Merobek NKRI (Ber)syari’ah: Refleksi dan Kritik



Moh. Roychan Fajar

Seruan-seruan NKRI Bersyari’ah yang pertama kali melengking ke dalam pendengaran kita pasca aksi 212 tahun 2016 itu ternyata kian hari semakin menggema di mana-mana. Ya, masih segar dalam ingatan kita, setahun kemudian pada tahun 2017 lalu, saat reuni aksi 212 digelar, seruan NKRI Bersyari’ah kembali dikuatkan. Kini, tahun 2019, tepat dimana perhelatan pesta demokrasi paling akbar di bangsa ini akan digelar, seruan tersebut menjadi semakin “meriah” dan memantik banyak perhatian dari berbagai kalangan. Seruan-seruan akan hal ini, mafhum kita ketahui, senantiasa dipekikkan oleh sang imam besar FPI, Habib Rizieq. Ribuan mata menjadi saksi, saat ceramah dan orasinya di atas panggung dan disaksikan sejuta umat di Aksi 212 di Jakarta dulu, “perlunya NKRI Syari’ah” ia teriakkan dengan penuh tenaga di hadapan para jema’ahnya.

Ya, tepat dalam keadaan ini, sejumlah pihak kini mulai mempertanyakan secara kritis atas seruan yang sampai hari ini terus dikampanyekan tersebut. Kita bisa menyebut secara kikir, salah satu oranng yang kini telah mempertanyakan atas seruan Habib Rizieq itu, adalah Denny JA. Dalam tulisannya di akun Facebook-nya, yang ia unggah pada tanggal 8 Desember 2018 lalu, ia menulis satu esai dengan tajuk, “NKRI Bersyari’at atau Ruang Publik yang Manusiawi”. Dalam tulisan ini, Denny mempertanyakan relevansi gagasan NKRI Syari’ah terhadap apa yang ia sebut, “Ruang Publik yang Manusiawi.”

Bagi Denny, fardhu kita mempertanyakan gagasan di balik NKRI Syari’ah tersebut. Pasalnya, sebagaimana dalam penilaiannya, justru pancasila sebagai dasar ideologis NKRI ini sudah syar’i. Artinya, pancasila telah sesuai dengan spirit keislaman yang selama ini telah berhasil menjadi ‘payung basar’ bangsa yang plural ini. Kira-kira pertanyaannya: untuk apa kemudian ada NKRI Syari’ah? Karena tanpa embel-embel syari’ah pun, NKRI—melalui pancasila—selama ini sudah sesuai dengan nilai-nilai keislaman, yakni: nilai kemanusiaan. Dari itulah, Denny, dalam tulisannya, mengajak para bembaca dan kita semua untuk juga memikirkan apa yang sedang ia pikirkan itu. Secara gamblang ia mengajukan tanya, sembari menantang: “bagaimana sikap kita atas seruan NKRI Bersyariah?”.

Mari ambil nafas sebentar, sebelum malanjutkan dan menjawabnya.

Baiklah, sejatinya bila kita jujur, gagasan atau seruan NKRI dengan embel-embel Syari’ah ini bukan wacana baru dalam perdebatan kebangsaan kita selama ini. Dan selain Denny Ja, ada tumpukan penulis yang sejak dulu telah melahirkan teks-teks kritis yang berupa gugatan atas gagasan yang dianggap mengancam keutuhan NKRI tersebut. Sebut saja salah satunya misalkan, Gus Dur. Ia menolak tegas terhadap gagasan NKRI Bersyari’ah atau formalisme agama, yang meletakkan ajaran Islam (baca: Al-Qur’ah) sebagai ideologi politik, seperti negara-negara khilafah di Timur Tengah. Mengapa? Karena konsep negara khilafah (baca: NKRI Syari’ah), jelas berlawanan dengan konstelasi bangsa yang heterogen ini.

Yang juga tak kalah penting, di dalam gagasan NKRI Syari’ah, kita justru juga dapat menangkap satu pergeseran serius dalam paradigma keberislaman kita—yang tentu saja memprihatinkan: dari nalar yang ingkusif, moderat-kontekstual, yang sejak dulu telah berhasil mengadaptasikan Islam dalam sipirit nasionalisme, ke nalar-nalar yang sifatnya cenderung lebih eksklusif, tekstual dan normatif. Konsekuensinya, dalam bentuk pergeseran ini, semua doktrin-doktrin Islam akan menjadi beku, tertutup, dan cenderung memonopoli tafsir kebenaran. Kecenderungan memonopoli kebenaran ini akan membuat Islam tidak toleran terhadap pemahaman Islam yang lain maupun agama lain. Maka tidak heran bila model keberislaman seperti ini berorientasi terhadap pembentukan sistem negara khilafah. Islam sebagai ajaran harus resmi menjadi dasar negara. Seolah-olah, tanpa tempelan label Islam, ngara akan menjadi kafir, dzhalim dan tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Pada kerangka inilah, NKRI Syari’ah akan mempersempit “ruang publik” kebangsaan kita yang selama ini telah terawat scara arif, penuh nilai-nilai toleransi, bhinika tunggal ika, dan spirit kemanusiaan. Justru dengan NKRI Syari’ah stempel-stempel identitas akan dengan membabi buta dilancarkan. Bahkan tida jarang berujung perskusi, caci maki dan teror.

Hal ini sedikit banyak sudah terjadi dalam khazanah kebangsaan kita hari ini. Terutama dalam momentum politik elektoral hari ini yang memang gemar “menjual agama” untuk kepentingan-kepentingan pragmatis. Di hadapan gagasan ini, isu-isu sentimal dan identitas dimainkan untuk untuk mendulang suara dan dukungan. Paling tidak, agenda ini telah berhasil mengantarkan Anes Baswedan sukses dalam Pilkada DKI lalu. Kini, di pentas elektoral yang lebih akbar, menuju Pilpres 2019, stempel muslim dan non-muslim, pribumi dan non-pribumi, kembali meriah dilakukan di jagat maya maupun di dunia yang nyata.

Sampai di sini, kita bisa menilai dengan bijak, di tengah bangsa yang demam populisme dan politik identitas, melalui kampanye-kampanya NKRI Syari’ah, adalah penanda bahwa demokrasi kita hari ini sedang terancam. Ruang publik kita sedang dalam kondisi darurat. Islam Indonesia yang sejak dulu telah berhasil merekatkan segala bentuk keberagaman di bumi Nusantara melalui harmoni pancasila, kini justru yang terjadi sebaliknya: Islam (itu sendiri) malah didakwahkan secara elitis, untuk mendiskreditkan identitas tertentu. Islam yang sejak dulu diajarkan secara substansial, demokratis, tersublimasi dalam segala bentuk kearifan lokal masyarakat Indonesia, kini justru disebarkan secara dangkal dan tidak beradab, dengan menganggap dirinya paling benar dan paling “Islami”.

Nah, sebagai kritik dan refleksi lebih luas, dalam konteks ini, ada baiknya kita mengulang pertanyaan Denny JA dalam tulisannya: “Yang mana yang lebih kita pentingkan? Label? Atau substansi? Label Islam atau praktek nilai Islami?”.

Denny, melalui pertanyaa ini—hemat penuls—ingin menegaskan bahwa Islam sebagai agama, tentu tidak sekedar hanya berupa ejaan nama, teks yang bisu dan label yang bebas ditempel dimana saja sesuka hati—seperti penempelan kata “syari’ah” setelah “NKRI”. Tepat di balik itu semua, Islam juga memiliki pengertian yang maha luas, substansial, yang tertuang dalam segala bentuk praktek keberagamaan umat-umatnya.

Dalam bentuknya yang terakhir inilah, Islam tak cukup sekedar dipekikkan di atas mimbar, tetapi juga harus diperas menjadi nilai universal, sehingga dapat  menaungi dan melindungi umat atas nama kemanusiaan. Keberislaman seperti inilah yang sejak dulu dirumuskan oleh founding fathers kita, yang kemudian dikembangkan secara konstitusional-ideologis, menjadi: Pancasila. Jadi, pancasila sebagai perwujuadan nilai universal doktrin Islam, adalah radilkalisasi ajaran Islam secara substansial, yang selama ini telah menciptakan ruang publik kebangsaan kita dengan penuh khidmat dan dan kebijaksanaan.

Jadi, sekali lagi, apakah kita masih perlu NKRI Syari’ah? Tidak.

 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates