiai sepuh sudah dipraktikkan sejak Islam menginjakkan petamakali di bumi Nusantara ini. Alasan vital santri harus menjadi Marxis, adalah berdasarkan situasi santri itu sendiri. Satu konstelasi ekonomi-politik yang meletakkan posisi santri sebagai kelas proletar yang terpinggirkan.

Bertahan dalam tradisionalitas, hanya akan membuat santri diam dalam penderitaan yang tak ia sadari. Pradigma tradisional pesantren terlalu “purba” untuk merangkai gerakan yang secara agresif, kuat dan revolusioner. Sebagai strategi sosial, “tradisionalisme pesantren” terlalu lugu untuk bersaing dengan wacana atau bahkan praktik-praktik kapitalisme global. Pada fase inilah, Marxisme menjadi kebutuhan untuk merekonstruksi strategi gerakan para santri—atau dalam hal ini Islam—di tengah struktur masyarakat yang modern-kapital.

Maka dari itu, bagi santri yang belajar Marxisme, berati ia juga harus mengupayakan—yang tentu tak sederhana—mempertemukan gagasan religius keagamaan—atau lebih spesifik keIslaman—denagan prangkat metodologi Marxisme. Eksperimentasi intelektual ini, di Indonesia sudah pernah dilakukan oleh beberapa orang yang lahir dari kultur pesantren, termasuk dulu yang pernah dilakukan oleh KH. Abdurrahman Wahid. Gus Dur pernah menulis artikel pendek tentang, “Pandangan Islam Tentang Marxisme-Leninisme”,[1] tahun 1982. Dewasa ini, dilajutkan oleh Muhammad Al-Fayyadl,[2] penulis yang juga cukup intens melakukan pembacaan ulang khazanah keIslaman kita melalui kerangka Marxisme. Tapi kedua orang tersebut tidak sampai pada wilayah spesifik pesantren, sebagai satu wacana strategis tentang Islam Indonesia.

Jadi, rumusan tentang “Santri-Marxisme”, yang saya lakukan saat ini, tidak bisa disebut usaha yang baru. Kecuali pada domain penekanannya yang lebih khusus dalam aspek kritik dan pembacaan ulang agama dan identitaas kesantrian dihadapkan dengan ideologi ekopol yang hari ini memporak-porandakan tatanan sosial kaum tradisional yang sejak dulu menjadi basis sosio-kultural pesantren dan santri. Sebagai eksperimentasi metodologis, Santri-Marxisme merupakan kristalisasi dari jejak pemikir-pemikir Islam kontemporer dewasa ini. Kita bisa menyebut misalkan, Ali Syari’ati, Mohammd Arkoun, Hasan Hanafi dan Asghar Ali Engenair, sebagai pemikir yang telah berhasil melampaui garis normatif ajaran Islam itu sendiri, dalam proyek rekonstruksi ajaran kritis Islam dan untuk kebaikan Islam itu sendiri.

Oleh karena itu, santri yang belajar Marxis di pesantren adalah bentuk ijtihad menghadapi realitasnya sendiri. Karena tanpa model ijtihad semacam ini, santri tidak akan menemukan persoalan-persoalan: “eksploitasi ekonomi”, “kapitalisme”, “kontradiksi sosial”, “struktur” dan istilah-istilah seperti: “borjuis-proletar” dalam dunia kitab kuning yang menjadi kawan akrabnya[3] sejak dulu. Sementara di dunia luar, di mana ia akan menginjakkan kaki dan hidup berkhidmat di tempat itu, persoalan-persoalan dalam studi Marxisme seperti di atas, riil terjadi. Inilah kemudian, “Santri-Marxisme” menduduki tempatnya yang paling vital dihadapkan dunia di mana nanti para santri itu sendiri hidup.

Karena bagaimana pun, santri sampai hari ini, masih diterjemahkan sebagai identitas keIslaman nusantara. Dalam kosmologi santri, juga melekat khas Islam masyarakat akar rumput, Islam pinggiran, Islam petani, yang keberadaannya kini dalam struktur sosial nasional maupun global, termarjinalkan sebagai kelompok yang tak punya akses politik, nyaris miskin permanen, dan jauh dari nasib sejahtera. Dalam studi Marxisme, kita bisa menyebut santri ini sebagai kelompok sosial ploretarians.

Sebagai kaum ploretar, tentu, ia memahami kondisinya beserta seluruh problem yang dihadapi bertolak dari posisi matrialis. Bahwa problem sosial yang kini menimpa kaum santri bukan sekedar persoalan moral dan apa pun itu menyangkut relasi dan dimensi vetikal-spiritual. Melainkan persoalan yang lahir dalam khazah sosial empirik yang erat kaitannya dangan desain politik-ekonomi para elit politik dan pemilik modal, yang ingin mengaup keuntungan indevidual.

Berangkat dari fenomena itulah, melalui lanskap Santri-Marxisme, saya ingin menyebut Islam santri, sebagai “Islam ploretar”: Islam yang bersemi dan hidup di wilayah pinggir, pedesaan dan mayoritas terdiri dari masyarakat kelas bawah. Walaupun mereka bukan seutuhnya buruh—sebagaimana terminologi ploretarians ala Marxisme—namun, mentalitasnya berhadapan dengan ideologi ekonomi dan politik nasional lebih-lebih global, mereka tidak ada bedanya dengan budak; sebagai pekerja rajin tanpa penghasilan setimpal dari institutsi, kantor atau pabrik di mana mereka bekerja. Sebagai kelompok proletar, posisi santri, mau tidak mau, kini harus di pahami sebagai subjek yang berada dalam posisi “alienasi”. Betapa tidak, dalam tatanan sosial, ia adalah komunitas yang berada pada base structure, yang “menghamba” pada kuasa kelas suprastructure borjuis, yakni: para teknokrat, dan korporat. Semantara dari dulu, tak ada sejarah penghambaan santri pada siapapun, kecuali penghambaannya terhadap Allah SWT. Bahkan ia selalu melawan atas segala bentuk tindak kolonialisme Belanda dan Jepang.

Di sinilah, Santri-Marxisme hadir tidak sekedar berupa eksplorasi konseptual yang canggih dan ujung-ujungnya, kandas dengan hasil yang kosong. Santri-Marxisme  ingin secara kongkret mengembalikan posisi santri sebagaimana yang dahulu; merebut kembali stabilitas yang selama ini telah sirna. Dari itulah, Santri-Marxisme ingin membawa Islam pada wilayah yang lebih praksis dan material, mengunakan prangkat dogma untuk melakukan perjuangan kelas. Dalam dialektika kehidupannya, tepat sebagaimana Marx, ia harus memahami: “the history of hitherto all existing society is the history of class stuggles[4] (sejarah seluruh kehidupan sosial sampai sekarang adalah sejarah perjuangan kelas). Santri harus bangkit dari posisinya sebagai kelas ploretar.

***
Nah, saya ingin lebih spesifik berbicara dalam konteks Madura. Di Madura, dari dulu hingga kini, secara kultural adalah basis pesantren, banyak pesantren besar yang hingga detik ini menampung beribu-ribu santri seperti di Annuqayah Guluk-Guluk dan Al-Amin Parenduen. Sehingga tidak heran, mayoritas penduduk Madura adalah santri; berbicara Islam di Madura, maka sama saja dengan berbicara santri di Madura. Santri dalam dialektika Islam Madura, bukan sekedar simbol historis dari situasi masa lalu, namun ia memang ekspresi Islam Madura hingga detik ini dan sampai kapanpun nanti. Dari itulah, dalam Islam Madura: saat identitas santri telah remuk dalam jaring laba-laba kapitalisme, maka itu pula berati Islam dalam keadaan yang sama. 

