Moh.
Roychan Fajar*
Telah
lima tahun berjalan, saya menyandang alumni di Yayasan Al-Furqan. Tentu, itu
bukan waktu yang sebentar, melainkan cukup lama bila dijumlah secara utuh. Dari
waktu yang cukup lama tersebut, terdapat beberapa kekhawatiran yang saya
rasakan—atau kalau boleh saya usul, mestinya ini juga menjadi kekhawatiran
alumni yang lain—yakni, tentang menjaga ingatan saya terhadap Sekolah saya itu.
Di
sini, kita dapat memahami bawah waktu juga bisa bersikap “kejam”; waktu terus
menyatakan perubahan, dan tak ada perubahan tanpa sebuah pergantian. Di sinilah
kesempatan pergantian ingatan kita dapat terjadi. Berganti itu, berarti
membuang ingatan yang lama dan mengganti pada pengalaman (ingatan) yang baru.
Oleh
karena itu, ilustrasi ingatan dalam diri manusia, adakalanya perlu
dikongkretkan dalam bentuk aksi-aksi yang empirik, untuk menjaga agar tidak
tergantikan. Saya menulis seperti saat ini, adalah bagian dari
meng-kongkret-kan tentang ingatan saya itu sendiri, tentu sebagai alumni.
Usaha
mengkongkritkan tersebut dilakukan agar ingatan kita dapat bertahan. Akan
tetapi persoalannya sekarang, ingat bahwa identitas sebagai alumni tidak cukup
hanya sekedar membayangkan, “bahwa saya pernah bersekolah di Al-Furqan”. Akan
tetapi, perlu hari ini kita tegaskan bagaimana seharusnya seorang alumni
mempertahankan dan memterjemahkan identitasnya.
***
Menurut
saya, alumni tak cukup dipahami sebagai kata/bahasa yang menunjukkan tentang
identitas. Lebih dalam, saya ingin memahami alumni sebagai “kata kerja”. Bahwa
apa yang disebut alumni tersebut adalah pribadi masih dan harus memiliki
koneksi dengan masa lalunya.
Sejatinya
tidak cukup sebagai koneksi, tapi bagaimana menterjemahkan koneksi tersebut
sebagai tindakan yang kongkret (empiris). Sehingga, di sinilah kita dapat
menempatkan alumni pada posisi penting terhadap berbagai pihak. Karena saya
berbicara sebagai alumni di Madrasah Al-Furqan, maka pembicaraan saya—yang
disebut berbagai pihak—tadi itu adalah al-Furqan itu sendiri.
Jujur,
saya agak keberatan saat (Kamus Besar Bahasa Indonesia) KBBI menterjemahkan
alumni sebagai, “orang-orang yang telah mengikuti atau tamat dari suatu
sekolah”. Mengapa terburu-buru menyematkan “tamat” dalam label alumni? Saya
lebih senang, tidak ada klaim atau pernyataan “tamat” bagi serang alumni.
Karena, temat berarti “berakhir”.
Sementara
berakhir bagi seorang alumni, harus melepas, memutus ikatan apapun yang
bersangkutan terhadap lembaga/sekolah yang dulu pernah ia masuki. Memutus
hubungan dengan sekolah, berarti sudah menganggap seluruh unsur pendidikan di
dalamnya, termasuk Guru, sebagai serpihan masa lalu yang tak cukup berbeda
dengan sampah; bisa dibuang, dibakar, seakan-akan ia kotoran yang harus disapu.
Maka
saat ini perlu kita tegaskan bahwa tak ada kata “tamat” untuk seorang alumni.
Karena identitas sebagai alumni menyimpan jagat relasi dengan masa lalu,
walaupun itu cukup rumit untuk kita jelaskan dalam bentuk khazanah kata dan
bahasa. Yang di dalamnya, terdapat hubungan erat dengan sang Guru, yang dulu
telah memanjakannya dalam memberikan ilmu dan pengetahuan.
Dalam
bahasa yang lebih sederhana, alumni dan Guru tak bisa kita putus secara
emosional. Entah dalam aspek ideologis atau dalam pandangan hidup. Maka dalam
kondisi ini, alumni tetap berguru, tetap bersekolah (belajar) dan tetap meminta
arahan sebagaimana kala dulu ia menjadi murid.
Mungkin
bedanya, kini berada dalam “arena” yang berbeda. Kalau dulu, pintar dan
kepandaian dibuktikan dengan nilai-nilai di rapot, maka kini nilai-nilai
tersebut sudah tidak berguna, yang lebih pentinga adalah bagaimana ia menjaga
dan memberikan solusi atas segala persoalan yang terjadi di tenggah-tengah
masyarkat.
Inilah,
yang saya sebut bahwa alumni adalah “kata kerja”. Ia harus bergelut dengan
lakon, tak boleh sok tahu, karena identitasnya masih “berguru” yang secara
otomatis ia masih dalam tahap belajar. Jangan seperti orang dewasa masa kini,
yang selalu sok tahu dan merasa pintar sendiri, hingga dengan gampang
menganggap ini dan itu adalah haram, halal dan klaim-klaim yang lainnya.
Saya
mengajak kepada sahabat-sahabat sekalian, untuk menjadi aluumni yang sejati.
Yang sampai kapanpun masih memiliki empati dan rasa ta’dhim kepada sang Guru,
dan lembaga. Sehingga, nantinya kita memiliki ruang untuk memberikan kontribusi
penting untuk al-Furqan itu sendiri dalam tahap menata masa depan yang lebih
cerah. Wallahua’lam...
*Penulis, adalah penggiat di Permata dan IKMAL
2 komentar:
Tak cukup jadi kata kerja, tapi harus mampu memberdayakan yang akan menjadi alumni.
Tak cukup jadi kata kerja, tapi harus mampu memberdayakan yang akan menjadi alumni.
Posting Komentar