Oleh
Moh Roychan Fajar
Jejak
historis Indonesia tak akan luput dari peran strategis mahasiswa. Mahasiswa
telah menjadi “label” penting dari “Menara Babel” bernama Indonesia. Ketika
Indonesia sebagai negara kesatuan sudah mulai surut, semua orang akan
merindukan sentuh tangannya. Pasalnya, Indonesia memang lahir dari peras
keringat mahasiswa. Peran strategis mahasiswa tertuangkan sejak perjuangan
merintis kemerdekaan sampai dengan mempertahankannya. Lebih dari itu,
bergulirnya era Orde Baru ke Reformasi tak bisa dipisahkan dari peran aktif
sosok mahasiswa.
Mahasiswa
adalah pribadi yang selalu bergelut dengan lakon. Ketaatan beragama
tidak hanya ia lukiskan dalam bangunan keimanan yang spiritual. Namun, juga
dalam aksi krongkret; untuk saling membantu dalam meretas masyarakat yang
menurut pandangan Abdurrahman Wahid, “Masyarakat Civil Society”, hingga
meniscayakan keadaan yang dinamis dan damai. Demikian pula dalam memaknai
Nasonalisme. Mahasiswa dalam konteks ini, menyatakan diri lewat style
gerakan hingga aksi sosial dalam kerangka paradigmatik ideal yang dimilikinya.
Dalam
tataran ini, mahasiswa mendapat identitas yang dianggap “sakral” sebagai
barisan muda yang agresif dalam melakukan telaah terhadap perkembangan suatu
bangsa. Indonesia adaah bangsa yang memiliki banyak mahasiswa, dalam Pangkalan
Data Pendidikan Tinggi (PD-Dikti) RI dalam Rekab Nasional Semester Genap
2015/2016 menunjukkan jumlah mahasiswa di berbagai Perguruan Tinggi negeri ini
(PT di Bawah Dikti, PT Agama di bawah Kemenag, dan Perguruan Tinggi Kedinasan)
mencapai angka: 6,873,981 mahasiswa.[1]
Keadaan
ini menjadi “angin segar” terhadap masa depan negeri Ibu Pertiwi ini, dengan
jumlah mahasiswa yang banyak dimungkinkan membantu terhadap stabilitas berbagai
sektor Indonesia yang saat ini dalam tahap pembangunan; mulai dari urusan
pendidikan, budaya, ekonomi, politik, bahkan agama. Namun, ironisnnya, “angin
segar” tersebut sampai hari ini, masih menjadi tanda tanya besar untuk diuji
akan kebenarannya.
Mitologi
Mahasiswa
Mahasiswa
Indonesia, kini banyak yang telah ter-alienasi-kan dalam substansi pribadi yang
sesunggungnya. Progresifitas dalam pemperbaiki dinamika kebangsaan kini nyaris
sudah tak diperhitungkan sebagai agenda besar dalam pembuktian eksistensinya.
Gerakan-gerakan “separatis” dalam malawan tindakan yang tidak bersandarkan
kemanusiaan dinegeri ini, adalah ketundukan antusias pada irama sistem
kekuasaan.
Mahasiswa
yang identik dengan: agent of change, agent of social control, dan
agent of knowledge, kini identitas tersebut, hanya sebagai mitos yang dapat
dikagumi dengan substansi dan bukti yang kosong. Mitologi mahasiswa dalam
konteks ini, menyerahkan diri dalam reduksi substantif tentang mahasiswa itu
sendiri. Kesadaran belajar untuk berjuang dan mengabdi bagi bangsanya
sudah tergantikan pada pola pikir yang pragmatis. Hingga akhirnya,
menciptakan—secara tidak langsung—implikasi yang riskan untuk bangsa ini.
Lebih-lebih
relasinya antara mahasiswa dan agama. Bagi penulis, eksistensi bangsa ini,
tidak bisa dilepaskan dari tumbuh suburnya nilai-nilai agama sebagai landasan
etik-moral kehidupan masyarakatnya. Ia sebagai ajaran
dan nilai-nilai transendental yang abadi, agama dihadirkan untuk menjaga
hubungan antar sesama dan alam semesta, sebagaimana pula merawat hubungan
dengan Sang Pencipta.[2]
Namun hal ini, tak dianggap penting oleh mahasiswa. Mereka malah memilih
menjauhkan diri dari realitas agama tersebut.
Padahal, krisis besar negara kita terdapat dalam dinamika
keagamaan. Situasi ini, “membelah” kesadaran heterogenitas penduduk Indonesia.
Yang dahulunya hidup dengan rukun di atas perbedaan, etnis, budaya, wilayah dan
agama. Kesadaran ini yang diwariskan oleh Wali Songo.[3]
Strategi
penyeragaman pada masa lalu telah mengikis karakter Indonesia dan meminggirkan
kebudayaan lokal.[4] Perjuangan mahasiswa kini harus berkiblat terhadap leluhur
yang telah banyak meretas kontribusi untuk bumi Nusantara ini. Hal tersebut
sebagai sikap aktif untuk meakukan rekonstruksi terhadap tatanan khas
masyarakat Indonesia.
Indonesia
dan Hegemoni Nalar Kekerasan
Perlu
disadari, Indonesia kini masih tetap “bersemedi” dalam cita-cita tentang
kemajuannya. Selaju dengan cita-cita tersebut, masih sederet persoalan yang
merintangi. Inilah bangsa kita yang penuh dengan sejimbun problematika. Sebagai
negara kesatuan yang meniscayakan pandangan arif terhadap perbedaan, negara
kita (kini) mengalami perkembangan yang kurang stabil. Yang menyatakan diri
dalam berbagai tendensi sinis terhadap model keberagamaan masyarakat Indonesia
antar satu sama lain.
Prinsip
dalam menghargai perbedaan kini sudah semakin pudar. Praktik-praktik tindakan
tak manusiawi dalam diskursus keragaman sosial, telah langgeng terjadi.
Ketegangan (demikian penulis menyebutnya) ini terjadi tatkala perbedaan
tersebut ingin melebur dan menyatu dalam satu “kompromi”. Kenyataan ini, telah
“membelakangi” falsafah “Bhinika Tunggal Ika” sebagai konstruksi kesadaran
dalam membina kemajemukan hidup yang rukun.
Fonomena
konflik—yang pada waktu yang sama membut keretakan dalam dinamika keseimbangan
struktur sosia—ini, tak jarang berujung terhadap tindakan-tindakan kekerasan
dalam berbagai bentuknya. Kedaan ini menjadi fakta sosial yang terus
menyelimuti narasi kehidupan masyarakat Indonesia. Ada berbagai bingkai dan
kemasan yang dilakukan para pelaku tindakan kekerasan, sebagai argumentasi apologitik
yang dijadikan alibi para pelaku tindakan kekerasan untuk menjadikan
tindakan kekerasan tersebut menjadi sesuatu yang dibenarkan. Alasan ketimpangan
ekonomi, ketidakadilan, stabilitas politik, bahkan ada yang mengatasnamakan
agama.[5]
Alasan
yang terakhir ini, yang kini tampil secara “intens” mengisi konstelasi bangsa
Ibu Pertiwi ini. Kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh kelompok
tertentu terhadap kelompok lain, baik yang berbeda agama maupun satu agama,
telah menjadi kekerasan tersendiri bagi masyarakat kita. Gejala ini yang oleh
orang-orang Barat didentifikasi sebagai ekstrimisme atau fundamentalisme.[6]
Kekerasan tersebut menyatakan diri dalam beragam bentuknya—fisik, budaya, atau
struktural—terus dialami oleh beberapa kelompok penganut agama di negeri
tercinta ini. Salah satu contoh adalah penyerangan massa berjubah terhadap umat
salah satu agama yang sedang beribadah di Sleman, Yogyakarta, 29 Mei 2014.
Tragedi paling anyar adalah kekerasan di Tolikara, Papua, 17 Juli 2015.[7]
Meretas
Mahasiswa Kontemporer
Dalam
wilayah ini, mahasiswa harus menentukan sikap. Pasalnya ini adalah persoalan kontemporer
yang tengah dihadapi oleh bangsa ini. Bendera perjuangan mahasiswa harus
berkibar dalam situasi ini. Karena, segala bentuk kompleksitas perjuangan
mahasiswa, penulis memahami bersifat universal-partikular.[8]
Yang dalam waktu yang sama, meniscayakan satu tafsir yang berkembang. Dalam
merespon dengan kritis wujud sebuah penjajahan.
Menterjemahkan
perjuanga yang harus dilakukan oleh mahasiswa tentu tak boleh dalakukan dalam
kerangka verbal. Perjuangan mahasiswa tersebut bersifat universal, dengan
situasi sosial dan seluruh kendala yang ada. Dan kondisi tersebut yang
menginginkankan perjuangannya tampil dengan model yang kontekstual. Dalam
artian mampu untuk meyelamatkan bangsa ini dari segala aspek tantangan yang
pelan tapi pasti memposisikan Indonesia sebagai negara keras dalam memaknai
perbedaan.
Karena
hemat penulis, “hegemoni kekerasan” yang terjadi di negara ini, telah gagal
dalam pengelolaan keragaman, tak bisa dipisahkan dengan masalah ketidakadilan
dalam relokasi dan redistribusi sumber daya nasional yang memperuncing
kesenjangan sosial. Maka dari itu mahasiswa harus membangun gerakan untuk
menyikapi keadaan ini. Inilah tugas mahasiswa di zaman yang digerakkan suatu
kekuatan besar bernama “kontemporer”.
Menyikapi
krisis toleransi tentu bukan perkara yang sederhana. Karena, lewat realitas
ini, Indonesia menjadi negara yang gandrum perpecahan dan konflik. Tidak hanya
itu, bahkan konstelasi keagamaan ini, seakan menjastifikasi gagasan Karl Marx
yang mengkritik habis-habisan eksistensi agama. Manurut Marx, Agama adalah
lambang ketertindasan, agama adalah hati dari sebuah dunia yang tidak punya
nurani, agama adalah roh dari keadaan yang tidak punya jiwa sama sekali. Agama
adalah candu.[9]
Mahasiswa
harus memiliki integritas keilmuan berlandaskan kearifan lokal bangsa ini.
Sehingga, ia menjadi pribadi yang relevan terhadap indentitas bumi nusantara
ini. Gerakan intelektual yang telah menjadi karakter mahasiswa harus tetap
bersenandung ria dengan spirit ke-agama-an (baca: Islam) sebagai garis struktur
wawasan yang berbasis arif dan damai.
Hingga
pada akhirnya, mahasiswa menjadi generasi yang aktif-produktif sebagai pasukan
pemuda yang dengan lantang berdiri pada garda yang paling depan untuk menjaga
dan merumuskan gagasan paradigmatik kearifan lokal dalam harmoni masyarakat
multikultural yang harus senantiasa dijunjung tinggi. Hingga, sikapnya tidak
hanya dapat dilihat dari pembelaannya dalam melakukan perlawanan terhadap
penguasa yang bekerja biadab, misalkan sebagaimana yang dijelaskan di atas:
Otoritarianisme Suharto.
