Moh. Roychan Fajar
Sejatinya tulisan in telah lama bersemi dalam relung terdalam hati. Namun
dibiarkan untuk sekedar menjadi nalar-refleksi yang biasa. Tapi seiring waktu
terus melangkah, ide itu semakin berkembang, meluas, melawan kehendak yang
selalu ingin mendiamkan. Cukup tangguh ide itu sampai berhasil, membuat saya
duduk selama 40 menit di depan Komputer, agar segera menuliskannya.
Meski hanya sekedar tulisan dari pengalaman-pengalaman sederhana, semoga tulisan
ini nanti bisa memberi hikmah yang besar untuk pembaca yang budiman, utamanya
sahabat-sahabat terdekat saya.
Tak terhitung lamanya. Selama 4 tahun bersama, kini saya dan sahabat-sahabat
angkatan Gema Demokrasi hendak menapakkan kaki di sebuah gerbang
perpisahan. Tidak seperti
sediakala lagi; yang setiap saat senantiasa bersama dalam duka maupun suka.
Hubungan kami melampaui dari sekedar sahabat biasa, sudah seolah menjadi saudara
yang melampaui batas waktu yang masih misteri. Jangankan hanya persoalan
materi, perasaan pun sudah selalu kita korbankan untuk kebersamaan.
Kebersamaan memang tak menyediakan lorong yang sama
dalam kehidupan. Sihingga kita
dituntut berada dan singgah dalam tapak yang beragam; berbeda, tidak sama, tapi
kita memahami perbedaan sebagai struktur-ontologis “keindahan”. Pada titik
inilah, perbedaan bukanlah sebuah perpisahan yang sebenarnya, atau bahkan
mungkin Tuhan tak menyediakan kata perpisahan dalam kamus persahabatan kita.
Tapi tak boleh diremehkan, bahwa jalan yang berbeda itu akan bebas dari
tegangan yang pada titik tertentu akan membuat saya dan sahabat-sahabat yang
lain terpukul dan tertatih. Di sinilah tempat kita diuji bagaimana menghadapi
kenyataan yang harus diakui sulit untuk diterima bagi hati yang gampang
rapuh. Ya, detik-detik perpisahan.
Mengejar mimpi masing-masing memang tak jadi persoalan dalam doktrin agama
yang kita yakini, namun dalam keadaan ini, medan baru akan segera kita hadapi.
Memburu masa depan, sebagai misteri paling akbar, paling samar, paling tak
terpanai sepanjang garis edar hikayat sebuah hidup yang fana ini. Jika
kehidupan sering dipahami sebagai realitas yang rimba, maka “masa depan”-lan
sebagai objek buruan dan rebutan itu. Memang perlu berlomba; siapa yang cerdas,
kuat dan pintar, dia yang dapat.
Di medan itulah, saya dan sahabat saya Gema Demorasi, akan berlari; yang
menjadi perhitungan bukan siapa yang sampai pada finis lebih dulu, tapi
bagaimana kita tetap menjaga tangan kita untuk tetap saling bepegangan walau
dalam jarak yang cukup jauh untuk ditempuh. Yang saya harapkan adalah,
semoga pada keadaan ini tidak menjadi detik-detik retaknya solidaritas yang
dari dulu telah dijaga dan dirawat.
Jelas memang tak mudah,
bersama alur waktu yang terus melangkah, sleksi alam akan pula berjalan; siapa
diantara kita yang masih bisa bertahan, jelas tidak semuanya—yang akan bertahan
untuk senantiasa tetap saling berbagi dan hidup dalam kebersamaan. Mungkin
penting untuk diingat, bahwa di luar sanakita akan menghadapi dunia baru.
Sebagaimana manusia pada umumnya, bahwa ia akan menjadi subjek di tempat mana
ia berdiam; akan ada interaksi baru yang kemudian membentuk asosiasi dalam
berhimpun dan bekerjasama untuk menjalani hidup yang juga baru. Karakter
fundamental seperti ini oleh Martin Heidegger disebut, Midasein: “bersama-sama
di sana”.
Pada titik inilah, “yang
baru” dapat membuka peluang untuk menggilas yang lama. Ada teman baru, model
kehidupan yang baru, berarti hati-hati dan patut khawatir, teman dan kehidupan
yang lama akan dilempar pada tong sampah. Memang tak banyak orang yang sadar
aklan hal ini, sulit, bahkah nyaris hanya dapat dihitung oleh jari.
Ini semua semoga sekedar
menjadi kehawatiran tampa pembuktian. Olehnya, tetap saling berbenah dan saling
menyadarkan adalah pilihan utama untuk tetap hidup dengan sempurna dan
sejahtera. Tetap bersama dalam tawa dan bahagia. Sahabat-sahabat sekalian, saya
tutup tulisan ini dengan satu secercah harapan, semoga nanti dalam waktu yang
masih pada takdirnya bergerak, kita masih saling mengingat atar satu dan yang
lainya. Karena itu akan menjadi modal utama untuk meletakkan selodaritas kita
pada kondisi yang tangguh tak terkalahkan. Wallahua’lam…
0 komentar:
Posting Komentar