Oleh: Moh. Roychan Fajar[1]
Sejarah kelahiran Nahdlatul Ulama’
tak dapat terlepas dari proses perkembangan umat Islam dalam konteks pemikiran
maupun politik—baik ranah lokal, nasional maupun internasional. Pada masa itu
tak bisa dipungkiri, dialektika gerakan-gerakan imprealisme-kolonialisme
Belanda yang semakin menunjukkan taring-taringnya untuk memperbudak masyarakat
pribumi Nusantara, serta gerakan kaum agamis pembaharu yang semakin
memperlebarkan sayap upaya konstuksi pradigma baru bagi masyarakat di tanah
Nusantara, harus mendapat respon serius dari bangsa Indonesia.
Pada masa pra kemerdekaan Indonesia,
kala gerakan-geran kolonialisme Belandan mengeksploitasi di semenanjung tanah
Nusantara, serta gerakan-gerakan wahabisme yang mengatas namakan sebagai
ajaran-ajaran pembaharu dari wilayah timur tengah. Membuat para kiai tanah air
gelisan atas realitas ini, yang konon bagi mereka realitas ini mengancam
sendi-sendi kedaulatan bangsa di satu sisi dan keteguhan pemahaman keagamaan
model tradisionalis—dalam bingkai Ahlussunnah Waljama’ah—yang telah diyakin
pada sisi yang berbeda[2].
Sehingga, para kiai-kiai pesantren dan
tokoh-tokoh agama yang lainnya beri’tikad menciptakan organisasi keislaman yang
berbasis masyarakat pinggiran dan ‘kaum sarungan’ (pesantren) dengan ideologi
Ahlussunnah Walja’ah sebagai landasan berpikirir dalam membingkai dan menjaga
tradisi masyarakat ke-Islaman sebagai prisai dalam membentengi gempuran
ajaran-ajaran modernis yang dihawatirkan akan menggerus budaya dan tradisi
masyarakat pedesaan yang memang telah menjadi identitas kental.
Dalam melestarikan tradisi dan
keasrian pemahaman keagamaan model tradisionalis, dan mengatasi adaya
kekhawatiran dari sebagian umat islam yang berbasis pesantren terhadap gerakan
kaum modernis yang meminggirkan mereka, pada tanggal 31 Januari 1926 (16 Rajab
1344 H)[3] para tokoh agama dan kiai-kiai pesantreen menggagas jami’iyah
sebagai organisasi umat islam, dengan sebuah nama Nahdlotoel Oelama’, sebuah
nama yang diusung oleh H. Alwi Abdul Aziz. Tentu, dalam organisasi ini bergerak
sebagai penjaga gawang atas tradisi-tradisi islam tradisionalis[4] dari gerakan
Wahabi yang dimotori oleh Ibnu Sa’ud yang berhasil menguasai Mekah Saudi
Arabiah berkat bantuan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang tak lain sebagai
ketua kelompok wahabi.
Kendati NU (Nahdlatul Ulama’) lahir
berdasarkan wawasan keagamaan tidak kebangsaan, namun organisasi para kiai dan
para santri ini, juga berperan aktif dalam turun ke medan perang upaya menyapu
bersih emprialis-kolonialisme Belanda yang telah membuat masyarakat sangat
gelisah atas pengaruh tersebut.
Untuk mencapai cita-cita tersebut—yang
telah didambakan pula oleh seluruh pendudu tanah air—NU beserta para kiai dan
para santri terus berteriak dan bergerak untuk mencapai perubahan bangsa yang
telah lama diduduki dan takhluk dibawah kekuasaan penjajah agar cepat menghirup
udara bebas dari segala bentuk penjajahan Negara Belanda. Karena, tak dapat
dipungkiri imprealis-kolonialisme Belanda telah jelas mmencedrai nilai-nilai
kemanusiaan; entah dalam bentuk penyiksaan, pemerasan dsb.
Para ulama’ dan santri terus
menentang ajaran-ajaran para penduduk Asing Belanda yang tak sesuai
dengan adat budaya bangsa Indonesia yang anti kekerasan dan penindasan,
seperti yang telah ditulis oleh Choirul Anam dalam bukunya Pertumbuhan dan
Perkembangan Nahdlatul Ulama’. Perjuangan NU secara kultular di bawah komando
Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar dalam srtuktur
kepengurusan Nahdlatul Ulama’ terus berkiprah seesuai alur sejarah.
Semangat nasionalisme untuk bebas
dari belenggu penjajah asing, menjadi agenda besar bagi kiai-kiai dan para
santri yang tergabung dalam organisasi NU. Tak cukup hanya berharap dan
berteriak tentang semangat nasionalisme. Semangat nasionalisme di kalangan
ulama-lah kata-kata bangsa dan nasionalisme sangat kuat menggerakkan semangat
mereka untuk membebaskan Indonesia dari penjajahan bangsa asing[5].
Gelora nasionalisme ini kemudian
dibuktikan pada lahirnya Sumpah Pemuda, dan juga pada tahun 1945 saat negara
Indonesia baru berdiri. Kala itu, indonesia menghadapi tantangan akan dijajah
kembali. Resolusi Jihad yang dikeluarkan KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945
yang mewajibkan kaum santri beserta masyarakat setempat, berperang menghadapi
Tentara Sekutu, Inggris dan Belanda, telah membakar semangat heroisme rakyat
dan umat Islam untuk terlibat mempertaruhkan nyawa guna mempertahankan
kemerdekaan Republik Indonesia. Itu ditunjukkan dalam pertempuran 10 November
1945 di Surabaya. Dan perlawanan heroik tersebut kemudian ditetapkan sebagai
Hari Pahlawan[6].
Perjuangan NU adalah perjuangan para
kiai, santri dan para penduduk yang berada di wilayah pelosok pedesaan di
segala penjuru Indonesia. Tiga tokoh besar dalam NU, KH Wahab Habullah, KH
Hasyi Asy’ari, dan KH Kholil, merupakan pionir signifikan dalam tubuh NU.
NU dalam Membina Masyarakat
Heterogen
Sketsa sejarah tebentuknya NU,
adalah bagian dari prestasi agung tersendiri dalam romantisme sejarah masa lalu
kemerdekaan Indonesia. Terlihat sangat jelas kiprah NU dalam membentuk jati
diri Bangsa Indonesia.
Dalam perkembangannya secara
historis, NU terus menjadi ‘episentrum’ gagasan dalam membina seluruh penduduk
Indonesian yang hidup dalam interaksi sosial yang penuh dengan keberagaman
budaya, tradisi, dan kepercayaan.
Di tengah heterogenitas masyarakat
Indonesia, NU tetap bergerak dengan berjalan di garis-garis prinsip Aswaja—yang
tak lain memang merupakan ideologi NU dalam setiap gagasannya—untuk membangun
bangsa yang tetap mengghormati nilai-nilai humanistik sesama umat manusia di
semenanjung bumi Indonesia.
Sebagai organisasi para kiai-kiai
besar yang diharapkan mampu mengemban tugas untuk membawa bangsa pada nasib
yang lebih baik, dalam wilayah pemikiran NU harus selaluu bersikap eksklusif
dalam setiap perbedaan dan tolenransi yang sangat tinggi pada pluralisme agama
dan budaya.
Karena sudah barang tentu, bahwa
Indonesia adalah bagsa yang memiliki wilayah sangat luas. Dapat dibayangkan
total luas negara, 5. 193.250 km2 (mencakup daratan dan lautan) hal ini
menempatkan Indonesia sebagai negara terluas ke-7 didunia setelah Rusia,
Kanada, Amerika Serikat, China Brasil dan Australia[7]. Maka tidak heran
apabila penduduk Indonesia memiliki tradisi dan budaya yang beraneka ragam dari
setiap wilayah yang mereka tempati. Oleh karna itu, NU dalam rangka membangun
masyarakat yang tetap menghargai segala perbedaan dari masing-masing kelompok
dan wilayah, di segala penjuruh bangsa, prinsip Aswaja (Ahlussunnah Waljama’ah)
menjadi salah satu kunci utama yang menjadi landasan atas strategi NU dalam
mencapai misi-misinya tersebut.
NU sebagai interpretasi dari gerakan
kaum tradisionalis, menjadi wadah yang menampung masyarakat mayoritas secara
geografis berada dalam wilayah pinggiran[8]. Masyarakat pinggiran (pedesaan)
cenderung membangun peradabannya melaui proses akulturasi tradisionalis.
Tradisionalitas dapat dipahami sebagai kecenderungan untuk melakukan sesuatu
yang telah dilakukan oleh pendahulu, dan memandang masa lampau sebagai otoritas
dari segala bentuk yang telah mapan.[9]
Dalam hal ini, NU brusaha untuk mengekspresikan
bentuk pemikiran atau keyakinan yang berpegang pada ikatan masa lampau dan
sudah diperaktekkan oleh Nabi Muhammad SAW[10] selama proses gerakan sejarah
peradaban Islam. Tentu, hal demikian dilakukan dalam rangka menjaga keasrian
gagasan tradisionalis untuk tetap mempertahankan Identitas Islam di Indonesia
agar tetap berpijak pada lorong-lorong Ahlussunnah Waljama’ah yang diyakini
sebgai ideologi yang akan mamapu untuk menjadi landasan berpikir dalam
membingkai keberagaman penduduk Indonesia.
Keberagaman yang terdapat di bangsa
ini, termasuk masyarakat tradisional—yang memang sebagai salah satu basis
NU—memiliki karakter yang khas, hal demikian dapat kita saksikan atas budaya
dan tradisi yang mereka bangun untuk peradabannya. Misalkan: sikap tolong
menolong, gotong royong, yang terus aktif berkembang, kendati perkembangn zaman
telah berusaha unntuk menyapunya.
Karakter khas ini, nampak jelas
ketika dalam sebuah desa berkumpul masyarakat untuk tahlil bersama kepada salah
satu dari kerabat mereka yang meninggal dunia. Sementara NU, organisasi yang
dapat dibilang sebagai orgasnisasi tertua ini, menjaga segala bentuk tradisi
dan budaya tersebut.
Perlu untuk dijaga, karna secara
ontologis bentuk tradisi-budaya yang selalu terpraktekkan dalam interaksi
masyarakat, adalah bagian modifikasi sosial agar respon kekerabatan atar sesama
dapat selalu dijaga dengan penuh keharmonisan didalamnya. Selain nilai teologi
yang dapat diambil, namun juga nilai sosial yang terkandung dalamnya juga
sangat besar manfaatnya.
NU dalam memelihara tradisi,
berpijak pada adagium klasik: Al-muhafadhatu ‘ala al-qadim al-shalih wa-I-akdzu
bi-Ijadi al-shlah (memelihara apa yang baik dari masa lampau dan mengambil apa
yang lebih cocok yang dihasilkan masa kini merupakan motto yang tidak hanya
diucapkan melainkan dihayati).
Atas dasar tersebut, NU bersedia
berada di garda paling depan dalam mepertahnkan tadisi dan budaya tradisional
penduduk Indonesia. Termasuk di dalamnya, tradisi tahlil—seperti yang telah
sedikit terjabarkan diatas,—qunut subuh[11], salawatan[12], adzan jum’at dua
kali, wiridan setelah shalat arrdhu, pembacaan niat shalat (ushalli),
peringatan tahunan orang mati (haul), ziarah kubur, pembacaan taqlid[13] dan
tarawih 20 raka’at.
Berbagai tradisi diatas, sebagai
bukti kongkret bahwa NU sebagai penjaga tradisi budaya masyarakat yang penulis
temui dalam kehidupan masyarakat yang hidup dalam wilayah pedesaan. Oleh karena
itu, bernmacam strategi yang telah digagas oleh NU dalam menjaga masyarakat
agar tetap hudup rukun dengan satu keyakinan sebagai umat muslim.
Sebagai dari bagian upaya NU untuk
merawat traddisi dan keberagaman penduduk Indonesia, dengan ideologi
Ahlussunnah wal Jama’a, sikap kemasyarakatan yang diambil Nahdlatul Ulama’
bermuara atas beberapa prinsip yang terkandung di dalamnya. Prinsip-prinsip
aswaja, tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), ta’addul (adil), tawazun
(seimbang)[14], telah menjadi karakter khas orang-orang NU di tengah kehidupan
masyaraka luas. Empat prinsip ini, sekaligus menjadi pola pikir warga
nahdliyyin sebagai wujud dari pemahaman Aswaja yang mesti diimplementasikan
ditengan masyarakat heterogen.
Aswaja Sebagai Bingkai Keberagaman
Apabila ‘flashback’
sejenak pada alur historis Aswaja, tak lain adalah ideologi yang lahir dari
pemikiran Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi, saat terjadi
problematika teologis ketika suhu politik Khalifah Ali bin Abi Thalib dan
Mu’awiyah menampakkan taring runcingnya. Sehingga, bias dari realitas ini,
islam terpecah menjadi beberapa kelompok. Dalam perpecahan ini, lahirlah pula
aswaja yang digagas oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi.
Kedua tokoh tersebut acapkali
dianggap sebagai tokoh Aswaja dibidang Aqidah, apabila ditarik benag merah dari
kedua tokoh ini, bahwa dari berbagai epistimologi pemikirannya terlihat sebuah
tipologi pemikiran teologis dengan prinsip untuk tetap berpijak pada tradisi
(al-sunnah) yang shahih dan cara pendekatan yang dapat memuaskan tuntutan
penalaran tanpa mengabaikan (keluar) terlalu jauh dari makna yang tersurat dari
teks, merupakan metode pemahaman keagamaan yang dicoba dikembangkan oleh
Asy’ari dan al-Maturidi[15].
Kerangka teori berpikir ini,
nampaknya merupakan suatu pemahaman keagamaan yang tidak hanya memberikan
implikasi pada kehidupan individu, tetapi berimbas pada interaksi soial dalam
realitas penduduk atas segala perbedaan yang tak terbantahkan di dalamnya.
Walhasil, akan melahirkan konsep
harmonisasi antara model berfikir tekstual dan kontekstual. Jika hal ini dapat
difahami secara benar dan dinamis, pada gilirannya akan melahirkan pola
keberagaman yang “ramah” terhadap kultur dan kearifan lokal, tanpa harus keluar
dari semangat keislaman[16].
Konsep teoretis Aswaja ini, yang
telah menjadi metode berpikir Nahdlatul Ulama’. Dalam kerangka ini, NU memiliki
manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah sebagai berikut: Pertama, dalam bidang aqidah
(teologi), Nahdlatul Ulama’ Manhaj dan pemikirannya bertumpu pada gagasan Abu
Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi.
Kedua, dalam bidang fiqh Ahlussunnah
wal Jama’ah bermadzhab secara qauli dan manhaji kepada salah satu al-Madzhib
al-‘Arba’ah (Hanafi, Maliki, Syafi,I dan Hambali). Ketiga, sementara dalam bidang
Tasawuf, NU mengikuti Imam Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid al-Ghazali (150-505
H./1058-1111 M.)[17].
Tiga gerakan ini, (aqidah, fiqih dan
tasawuf) dalam tubuh Aswaja yang diyakini oleh NU sebagai Ideologi final dan
akan membangun realitas sosial yang harmonis dalam proses interaksi pluralitas
masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, tiga bagian pokok dalam literatur
kerangka pemahaman Aswaja menjadi landasan yang dipercaya sebagai setting
sosial-masyarakat.
Pengetahuan tentang Aswaja—tiga
bagian di dalamnya—menjadi pengetahuan pokok dalam proses kehidupan manusia
yang menganutnya. Dalam kerangka ini, pada dasarnya membicarakan dua hal pokok.
Pertama, apa yang harus diyakini kaum nahdiyyin[18] dalam kehidupannya.
Pengetahuan ini dikenal sebagai pengetahuan aqidah—dalam aswaja menganut atas
pemikiran dua tokoh; antara Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi.
Kedua, tentang apa yang mesti
diaplikasikan oleh kaum nahdiyyin dalam segala bentuk apa yang akan ia lakukan
dalam kehidupannya. Pengetahuan semacam ini kemudian mengkristal menjadi Ilmu
syari’ah. Konseptualisasi pengetahuan syari’ah terbelah menjadi dua bagian
pula, entah itu ada pada pengetahuan yang kita sebut fiqh—sebagai disiplin
pengetahuan Islam yang mengatur segala bentuk aktifitas manusia dalam
perspektif Islam—dan tasawuf—tingkat pengetauan yang mengajarkan (cara dsb)
untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah sehingga memperoleh hubungan
langsung secara sadar dengan-Nya[19].
Segala bentuk kerangka epistimolgis
dari gagasan beberapa tokoh Aswaja yang kemudian menciptakan tiga gerakan
(aqidah, fiqih, tasawuf), hal tersebut menjadi bagin terpenting dalam pemahaman
Ahlussunnah wal Jama’ah. Sementara, posisi NU sebagai aktor yang megang
kemudi gagasan ideology tersebut, karna kelahiran NU memang sebagai organisasi
keagamaan dan kemasyarakata. Tentu tugasnya pun harus berusaha membina berbagai
hal yang terjadi dan mungkin akan terjadi dalam proses kehidupan masyarakat,
yang kehidupannya penuh dengan berbagai perbedaan.
Cita-cita NU dalam menjaga segala
bentuk perbedaan tradisionalitas penduduk Indonesia, dapat tercapai melalui
beberapa hal yang telah dilakukannya. Kehidupan harmonis yang dapat dirasa
hingga saat ini, berkat kerja keras NU dalam mebingkai segala pluralitas yang
ada.
Pada zaman yang banyak orang
mengagungkan ini, tak jarang terdengar kabar atas terciptanya konflik besar
atas nama agama. Hal yang lebih kronis lagi, atas terciptanya konflik tersebut,
banyak menjatuhkan korban-korban, bahkan sampai beribu-ribu nyawa yang melayang
hanya karna persoalan yang menurut Dr. Ali Syari’ati “keterikatan palsu”—dalam
kelompok manusia yang memiliki satu keyakinan teologis, namun bertikai antara
satu dengan yang lainnya.
Namun tidak bagi Indonesia,
indonesia yang notabene terdiri dari strata masyakat yang menganut agama islam,
tetap saling menghargai atas segala perbedaannya; entah bagi sesama kaum muslim
di dalamnya, atau pada agama yang non-muslim sekalipun. Di berbagai negara yang
lain, dapat disaksikan betapa permusuhan antara orang Katolik dan Protestan di
Ulster; Islam dan Kristen di Beirut dan Bethlehem; orang Katolik Kroasia dan
orang Gereja Ortodoks Serbia dan orang Islam di bekas Yugoslavia; orang Sunni
dan Syiah di Baghdad. Beribu-ribu orang tewas dan cacat dan telantar[20].
Indonesia sampai saat ini, berhasil
mempertahankan idealismenya karna pengaruh NU yang berhasil membingkai seleruh
masyarakat yang hidup dalam interaksi sosial yang penuh dengan berbagai
perbedaan; entah dalam persoalan keyakinan, budaya, tradisi dsb. Sekali lagi,
hal tersebut kana perawatan NU kepada Indonesia yang sampai saat ini tetap
sebagai bangsa yang selalu kita banggakan bersama. Wallahu A’lam...
[1] Moh. Roychan Fajar, Lahir Sumenap 23 September 1994, nyantri di Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa, Guluk-Guluk Sumenep Madura, kini kuliah di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Guluk-guluk, semester IV Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI). Aktif di sejumlah organisasi dan komunitas: sebagai kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Komisariat Guluk-Guluk angkatan Gema Demokrasi, sebagai pengurus sekaligus Pimpinan Redaksi Fajar News Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Fajar Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika), juga sebagai Ketua komunitas kajian Filsafat “Ijtihadul Falasifah.” Dan aktif dalam komunitas “Jamand” lembaga kajian para sejarawan muslim. Dan tinggal di alamat alhakim_fajar@yahoo.co.id.
