Kearifan Sumenep; Sebuah Epistemologi Adat Kebudayaan






Oleh Mohroychan Fajar 

Sumenep, begitulah nama salah satu Kabupaten yang terletak di ujung timur pulau Madura. Dengan kapasitas penduduk lebih dari 1 Juta jiwa, nuansa intetarksi yang harmonis antara satu sama lain tetap terjaga dan dilestarikan. Hal demikian dapat terjadi tatkala prinsip dan nilai-nilai kei-Agama-an yang masih tertata rapi. 

Seakan tak habisnya, membuat banyak orang (luar madura) menyanjung dan memujinya. Kota luhur, damai dan nyaris tak tercium aroma konflik serius antara daerah ke daerah yang lain. Tentu, konstelasi tersebut sampai kini dapat terjaga dan masih dipandang penting karena masih adanya norma-norma sosial yang dihormati bersama. Sebagaimana norma, tercipta atas beberapa kebiasaan, lalu menjadi kesepakatan serentak.

Kebiasaan terebut, mengkristal menajdi satu perekat atas heterogenitas masing-masing masyarakat. Sebagaimana termafhum, kualitas otak seorang manusia pastilah berbeda antara satu-sama lain. Perbedaa tersebut, melebur menjadi satu kesatuan tak terpisah dalam satu sekepakatan serentak, sehingga kemudian menjadi norma yang membatasi prilaku diluar kesepakatan.

Norma-norma yang merupakah buah dari berbagai kesepakatan tersebut, menjadi “pengikat” untuk selalu dan senantiasa membanggakan hasil karya lokalitas penduduk. Karena tanpa pengikat, masyarakat akan bertindak bebas atas naluri dan keinginannya sendiri.

“Kebebasan” ini, amatlah berbahaya dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, tak ada hukum (ke)bebas(an) (sebebas-bebasnya) dalam konsepsi kehidupan bermasyarakat. Para ulama’ sangat puitis dalam merespon persoalan ini, “kebebasan kita, akan terbentur atas kebebasan orang lain”. artinya, seorang manusia tidak akan pernah hidup dalam kebebasan ditengah masyarakat. Karena, sintem masyarakat diatur secara bersama dan tidak boleh memihak secara indevidu.

Dalam bahasa yang berbeda, norma sosial adalah “polisi” bagi  masyarakat Sumenep untuk tetap menghormati dan bangga atas budayanya sendiri. Karena bagi masyarakat sumenep, budaya adalah ruh peradaban yang harus terus dilestarikan.

Epistemologi Kebudayaan Sumenep
Menurut seorang cendikiawan muslim berkebangsaan Iran, Al Syari’ati budaya adalah pengetahuan universal dan fundamental dalam satu kehidupan masyarakat. Dalam kehidupan sosial di masyarakat Sumenep, kebudayaan sudah menjadi suatu ciri hidup yang dibanggakan.

Memang seyogyanya suatu kebudayaan merupakan “barang” yang patut dibanggakan, karena pada akhirnya nanti kebudayaa tersebut akan diwariskan dari satu generasi ke generasi yang berikutnya. Selain dari pada itu, budaya masyarakat Sumenep juga merupakan manifestasi dari unsur-unsur seperti sistem Agama, Politik, dan Adat Istiadat yang dihormati secara utuh.

Unsur-unsur tersebut, menjadi simbol persaudaraan. Dalam hubungan persaudaraan, tentu tak akan mengenal chaos atas nama kepentingan pribadi, ia akan terus berupaya menyusun dan merumuskan bersama tentang hari esok yang cerah untuk anak dan cucunya kelak. Juga akan saling menjaga antara satu sama lain.

Sehingga, atas dasar tersebut, budaya yang dihasilkannya juga masuk dalam "karya pemikiran" yang wajib dilindungi berdasarkan prinsip persaudaraan tersebut. Budaya juga akan menjadi karakter, simbol, dan sebagai citra atas sikap dari masyarakat Sumenep itu sendiri.

Dalam konteks ini kebudayaan harus dipahami, sebagai satu cara hidup yang bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Aspek-aspek budaya turut menentukan prilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial penduduk Sumenep.

Termasuk dengan sikap masyarakat Sumenep yang dikenal sebagai pemberani. Dan termanifestasikan dalam budaya yang dikenal Carok. Dalam adagiumnya dikenal “katembeng pote matah penguk poteah tolang” (ketimbang puti matah lebih baik putih tulang).

Kendati sepintas adagium ini mengandung nilai anarkisme. “Pote tolang” (putih tulang) berarti luka sampai terlihat tulangnya dari bacokan clurit. Namun sebenarnya, budaya carok ini, bagian dari menjaga sakralitas norma-norma yang disepakati bersama sebagai landasan kehidupan bermasyarakat.

Budaya carok ini, tidak sebagaimana banyak orang menjadikan bahan legetimasi bahwa masayarakat Madura—termasuk Sumenep—adalah sekelompok masyarakat yang biadab, arogan dan tidak mengenal sikap kasih dan sayang antar sesama.

Meminjam bahasanya Huub De Jonge, Carok  adalah kebudayaan masyarakat Madura sebagai tindakan menolong sendiri dengan sebab yang pasti, suatu motif di balik hilangnya kesabaran orang lain. Carok merupakan gambaran atas tegasnya masyarakat Sumenep dalam membina kesepakatan, etika, kesantunan yang harus dijunjung bersama sebagai satu bentuk prinsip persaudaraan.

Carok ini, hanya terjadi bilamana ada pelanggaran norma-norma sosial yang sudah bersifat fatal. Semisal, mengambil istri orang lain, melecehkan hak-hak orang lain, dan sejenisnya. Karena bagi masyarakat madura, harga diri sangat mahal dan tak bisa ditukar dengan apapun.

Pelanggaran norma sosial adalah bentuk pudarnya kedisiplinan dalam menjunjung tinggi prinsip kebersamaan sebagai satu masyarakat arif. Apabila hal itu akan terus dilestarikan—tanpa ujung yang pasti—maka seluruh sistem masyarakat akan juga ikut memudar. Kehidupannya juga tak akan menjadi aman dan damai kembali.

Selain dari pada itu, Sumenep sebagai luhur juga termanifetasikan dalam kebudayaan-kebudayaan yang arif dan bijaksana. Dalam hal ini, tergambarkan dalam budaya Kerapan Sapeh. Budaya satu ini, mengandung nilai filosofis yang bijaksana. Karena, dalam budaya tersebut, orang Sumenep meyakini bahwa aduan sapi yang terdiri dari sapi jantan tersebut, merupakan gambaran tentang keperkasaan, ketabahan, dan kesabaran pria-pria madura dalam menghadapi kerasnya hidup.

Tidak hanya bagi kaum pria, masyarakat madura juga memiliki kasih sayang yang besar untuk kaum perempuan, hal demikian terbukti dalam budaya kontes Sape Sono’, dan yang diikutkan hanya sapi betina dengan dihiasi se-menarik mungkin untuk tampil dihadapan orang banyak yang menyaksikannya.

Nilai filosofis yang dapat dipetik dalam budaya ini, masayarakat madura juga memberi gerak bagi kaum perempuan, agar tidak hanya melakukan tugas-tugas di dapur, namun memiliki kesempatan untuk tampil di publik dalam membangun sebuah peradaban.

Maka dari itu, persoalan-persoalan kebudayaan tak akan pernah lepas dari cerminan kehidupan lokal penduduknya. Sumenep masih tetap dalam nuansa kearifannya. Atas prinsip persaudaraan, sikap gotong royong, saling mengasihi, dan ikut sengsara atas kesedihan para tetangganya tetap menjadi tradisi sampai detik ini.

Dalam hal demikian penulis ingin mengakhiri tulisan ini, sebagaimana Huub Dee Junge, sebagai antropolog yang berhasil mengangkat harkat martabat masyarakat Madura (termasuk Sumenep di dalamya) menulis, “Di seberang kejanggalan, keprimitifan, kebiadaban orang Madura, ada kesantunan, kemajuan, keteraturan, kemanusiaan dan keberadaban kelompok sendiri”. Wallahua’lam… 

*Penulis adalah seorang putra yang masih 
bangga pada pekerjaan Bapak dan Ibunya sebagai petani

 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates