http://images.nusantaranews.co/assets/uploads/2016/12/Ilustrasi-Deradikalisasi-dalam-menumpas-terorisme.-Foto-Ilustrasi-via-okezone.jpg |
Moh. Roychan Fajar*
Tak
bisa disangsikan, bahwa PMII telah menjadi organisasi mahasiswa yang paling
dinamis dalam diskursus perkembangan wacana keislaman. Ikhwal ini diakui pula
oleh Martin Van Bruinessen, kontras dengan mahasiswa islam modernis, PMII lebih
memiliki penguasaan yang lebih konfrehensif terhadap khazanah ilmu tradisional,[1]
namun sumber bacaan mereka (baca: PMII) melampaui tradisi keilmuan tradisional,
seperti karya-karya ulama’ islam abad pertengahan, atau ulama’-ulama’ eksklusif
sebagaimana yang dikagumi mahasiswa modernis. Kita sebut saja misalkan: Maududi
dan Sayyid Qutb.
Bertolak
dari eksklusifitas mahasiswa modernis, PMII mempelihatkan minat yang cukup kreatif
terhadap khazanah perkembangan islam kontemporer. PMII juga mengapresiasi dan mengakomodasi bukan
cuma pemikiran-pemikiran liberal dan radikal semacam Hassan Hanafi, Asghar Ali
Angenair, Muammad Abed al-Jabiri, al-Na’im, Muhammad Arkoun, Abu Zayd, Syahrour
dan Khalil Abd Karim, tapi juga tradisi pemikiran sosialis Marxis,
Post-Strukturalis, Post-Modernisme, gerakan feminisme dan civil society.
Dengan
usaha ini, PMII berhasil membuka wacana keislaman yang lebih segar, dengan
struktur gagasan yang tentunya lebih terbuka, namun ideologis, dibangdingkan
gerakan modernisme islam, yang setiap saat menyerukan pemurnian agama untuk
segera kembali berpijak pada al-Qur’an dan Hadist, kembali pada Negara Islam
dan sekarang yang terbaru, anti China. Pada wilayah ini, kita harus “mencetak
merah”
tentang gerakan modernisme dalam islam.
Terminologi
modernisme dalam islam mempunyai sejarah dan konteksnya sendiri. Garis geneologi pemikiran modernis, juga
neo-modernis, bersambung kepada Wahabi dan berpuncak kepada Ibnu Taimiyah yang
jelas-jelas mencerca tradisionalis.[2]
Yang kemudian sampai ke Indoensia, gerakan ini menjadi kelompok paling ekstrem
dalam radikalalisme, fundamentalisme dan ekstremisme bermotifkan agama.
Pada titik ini, perjumpaan PMII dengan Radikalisme
Islam dapat dipertemukan. Sebagai dua kelompok yang memiliki basis ideologis
yang berbeda. Redikalisme agama yang hari ini menjadi perdebatan banyak pihak
tentu tak bisa sekedar dilihat sebagai fenomena spiritual-religius (agama). Di
sisi lain, ia juga fardu dilihat sebagai fenomena sosial yang sangat kelindan
dengan ideologi poitik-ekonomi yang hari ini sedang berkembang. Uapaya ini
kemudian menyudutkan kita bahwa PMII dan kelompok fundamentalis memang memiliki
dua pendekatan konseptual yang berlawanan.
PMII mampu mendudukkan agama dalam lokus material.
Meletakkan agama dalam lokus material adalah usaha melihat agama melalui
parameter-parameter eksternal, yaitu agama sebagai praktik dan istitusi yang
bekerja dalam dimensi empirik, sehingga dapat diamati melalui konstruksi nalar
dan analisis-kritis tentang singgungan antara dogma dan politik, dogma dan ekonomi,
dogma dan tradisi serta dogma dan kearifan lokal. Pada saat yang bersamaan,
kita melihat fenomena terbalik: islam radikal seolah membangun tembok besar yang
secara ketat memisahkan hubungan klindan sosial dan agama. Agama pada konteks
ini, menjadi semacam “logosentrisme”—dalam istilah Jecques Derrida—yang secara
total bersifat absolut dan totaliter. Dengan manafikkan realitas sosial,
struktur sosial, yang kadang kali mampu merubah wajah agama yang sebenarnya; agama
yang sejatinya arif, bisa menjadi garang seketika, yang awalnya bijaksana bisa
pula menjadi jahat dalam sekejap mata memandang.
Maka tidak heran, barisan islam radikal ini,
sangat ekstrem memposisikan infrastruktur sosial, untuk tunduk secara total
pada prangkat normatif agama. Karena mereka memahami agama sebagai entitas
final dalam arti tak boleh bercampuradukkan dengan prangkat sosio-kultural dan
sosio-politik masyarakat. Alhasil—untuk sekedar menyebutkan contoh—negara harus
menjadi agama, menolak pancasila, menolah NKRI dengan kembali pada syari’at
islam secara normatif, seperti Islam di Timur Tengah, dst.
Konsekuensi dari penghayatan agama semacam ini, menciptakan
pergeseran-pergeseran dimana agama dan dunia (harus) mengalami pemisahan yang
radikal. Orang semakin dapat membedakan mana yang agamawi dan yang duniawi. Tradisi
kemudian juga dimodifikasi sebagai sebuah barang: sebagai benda seni, artefak atau tidak
lagi diyakini sebagai salah satu kekuatan tradisional. Komodifikiasi ini
memungkinkan tradisi beralih dari lokusnya dalam pesantren dan komunitas, untuk
selanjutnya dipindahtangankan menuju ruang baru yang bernama museum, galeri,
atau dalam narasi besar tentang “pembaruan” atau “purifikasi”.
Inilah keadaan dimana agama sedang terjepit ke
dalam ruang-ruang pribadi, ketika di sisi lain, pranata-pranata kehidupan semakin
menguasai nyaris segala aspek kehidupan. Sebagai akibatnya, agama, beserta
segala penjelasan teologisnya, tampak tak berdaya mengimbangi pergerakan
ilmu-ilmu sekular yang memberi pola bagi kehidupan sosial. Sampai pada titik
klimaksnya, persoalan-persoalan sosial seperti kemiskinan, marginalisasi,
ketimpangan, semata-mata hanya problem dalam aspek moral.
Sementara PMII, ia memahami agama tidak sekedar
dalam dimensi spiritual yang akhirnya bersifat ideasional. Sebaliknya,
agama harus bertolak dari dunia sosial-materialis. Materialisme,
sebagai suatu ontologi sosial (baca: pemikiran mendasar tentang masyarakat,
individu, dan sejarah), dalam hal ini, sebagai suatu bentuk kesatuan otonom
dari relung agama itu sendiri. Di sinilah, spirit “teologi pembebasan”-nya
Asghar Ali Engineer, “islam kiri”-nya Hassan Hanafi, dan “post-tradisionalismenya”-nya
Muhammad Abed al-Jabiri (diterjemahkan oleh Ahmad Baso), mendapatkan posisinya
yang sangat vital, vis-a-vis dengan gerakan radikalisme agama yang
semakin menggurita ke berbagai pelosok negeri.
PMII
mencita-citakan agama bukan sekedar prangkat alfabeta pengetahuan diruang
akademik dan di meja-meja diskusi. Atau sekedar prangkat doktrin pada
“orientasi tunggal” yaitu: akhirat. Sebagai bagian dari gerakan ideologis, PMII
juga harus dimaknai kehadirannya secara inklusif sebagai common platform bagi
aktivisme masa depan yang bergerak dengan integritas intelektual dan wacana
dari himpunan
tradisi, pencerahan dan kritisisme, yang berakar dalam khazanah kognitif dan
praksis mayoritas umat beragama di Nusantara. Infrastruktur ideologis PMII adalah
perpaduan hibrid antara tradisi Aswaja, praksis kebangsaan dan keindonesiaan
serta dinamika ilmu-pengetahuan kontemporer yang juga tak boleh di tinggalkan. Wallahua’lam...
*) Pengurus Cabang PMII Sumenep
Masa Khidmat 2016-2017 M.
0 komentar:
Posting Komentar