[2] Wasil, Gusdur Sang Guru Bangsa Pergolakan Islam, Kemanusiaan dan Kebangsaan, (Yogyakarta: INTERPENA Yogyakarta, 2010), hal 73.
[3] Imam Muhlis, Ijtihad Kebangsaan Soekarno dan NU, (Kebumen: CV Tenaga Emas Publiser), hal 113.
[4] Kelompok tradisionalis sering dikategorikan sebagai kelompok Islam yang masih mempraktekkan beberapa praktek tahayyul, bid'ah, khurafat, dan beberapa budaya animisme, atau sering diidentikkan dengan ekspresi Islam lokal.
[5] Ahmad Baso Menulis dlam Makalahnya yang berjudul NU Studies Vis-À-Vis Islamic Studies Perspektif dan Metodologi dari, Oleh dan Untuk Islam Indonesia Pasca 11 September.
[6]Ibid
[7] www.inovonesia.com/luas-wilayah-negara-indonesia.html. diakses pada hari selasa 18 Februari 2014, pukul 12 30 WIB.
[8] Pinggiran, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia—KBBI-Offline—adalah penduduk yang tinggal di pinggiran kota.
[9] Andrew Rippin, Muslim, hal, 6.
[10] Ibid.
[11] Secara etimologi, ini berarti berhenti sejenak. Pembacaan do’a ini biasanya dibaca setelah ruku’ terakhir shalat subuh. Dalam pembacaan quunut ini, sering kali diklaim sebagai do’a yang merupakan hasil dari inovasi. Bahkan respon yang lain, ada yang sampai mengharamkan atas melakukan pembacaan qunut tersebut, hal demikian sering kali terjadi bagi kalangan yang mengatasnamakan dirinya sebagai kaum reformis.
[12] Pembacaan shalawat ini, biasanya dilaksanakan setiap malam jum’at sebagai malam yang suci di mushallah-musallah dan mesjid. Ada pula, dalam pembacaan shalawat ini, dikolaborasikan dengan musik rebana yang dilantunkan dalam bentuk irama lagu.
[13] Secara etimologis, hal ini berarti bimbingan atau petunjuk. Dalam pembacaan do’a ini, biasaanya dibaca diatas kuburan seetelah baru selesai proses pemakaman atas seseorang yang telah meninggal. Do’a ini, diharapkan agar orang yang baru menigggal tersebut, mendapatkan tuntunan dan petunjuk untuk menjawab segala pertanyaan-pertanyaan dari penjaga kubur agas dapat lolos dari siksa kubur. Lebih jelas, lihat Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis Lokalitas, Pluralisme, Terorisme, (Yogyakarta: LKiS, 2011). Hal, 179-180.
[14] Tentang ciri-ciri Fikrah Nahdiyah atau prinsip-prinsip Aswaja, Lihat di, KH. Abdurrahman Nvis, Muhammad Idrus Ramli, Faris Khoirul Anam, Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah dari Pembiasaan menuju Pemahaman dan Pembelaan Akidah-Amalian NU, (Surabaya: Khalista, 2012). Hal, 169
[15] http://cholsproduction.blogspot.com/2013/12/aswaja-dalam-perspektif-akidah.html. Diakses pada hari selasa 18 Februari 2014.
[16]Ibid.
[17] KH. Abdurrahman Navis, Muhammad Idrus Ramli, Faris Khoirul Anam, Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah dari Pembiasaan menuju Pemahaman dan Pembelaan Akidah-Amalian NU, (Surabaya: Khalista, 2012). Hal, 126.
[18] Nahdiyyin adalah kelomlompok orang atau indevidu yang tetap memiliki metode berpikir, prilaku, dan pengetahuan ke-NU-an. Lebih jelasnya, hal ini terdapat dalam buku Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah dari Pembiasaan menuju Pemahaman dan Pembelaan Akidah-Amalian NU.
[19] Penjelasn tentang ilmu tasawuf, diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI offline).
[20] Goenawan Muhammad mengutip dalam esainya, yang dimuat oleh TEMPO Edisi. 23/XXXIIIIII/ 30 Juli - 05 Agustus 2007 di rubrik Catatan Pinggir. <strike></strike></strike></strike>