Namun
lebih dari itu, ia akan memiliki garis gerakan yang riil terhadap agama dan
kultur, dimana hal itu telah menjadi identitas negeri ini. Dalam pandangan
penulis, mahasiswa kontemporer harus agresif menangkap aksi-aksi merugikan
untuk segera ditumpaskan. Menumpas aksi tersebut bukan dengan mengangkat pedang
dan suara lantang. Melaksanakan gerakannya melalui spirit agama, justru akan
mendidiknya sebagai pribadi-pribadi yang dapat meretas tatanan masyarakat yang rahmatan
lil alamain. Wallahua’lam...
Karya
ini, terdapat dalam Buku Suara Mahasiswa Global, (Purwokerto: Obsesi Press,
2015).
[1] Dapat
ditelusuri dalam, http://forlap.dikti.go.id/ Diakses
pada tanggal 10 September 2015, pukul 13:40 WIB.
[2] Abd. A’la, “Dinamika Beragama”, 30 Juli 2015, http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/127/dinamika-beragama. diakses pada tanggal 08 September
2015, pukul 13:45 WIB.
[3] Eksistensi Islam di Indonesia—dalam jejak
sejarahnya—tidak bisa dilepaskan oleh kultur dan tradisi Hindu-Buddha yang
melekat erat dalam kehidupan masyarakat Nusantara. Namun Islam mampu bersikap
arif terhadap budaya tersebut. Hal semacam ini, termanifestasikan langsung oleh
sikap Wali Songo—Sebagai Penyebar Islam di tanah Nusantara— yang pada waktu
itu, memiliki apresiasi yang sangat tinggi pada agama-agama lama: Hindu,
Buddha, Tautrayama, Kapitanya maupun lainnya, dan kematangan dalam mengelola
budaya. Sikap tersebut, yang kemudian membuat ajaran mereka (baca: Islam)
diterima oleh seluruh lapisan penduduk Nusantara. Terdapat dalam, Prof. Dr. KH. Aqil Siraj, MA. Dalam sebuah
Pengantar, Agus Sunyoto, “Atlas Wali Songo Buku Pertama yang Mengungkap Wali
Songo Sebagai Fakta Sejarah”, cet. I, (Jakarta: Pustaka IIMaN, 2012), hal.
ix. Inilah yang kemudian meretas
kesadaran “heterogenitas” sebagai perwujudan dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
[4] Termuat
dalam http://nasional.kom-pas.com/read/2014/05/28/1054587/tiga.masalah.po-kok.indonesia.menurut.jokowi-jk.adalah.
Diakses pada tanggal 10 September 2015. Pukul 08:00 WIB.
[5] Lebih mendalam alangkah baiknya lihat, Mursyid Romli,
“Agama Cinta dan Toleransi: Studi Terhadap Fetullah Gulen Movement”
dalam Jurnal ‘Anil Islam, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika),
Guluk-Guluk, Vol. 5, No. 1, 2012.
[6] Agar
lebih lengkap baiknya lihat secara utuh dalam, Nurcholis Madjid, “Islam Sebagai
Agama Hibrida”, 11 Desember 2001, http://islamlib.com/gagasan/islamnusantara/islam-sebagai-agama-hibrida/
[7] Menarik dibaca lebih lanjut, Abd. A’la,
“Dinamika Beragama”, 30 Juli 2015, http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/127/dinamika-beragama
[8]
Universalisme dan partikularisasi perjuangan mahasiswa adalah bagaimana upaya
mahasiswa memahami bahwa perjuangan Penjajahan tidak berhenti saat deklarasi
kemerdekaan dikumandang 17 Agustus ’45 yang lalu, oleh Presiden Soekarno. Penjajahan kini lahir dengan porsi
yang berbeda, yakni: penjajahan dalam konteks pola pikir, ideologi, dan tradisi
lokalitas, kini harus dipandang sebagai porsi penjajahan kontemporer.
[9] Yang terdapat dalam, Daniel L. Pals, Seven
Theories of Religion, cet. II, terj. Bahasa Indonesia oleh: Inyiak Ridwan
Muzir dan M.Syukir, (Jogjakarta: IRCiSod, 2012), hal. 204