Islam di Madura sebagai “Islam proletar”, di mana pemeluknya mayoritas terdiri dari para pekerja, kuli, petani, setiap saat senantiasa tereksploitasi secara ekonimis oleh struktur besar kekuasaan. Bahkan dalam praktik politik pun, mereka hanya boneka. Sebagaimana boneka, mereka tak berdaya pada sang pemilik, dibuat untuk apa pun boneka itu, adalah kuasa sang pemilik. Mereka dicipta sebagai sapi perahan untuk diperas agar menghasilkan keuntungan bagi tuannya. Kesadarannya secara dominan dirumuskan secara hegemonik, inilah yang kemudian oleh Michel Foucault disebut sebagai, “kematian manusia” (the death of human).[5]
 
Masyarakat muslim Madura yang kini dalam kubang kapitalisme, harus menyadari bahwa dirinya berada dalam tirani yang secara nyata melanggar prisip-prinsip kemanusiaannya. Yang dalam perkembangannya nanti, akan menghancurkan sendi-sendi idealisme kaum santri sebagai representator Islam di Madura. Hingga akhirnya membuat Islam Madura beku, bisu dan absen dari aksi-aksi perlawanan terhadap seluruh bentuk eksploitasi yang sejatinya telah mencedrai hak primordial rakyat. 

Baik, mari kita tunjuk langsung. Selama ini, kalangan kelas menengah keatas, di Sumenep sedang merepatkan barisan untuk menyulap dirinya sebagai kelas elit bourjuis. Gerakan borjuis ini, terdiri dari para pengusaha yang memiliki basis politik sangat kuat di meja pemerintahan. Kekuatan politiknya digunakan untuk mengaup keuntungan pribadi untuk semakin tampil lebih dominan di tengah-tengah masyarakat. Fatwa-fatwa tentang kemajuan dan pembangunan adalah kata-kata kunci yang sering mereka ucapkan ke masyarakat desa, yang cenderung tak berpikir dua kali tentang masa depannnya. 

Gerakan ini semakin berkembang, saat mereka juga mampu berafiliasi dengan kelas intelektual dan seluruh media pers, cetak maupun online. Organisasi dan Komunitas diskusi/literasi yang lahir dari gerakan borjuis ini di Sumenep sudah bertaburan. Hal ini, digunakan oleh para elit politik dan pemodal itu untuk memperkuat status quo-nya di hadapan publik. Kita bisa melihat banyak gerakan aktivis yang tidak memiliki basis idelisme yang kokoh, juga ikut meremaikan serangkaian gerakan berjuis ini. 

Pada titik klimaksnya, kini gerakan elit kelas menengah keatas—untuk tidak menyebut sebagai kelas borjuis—tampil di hadapan publik, dengan dalih kemajuan dan pembangunan, yaitu: gagasan Visit Sumenep. Visit Sumenep, ingin menyulap kota santri yang religius ini, menjadi kota wisata. Proses pemebangunnya sudah mulai dilakukan. Para elit ini, bekerja sama dengan sejumlah investor lokal dan luar negeri dalam tahap pembelian tanah. Pembelian tanah, sebagai fakta yang sudah diketahui oleh banyak orang ini, setiap hari semakin meningkat. Bahkan dalam investigasi majalah Fajar Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Instika 2016, dilakukan degan cara memaksa dan cara-cara yang tidak manusiawi lainnya.

Visit  Sumenep dan penjarahan tanah dibeberapa wilayah Kabupaten Sumenep, menjadi salah satu perwujudan riil kapitalisme yang telah merebut alat produksi warga untuk kepentingan modal industri perusahaan atau individu. Upaya ini telah dilakukan, melibatkan berbagai elemen mulai dari pemerintah atau masyarakat lokal untuk menjadi “kaki tangan” dalam mendekati warga agar mau melepas tanahnya untuk dikuasai. Konspirasi birokrasi dan pengusaha dalam proyek kapitalisme ini, jelas mendudukkan masyarakat desa yang notabene santri, sebagai individu yang akan menjadi kuli di tanahnya sendiri.

Seiring berjalannya waktu, sampai cap halal pun untuk wisata di Sumenep dilakukan. Sebagaimana yang dikatakan oleh orang nomor satu di Sumenep ini, A. Busyro Karim. “Tidak perlu khawatir, sebab semuanya sudah serba sehat dan halal.  Nantinya pihak travel yang akan memanjakan para wisatawan, berhentinya dimana, makannya dimana, sholatnya dimana, maka semuanya insya Allah akan terjaga.”[6] Kendati jaminan untuk para wisatawan sudah ditanggung, namun tetap tidak ada tanggungan khusus untuk para rakyat pribumi.

Keadaan semacam inilah, agama direduksi sebagai prangkat simbolik untuk mengafirmasi seluruh praktik kepentingan pribadi, atau kepentingan kelompok dominan, yang terus berusaha dengan berbagai cara memperkuat dominasi kemapanannya sendiri. Pada fase ini, agama dibuat berdiri di tengah lingkaran permainan kaapitalisme itu sendiri. Usaha melakukan Islamisasi pada kapitalisme ini, semakin menonjol saat seperti rencana Visit Sumenep telah lebih dulu di cap halal. Usaha menghalalkan Visit Sumenep (kapitalisme) dimungkinkan sejuh dilatekkan sebagai rangkaian praktik secara vertikal, dengan melenyapkan implikasi sosiologis dalam diri agama itu sendiri.

Dalam fenomana ironis ini, Islam ploretar hadir, sebagai peghayatam Islam Santri-Marxisme untuk membangun kembali kesadaran empatik terhadap kaum mustadh’afîn. Yang lahir berdasarkan fenomena pertentangan kelas, antara kelas penindas (mala’ atau mutraf) dan kelas tertindas (mustadh’afîn). Termasuk pula, antara para petani atau buruh dan elit-politik serta pemilik modal. Kesadaran impatik dalam bingkai Islam ploretar, bedasarkan kerangka materialistik, yang mengafirmasi seluruh ide-ide tentang keIslaman, termasuk dalam aspek teologi, syari’ah dan tasawuf, nicaya bersifat material: di mana agama harus bertolak dari fenomena eksternal-sosial-empirik. 

Materialisme, sebagai suatu ontologi sosial (baca: pemikiran mendasar tentang masyarakat, individu, dan sejarah), dalam hal ini, sebagai suatu bentuk kesatuan otonom dari relung-doktrin agama itu sendiri. Semacam spirit “teologi pembebasan”[7]-nya Asghar Ali Engineer, “Islam kiri”-nya Hassan Hanafi, dan “post-tradisionalismenya”-nya Muhammad Abed al-Jabiri (diterjemahkan oleh Ahmad Baso), namun lebih radikal dari sekedar transformasi aqidah pada ranah sosial-material seperti yang mereka lakukan. Karena pada posisi ini, Islam proletar lebih menonjolkan diri bertolak dari kontradiksi kelas. Di sisnilah perwujudan Islam melalui pendekatan materialisme historis mendapatkan posisinya yang sangat vital.

Mendudukkan Islam dalam “materialisme historis”[8]-nya Marxis berarti kita juga melakukan reorientasi keagamaan. Bagaimana kemudia seluruh prangkat doktrik keagamaan itu sendiri dapat lebih akrab dan pula kritis terhadap realitas yang penuh dengan selubung jebakan berbahaya. Sehingga pada fase ini agama (baca: Islam) para santri, tidak lagi dihayati sekedar jalan menuju surga, tapi dalam aspek yang lain, juga harus dipahami sebagai “agama perlawanan”. Perlawanan terhadap seluruh elemen yang senantiasa menggunakan agama sekedar sebagai kendaraan untuk mencapai keinginan pribadinya. Kelompok yang selalu mendudukkan agama sebagai panggung pencitraan ini, adalah aktivitas yang gemar dilakukan oleh para elit politik dan pengusaha di Sumenep. 

Maka dari itu, Islam proletar menjadi argumentasi alternatif untuk meletakkan agama tidak sekedar foumulasi aqidah, melainkan juga kritik sosial untuk melihat praktik-praktik diskriminatif sebagai problem yang harus diselesaikan sebagai bagian garis perjuangan agama di Madura, utamanya Sumenep. Posisi strategis santri dalam stuktur sosial masyarakat Madura butuh kembali mengkonsolidasikan diri atas nama kedaulatan bersama. Maka dari itu, Islam Proletar mencoba mendefinisikan diri sebagai Islam yang memiliki spirit permbebasan dan strategi gerakan yang digali dari tiga dimensi sekaligus, kearifan lokal, Marxisme dan nilai-nilai sosial Islam rahmatan lil ‘alamin

Tiga dimensi di atas ini menjadi trilogi pokoh dalam menerjemahkan Islam Proletar di Madura. Sehingga, dalam praktiknya, pada waktu tertentu, ia bisa saja menjadi kritik sosial, lalu dapat pula berubah menjadi strategi gerakan recolusioner, dengan tetap memegang teguh kearifan lokal Madura sebagai fenomena objektif atas bersatunya spktrum ajaran Islam dan nilai-nilai sosial kemasyarakatan. Dan pada akhirnya penghayatan Santi-Marxisme ini, sebagai eksperimentasi metodologis, kembali mengaktualkan posisi vital santri dalam dinamika sosio-keagamaan masyarakat Madura berhadapan dengan kapitalisme yang pelan tapi pasti berusaha menjinakkan agama dalam pusaran politis yang rumit, sepihak dan diskriminatif. Alhasil, Santri-Marxisme berakhir dengan seruan: bersatulah kaum santri!


*Alumnus PP. Annuqayah Guluk-Guluk Madura


 Daftar Bacaan

Engels, Karl Marx dan Frederick. 1888. The Communist Manifesto, London: Collected Work
Al-Fayyadl, Muhammad. 2005. Derrida, Yogyakarta: LKiS
Angineer, Asghae Ali. 2007. Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: LKiS
Bailey, Sudney D. 1954. “The Revision of Marxism”, in The Review of Politics, Vol. 16, No. 4 (Oct.,  1954


[1] Lihat lebih jauh dalam, Abdurrahma Wahid, “Pandangan Islam Tentang Marxisme-Leninisme” dalam, Persepsi, No. 1, 1982.
[2] Ini terbukti dalam tulisannya bertajuk, “Islam and Marxism: A Repraisal”, lalu bandingkan dengan tulisannya yang bertajuk “Marxisme dan Ateisme”, di IndoProgress, diakses pada pukul 14:55 WIB, tanggal 13 Februari 2017 M.. Ia melakukan klarifikasi motodologis tentang dominannya para kalangan fanatik yang menyebut Marxisme adalah anti Tuhan. Dengan menyandar kan terhadap ungkapan Marx tentang agama yang oleh Marx dilihat sebagai opium (candu). Bahkan Fayyadl, juga pernah menulis saatu esai berjudu, “Santri dan Marxisme”, NU Online, diakses pukul 15:37 WIB, 03 Februari 2017 M.
[3] Op.Chit, Muhammad Al-Fayyadl, Santri dan Marxisme... diakses pukul 15:37 WIB, 03 Februari 2017 M.
[4] Lihat dalam, Karl Marx dan Frederick Engels, The Communist Manifesto, (London: Collected Work, 1888), pp. 8          
[5]  Lihat secara detail dalam, Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LkiS, 2005), hal. 16
[7] Asghae Ali Angineer, Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta: LkiS, 2007)
[8] Sudney D. Bailey, “The Revision of Marxism”, in The Review of Politics, Vol. 16, No. 4 (Oct.,  1954), pp. 452-462.
 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates