Moh. Roychan Fajar
Waktu terlalu cepat bergeser.
Empat tahun yang lalu, detik pertamakalinya kita bersua, seolah beru saja
terjadi kemarin sore. Telah banyak pengalaman yang kita lewati begitu saja,
tanpa sempat kita catat, terlalu cepat sampai tak sempat membekas, tertinggal
dalam perjalan waktu yang tak pernah ingat, kalimat untuk berhenti. Kamu,
adalah “kemenjadian” yang lahir dari narasi waktu yang terus mengalir dan tak
pernah terduga.
Mengingat selogan Herakleitos, semuanya mengalir, maka
waktu itu selalu menjadi, dan tidak mungkin waktu bisa hidup tanpa suatu
kemenjadian. Menjadi di sini berarti tidak ada yang persis sama. Semuanya
mengalir dari X ke Y sejauh dipahami dalam rentangan ruang dan waktu. Segala
sesuatu mengalir. Karenanya, kaki kita dalam sungai tidak pernah dialiri air
yang sama.
Waktu memang “misteri”
paling akbar di dunia ini. Kadang ia cepat, dan kadang pula ia pelan, lambat,
sampai kita bosan menunggu. Dua dan tiga tahun yang lalu, masih segar dalam
ingatan, tentang sibuk-riamu membuat laporan, makalah, tugas di bangku kuliah,
dst. Selanjutnya, beberapa bulan yang lalu, kesibukanmu membuat proposal
skripsi, lalu skripsi. Dari mahasiswa biasa, lalu menjadi anggota LPM, sampai
menjadi Ketua BEM Fakultas Ilmu Pendidikan bahkan Asisten Dosen.
Suatu ketika, kala itu
(pasti) yang terlintas, “kapan semua ini usai?”, denga nada letih dan seolah
tak cukup energi untuk melanjutkan. Tapi kini, setelah semua usai tak tersisa,
lalu kembali mengeluh, “andai waktu itu bisa kembali, sungguh, terlalu cepat.”
Waktu, memang terkadang menyeret kita pada ke-tak-mengerti-an yang dalam dan
tandus.
Mengarungi hidup, berti ia
mengarungi waktu. Pada tahap itulah, kita tak boleh berangkat dengan tangan
kosong. Berbekallah, minimal sabar dan keikhlasan, semuanya akan terarungi. Tak
peduli seterjal dan setajam apakah rintangan itu, ia pada akhirnya akan menjadi
debu yang beku pada musim hujan awal November ini. Mengenang masa-masa
perjuanganmu itu, semua orang akan merunduk, tersenyum dan berpikir, ternyata perempuan
tak sederna yang lumrah kita pikirkan; feminim, make up, dan busana yang mewah.
Di luar itu, ada tipikal yang tersembunyi, yang bila tak diasah akan tenggelam,
yaitu: totalitas dan ketekunan.
Usaha tak akan ingkar pada
hasil. 20 Oktober yang lalu, engkau dinobatkan sebagai Wisudawan Terbaik.
Semuanya orang pasti terharu bercampur gembira. Maka wajar, ada yang memelukmu
dengan air mata yang sambil terurai, merjabatkan tangan dengan ucapkan selamat.
Mereka—keluarga, dosen, kerabat dan semua orang yang pernah akrab mengnalmu—pasti
menyesal bila tak sempat datang pada mmomentum itu. Apalagi, bagi orang yang
menganggapmu sebagai perempuan paling berarti. Sungguh pasti ia sangat
menyesal.
Engkau berhasil dalam
lembaran pertama. Membuat bangga semua orang, terharu dalam kegembiraan,
gembira dalam kepuasan. Saat yang nyaris dikira tak mungkin, menjadi mungkin
dan nyata terjadi.
***
Tak berselang lama. 22 Oktober
kemarin—tentu lewat pertimbangan dan pemikiran yang matang—Bus Sumenep-Surabaya,
berangkat mengantarkanmu, menjemput mimpi yang lama terpendam. Menju Kota
Kediri, Pare, tempat di mana nanti engkau menemukan dunia baru, suasana baru,
teman baru dan tentunya ilmu baru.
Kini, jarak semakin jauh
memisahkan. Di mana nyaris tak ada lagi perjumpaan. Tak ada lagi tatapan dari
mata-kemata. Wajah dan parasmu, kini sekedar menjadi bekas dalam ingatan. Hanya
tersisa kenangan, dari jejak mata yang dulu pernah saling memandang. Setiap
mata yang kita tatap memang meninggalkan gaung dalam diri, yang selalu saja baru
terdengar setelah perpisahan itu terjadi.
Mata, dan tatapan pada
waktu yang lalu, adalah bahasa yang amat subtil, menjelaskan segala hal. Dari
hati-ke-hati. Seolah dengan lirih ia bercertai tentang kerinduan, kesepian, kehambaran,
kekhawatiran yang kian membelenggu dahaga untuk saling melepas pandang;
meletakkan diri ini pada kesendirian yang utuh. Hegel, filsuf agung Jerman,
benar ketika mengatakan bahwa “mata adalah cermin jiwa”. Bahwa keterpautan dan
keserasian jiwa antar satu sama lain, adalah gambaran dari kedalaman mata
memandang.
Namun mata bukanlah
segalanya. Ia juga pada saat yang lain, dapat menjadi fatamorgana jiwa. Ia
tetap tak dapat menjadi cermin ajaib yang bisa menuturkan seutuhnya tentang
kabar, keadaan dan kondisi seseorang. Mata adalah cermin yang retak. Dahaga
kerinduan tak seutuhnya dapat diatasi dengan pandangan. Kita tak pernah tahu
apa yang ada di benak seseorang dengan hanya menatap matanya. Mata tetap
sebagai “instrumen” yang masih problemik dan bukan kunci kehidupan ini; dimana
semua asumsi datang-berlalu tak beraturan.
Dalam khazanah
kesendirian, nilah aku menemukan sedikit demi sedikit yang kusukai dan yang tak
kusukai, yang menyenangkan dan yang menjengkelkan, yang melipur dan yang
menggusarkan, tentang kamu yang jauh. Satu per satu seperti terkuak dari
benang-benang yang kusut. Kutemukan sisi-sisi wajah yang kadang kabur dari bayanng
wajah tetangmu: suatu saat, kutemukan ketidakpedulian dan egoisme, di saat
lain, kutemukan antusiasme dan kehangatan. Suatu saat, kutemukan sifat
temperamental yang sewenang-wenang, di saat lain, kutemukan senyum ramah. Suatu
saat, kutemukan dahi yang sedang mengkerut, di saat lain, kutemukan uluran tangan
memanja. Aku hanya bisa tersenyum, meratapi, bahwa semua ini adalah sebongkah hayal
tak seutuhnya benar, namun bukan berarti seutuhnya salah.
2 komentar:
Mungkin rindumu membentur dinding-dinding pembatas jarak, namun kau tak cukup mempunyai kata dan senjata untuk mengusir sebuah banyang. Wkwk
Tak ada yang perlu diusir. Pada satu-dua titik pilu dalam rindu, tersimpan keindahan yang subtil, dan patut pula dinikmati.
Posting Komentar