ASUS VivoBook Pro F570, Membuka Lembaran Sejarah Baru



Asus VivoBook Pro F570 (https://www.asus.com/id/News/4RxxRDeQnEQoJrVf)


Oleh: Moh. Roychan Fajar

Dalam dunia teknologi, tentu nyaris tak ada orang yang berani menyangkal bahwa produk-produk Asus selama ini memang selalu berhasil menciptakan kejutan-kejutan yang tak pernah kita kira sebelumnya. Selama sekitar 30 tahun perusahaan ini berdiri, ia berhasil memanjakan kebutuhan kita selama ini. Inilah yang sampai detik ini membuatnya tetap berpijar terang, semakin tinggi menjulang, semakin ternama, dalam kancah dunia teknologi Indonesia dan internasional. Sehingga tidaklah heran bila sampai detik ini berhasil meraih sejimbun prestasi-prestasi mewah, misalkan: peraih 10 penghargaan pada ajang IF Design Award 2012, Produk terpilih pada Event tahunan CES 2013 Honoree, peraih lebih dari 721 penghargaan di seluruh dunia untuk produk Zenfone di tahun 2014, dan yang terbaru, dua tahun yang lalu, pada tahun 2016, Asus memenangkan 4.511 penghargaan dari organisasi teknologi terpandang dan media IT se-dunia.

Deretan prestasi di atas tentu tidak membuatnya sombong, puas, apalagi meratapi gemilang serta harumnya masa lalu. Justru dari prestasi-prestasi tersebut kini Asus Indonesia semakin produktif berinovasi. Tak disangka, sebulan yang lalu, tepatnya Kamis, 14 Februari 2019 M., Asus Indonesia merilis produk laptop terbarunya, yakni: Asus VivoBook Pro F570. Produk terbaru Asus kali ini benar-benar membuat geger dunia teknologi tanah air. Terutama bagi para penggemar produk Asus. Betapa tidak, laptop VivoBook Pro F570 ini adalah satu-satunya laptop di Indonesia yang memiliki kapasitas dan performa yang paling menawan, karena di laptop yang baru kemarin rilis ini, Asus berhasil mengombinasikan dua hal yang selama ini tak pernah bersatu dalam satu produk, yakni: prosesor AMD Ryzen dengan GPU Nvidia.

Perpaduan keduanya tersebut, tentu menjadi trobosan baru dalam dunia teknologi hari ini, khususnya bagi seluruh masyarakat pengguna laptop. Atas perpaduan prosesor AMD Ryzen dan grafis Nvidia GeForce GTX 1050 ini,laptop yang kini bisa dipesan saat ini juga itu, tentu kini menjadi idaman banyak orang. Mengapa? Karena atas keunikannya tersebut, laptop ini memiliki “Amazing Performance” (performa yang sangat luar biasa). Jadi, kombinasi prosesor AMD Ryzen Mobile, dan grafis Nvidia GeForce GTX 1050, menjadikan laptop ini bekerja sangat efektif, dan sangat mendukung untuk para pengguna yang produktif bekerja sehari-hari, misalkan untuk pembuatan-pembuatan konten, designer, penulis, periset, dst.Ditambah kecepatan penyimpanan yang sangat tinggi, yakni SSD M.2 SATA3 berkapasitas 256 GB, tentu membuat laptop ini semakin strategis untuk dimiliki.

Sebenarnya ada dua versi untuk laptop VivoBook Pro F570 yang baru dirilis oleh Asus itu, yakni: versi AMD Ryzen 7 dan versi AMD Ryzen 5. Kalau versi pertama dilengkapi oleh harddisk berkapasitas ekstra 1 TB 5400 rpm, sementara versi kedua hanya dilengkapi oleh harddisk 1 TB, akan tetapi pengguna bisa memodifikasi, dengan menambahkan SSD M2 jika dibutuhkan.

Namun terlepas dari perbedaan dua versi di atas, pada intinya, laptop tersebut sama-sama dilengkapi dengan inovasi teknologi yang canggih. Dari itulah, sangat cocok sekali untuk orang-orang yang nyaris setiap harinya, di setiap aktivitasnya, memang tak pernah lepas dengan laptop. Misalkan seperti saya, sebagai penulis, hampir setiap hari dan malam nyaris tak ada posisi favorit kecuali posisi duduk sambil merenung, sembari memanjakan jari-jari menari di atas keyboard laptop. Nah, dalam keadaan ini tentu performa dan kualitas laptop, seperti VivoBook Pro F570, menjadi sangat signifikan untuk dimiliki. Apalagi di laptop ini juga dilengkapi dengan fitur backlit pada keyboard, jadi sangat cocok untuk kerja-kerja ngetik. Karena dengan adanya fitur ini, kendanti gelap pun, pengguna tetap bisa ngetik.

Fitur backlit keyboard Asus VivoBook Pro F570
(https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3gvKezKFkmt6qseF__vpEmA29gjVljUWtXm77yjxo8AbFm5kmV-P5IuDMuyr1_t-UyHgFkTcbiTT_6W_yC0HUh9lBrf3l71Dg1ibfS3zax7fEm7H3Fo6dziayyQ9NboqvXZj9__FTQdE/s1600/F570-02.jpeg)

Tetapi bukan berarti laptop VivoBook Pro F570 ini hanya cocok untuk para penulis. Sebagai laptop mainstream, produk Asus ini cocok untuk siapa saja, untuk semua lapis generasi, entah dari kalangan remaja hingga kalangan dewasa, atau bahkan untuk mereka yang sedang usia lanjut. Karena mafhum kita ketahui, di era digital seperti ini, laptop sudah menjadi kebutuhan semua orang—tak pandang bulu—yang mungkin sudah tak bisa kita hindari. Sehingga memilih laptop dengan kualitas terbaik, seperti Asus VivoBook Pro F570 ini, adalah bagian dari pemilihan pola hidup yang baik pula bagi kita semua.

**

Baiklah, mari tarik nafas sebentar untuk “menyelam” lebih jauh; kira-kira, apa lagi kecanggihan laptop Asus VivoBook Pro F570 ini?!

Ya, selain “Amazing Performance”, sebagaimana yang di atas telah dijabarkan, masih ada banyak kemewahan yang bisa kita jumpai di laptop ini. Salah satunya, selain kelebihan-kelebihan dan keunikannya (sebagaimana dijelaskan) di atas, Asus VivoBook Pro F570 juga dilengkapi dengan “Audio Sonic Master ASUS X Series, Didukung oleh Prosesor”. Fitur ini adalah perpaduan langsung dari “software” dan “hardware” yang sengaja dirancang untuk menghadirkan kualitas suara laptop ini menjadi sangat baik, dengan range frekuensi yang lebih luas, vokal lebih jelas, serta bass yang lebih dalam. Perangkat Audio Sonic Master ini memang sengaja didesain agar kehadiran laptop benar-benar memuaskan untuk para penggunanya, dalam berbagai kebutuhan, seperti: main game, nonton film, dst. Maka dari itu, melalui fitur ini, para pengguna nanti tidak perlu repot-repot menyediakan “sound eksternal” bila hanya ingin menikmati musik di waktu senggang. Karena dengan Audio Sonic Master, laptop ini sudah memiliki kualitas suara yang tinggi. Pendengaran para pengguna, oleh laptop ini sungguh benar-benar dimanjakan.

Apakah hanya pendengaran pengguna yang dimanjakan? Tentu tidak.

Karena lewat layar yang berukuran 15,6 inci, yang mendukung resolusi Full HD rasio 16:9 dengan resolusi 1920 x 1080 pixel, jelas, penglihatan para pengguna nanti juga akan dimanja. Dengan monitor dan kualitas yang setinggi itu, tentu justru akan membuat pengguna semakin nyaman duduk menikmati grapic dan visualisasi laptop ini. Bahkan dari saking nikmatnya, mungkin akan kesulitan untuk beranjak jauh dari laptopnya.

Tampilan layar Asus VivoBook Pro


**

Yang lebih mengesankan, laptop Asus VivoBook Pro F570 ini juga memiliki penampilan yang memukau dan sangat kontemporer. Ia memiliki keunikan dalam casis-nya, yakini terdapat fitur teknologi “Eye Catching Look”, sebuah warna menyeluruh dengan garis biru yang mengkilap. Jadi dengan warna mengkilap di pinggir dan bagian logonya, serta dilengkapi “brush finish” untuk seluruh body laptop, membuat laptop ini tampil elegan dan membuat pengguna sangat percaya diri untuk di bawa ke mana-mana. Apalagi dengan bobot yang hanya sekitar 1.9 kilogram, menjadikannya sebagai laptop mainstream yang paling ringan di kelasnya, sehingga tidak berat untuk dibawa. Desain laptop yang seperti ini, ternyata juga membuatnya tampil tidak kaku digunakan di tempat-tempat umum, entah itu di suasana-suasana serius seperti forum-forum ilmiah, kelas perkuliahan, seminar, atau di tempat-tempat hangout sekali pun (misalkan di caffe, atau di ruang-ruang santai lainnya).

Bahkan, dalam suasana ramaipun (misalkan waktu ngopi bareng teman-teman) kita tidak perlu khawatir pada keamanan laptop. Karena ia juga sudah dilengkapi dengan “Fingerprint Sensor”. Dengan fitur ini, orang lain tak akan bisa membobol keamanan laptop, kecuali menggunakan sidik jari pemiliknya.Disini kita juga bisa melihat bagaimana komitmen Asus dalam melindungi privasi kita. Karena tidak sedikit orang-orang, termasuk saya sendiri, yang menjadikan laptop itu sebagai “rumah virtual”. Sebagai rumah, di sini laptop tentu bukan hanya berisi kebutuhan-kebutuhan kerja, tetapi juga dokumen-dokumen pribadi, rekaman masalah pribadi, yang tentu tak boleh diakses oleh sembarang orang. Maka dari itu, dengan fingerprint yang sudah di support Windows Hello membuat login laptop ini cepat dan aman. Jadi kita tak perlu khawatir soal keamanan laptop.

**

Dengan ini kita bisa mengatakan bahwa platform designer yang selama ini dikembangkan oleh Asus—khususnya untuk produk terbarunya ini—memang memiliki kepekaan yang sangat kreatif. Asus mampu melahirkan laptop yang tidak hanya keren kualitas dalamnya, tetapi juga dalam segi penampilan luarnya, sangat menawan dan elegan. Artinya laptop Asus VivoBook Pro F570 sangat relevan untuk era kita saat ini. Dengan kata lain, ia berhasil melampaui keusangan produk-produk teknologi lawas yang hari ini masih saja menyebar di pasar-pasar murahan.

Oleh karena itu, lahirnya laptop Asus VivoBook Pro F570 di tengah-tengah kita hari ini, membuka lembaran sejarah baru dalam hikayat dunia teknologi Indonesia. Jelas, itu tak bisa kita bantah. Karena Asus melalui produk terbarunya ini telah berhasil memecah satu kebuntuan dalam dunia teknologi, yang diam-diam kini berlangsung dibalik kesadaran kita, yakni: tumpulnya inovasi dan kreativitas dunia teknologi Indonesia. Atas hadirnya Asus VivoBook Pro F570, dunia teknologi Indonesia kini kembali berpijar. Asus telah berhasil menyegarkan kembali citra kreativitas teknologi Indonesia melalui produk andalannya ini. Sehingga tidak berlebihan,bila hari ini kita mengatakan bahwa Asus VivoBook Pro F570 adalah satu-satu laptop paling maju yang kini hadir tepat dihadapan kita semua.

Untuk mendapatkan produk luar biasa Asus satu ini, kini telah bisa kita beli di toko-toko laptop yang tersebar di seluruh tanah air. Bahkan bukan hanya tersedia di toko darat, kinidalam rangka memudahkan akses bagi para pembeli, kini ASUS VivoBook Pro F570 Ryzen 7 juga dijual eksklusif di JD.ID, melalui mobile site di https://m.jd.id/camp/asus-f570zd-r7591t-316210179.html. atau desktop site di https://www.jd.id/campaign/asus-f570zd-r7591t-3162.html. Jadi, bila selama ini kita masih hidup dengan laptop-laptop lawas, mari melalui ASUS VivoBook Pro F570, melakukan lopatan zaman, menuju era yang lebih modern, lebih maju, dengan produk Asus yang bulan lalu baru saja resmi dirilis ini. []

Ijtihad Melawan Hoax: Merajut(-Ulang) Nalar Politik-Etik



Moh. Roychan Fajar

Menjelang Pilpres 2019, yang akan segera berlangsung dalam hitungan bulan kedepan ini, ruang publik Indonesia kini sesak atas menyebarnya berita-berita hoax (berita bohong). Berita hoax yang kian hari terus belipat ganda di berbagai media, terutama di madia-media online itu, kini telah mengaburkan batas terang antara, jujur dan dusta, fakta dan fiksi, benar dan salah, yang sejak dulu telah tertata dengan rapi. Dari saking banyaknya berita hoax itu menyebar, banyak orang hari ini yang terkecoh dan ikut arus terhadap manipulasi informasi tersebut. Memang terasa ganjil: bagaimana mungkin mereka bisa terkecoh? Bagaimana mungkin mereka hanyut dalam kebohongan yang dilakukan dengan sengaja itu? Ya, apa pun jawabanya, inilah fakta arena politik kita saat ini.

Sekarang, kita bisa mengatakan dengan nada kecut, tanpa ragu-ragu, bahwa konstelasi politik Indonesia kini telah menghancurkan kejujuran dan kejernihan berpikir. Sebaliknya, nalar politik kita kini penuh dengan kepalsuan dan rekayasa. Penyebaran berita-berita hoax yang menjadi jurus andalan para politisi untuk mempengaruhi persepsi publik dalam menggait dukungan  publik, menjadi potren buram realitas politik kita saat ini. Sejatinya hal ini tidak hanya terjadi Indonesia. Kampanye hoax sebagai strategi politik, ini juga berlangsung dan pernah berhasil pada dua moment politik berpengaruh di dunia tahun 2016 silam, yakni: keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit) serta terpilihnya Donal Trump sebagai presiden negeri “Paman Sam”.

***
Di era revolusi digital seperti saat ini, penyebaran berita hoax yang diproduksi secara masal melalui website dan media sosial, seperti: Facebook, Tweeter, WhatsApp, Instragram dan akun-akun Youtube, tentu menjadi pilihan yang strategis bagi para “prodator politik” untuk mendikte emosi dan menggait simpati publik. Karena media sosial berbasis internet tersebut, kini telah menjadi ruang baru bagi semua orang untuk beraktivitas. Seolah-olah dalam ruang maya, yang bersifat artifisial itu, menjadi ruang yang nyata. Memang, arena maya hari ini telah menjadi realitas yang—nyaris atau sudah—sejajar, atau bahkan lebih riil, dibandingkan rialitas yang sesungguhnya. Dalam istilah Baudrillard, kondisi ini disebut sebagai “Hiperrealitas”: satu istilah yang menjelaskan tentang runtuhnya realitas, yang kemudian diambil alih oleh rekayasa model-model, citra, virtualisasi, halusinasi, simulasi, yang dianggap lebih nyata dari realitas yang sebenarnya.

Dengan kata lain, di era digital ini, tak ada lagi batas yang kokoh antara yang riil dan yang ilusi. Bahkan, perkembangan digitalisasi informasi yang menggunakan media sosial sebagai jejaring penyebarannya, juga memiliki kecepatan yang lebih tinggi dan ruang yang lebih luas dibandingkan dunia nyata yang kita tempati ini. Kecanggihan perkembangan informasi digital, telah berhasil melumat ruang ke dalam pergerakan waktu yang amat padat, melalui kecepatan transmisi cahaya (fibre eptic), sehingga memungkinkan segala peristiwa yang terjadi di New York misalkan, dengan mudah kita akses secara live atau real time di mana pun kita berada.

Moment inilah, yang kemudian disebut oleh Paulo Virilio—dalam bukunya bertajuk, Open Sky (2007)—sebagai “the death of geography” (matinya geografi). Artinya, musnah sudah perbedaan-perbedaan geografis, yang selama ini kita pahami terkotak-kotak menjadi beberapa wilayah. Kini ia menjadi satu, terhimpun dalam satu ruang digital bernama internet. Sehingga wajar kemudian, penyebaran berita hoax melalui website dan media sosial oleh para politisi, akan mudah mempengaruhi atau membohongi publik secara instan. Hal itu terbukti, rupanya kian hari mendekati hari pelaksanaan Pemilu, jumlah berita hoax terus bertambah dan nampaknya sulit untuk dibendung.

Tahun lalu misalnya, Kementrian Informasi dan Komunikasi telah menyebutkan ada sekitar 62 konten hoax terkait Pemilu 2019 selama bulan Agustus hingga Desember. Dan ternyata semakin meningkat di bulan pertama tahun 2019. Dalam identifikasi lembaga yang sama, justru di bulan Januasi 2019 ada 70 konten hoax yang telah teridentifikasi.  Tentu bukan tidak mungkin angka-angka di atas ini akan terus bertambah. Kasus terakhir—yang saat ini pelakunya sudah tertangkap—yakni tentang pemalsuan tanggal pemilu, yang dulu berita-beritanya menyebar luas di jagat maya. Kita tinggal menunggu dengan sabar, kira-kira informasi atau isu apa lagi yang nanti akan dipalsukan untuk menipu publik?

***
Fenomena banjirnya berita hoax dalam dinamika politik di Indonesia ini dapat dibilang sejarah baru. Di sini kita sah bertanya: apa yang kita dapatkan dari “sejarah baru” ini? Apakah dengan berita hoax Pemilu berlangsung etis dan damai? Tidak. Justru adanya berita hoax yang mengangkat isu-isu sensitif, telah membuat republik ini ter-pecah-belah. Melalui berita hoax tersebut, banyak orang melakukan ujaran kebencian (hate speech), saling caci-maki, fitnah, untuk menjatuhkan lawan politiknya. Nalar-nalar politik semacam ini telah menggeser akal kritis kita, menjadi pikiran-pikiran gelap, yang buta realitas, yang masa bodoh dengan kebenaran faktual. Jadi di balik agenda pesta demokrasi yang sebentar lagi akan berlangsung ini, bila boleh jujur, kita juga menghadapi tragedi remuknya persaudaraan, yang sejak dulu terajut dengan sangat indah di bawah republik yang plural ini.

Tepat dalam era digital seperti saat ini, dimana berita-berita hoax dapat dibalut persis menyerupai fakta—melalui bantuan kecanggihan teknologi—dan dapat menyebar secara cepat, kita memang perlu menentukan sikap untuk melawannya. Melawan hoax pada moment politik seperti saat ini, berarti sama derajatnya dengan berjuang melenyapkan kebohongan, kepalsuan, yang seama ini telah menyebabkan kebencian dan permusuhan dalam arena politik kebangsaan kita.

Oleh karena itu, untuk merakit kembali nalar politik yang etis, yaitu politik yang melangsungkan diri melalui persaingan yang santun, bebas dari kebencian dan perpecahan, memang tak ada cara lain, kecuali dengan melawan berita-berita hoax. Perlawanan ini harus menjadi ijtihad kita bersama. Sebagai ijtihad, berarti kita harus berupaya untuk mencari cara, pendekatan, strategi, untuk menghindari atau mengatisipasi berita-berita hoax—tentang Pemilu 2019 ini—dalam merong-rong nalar politik publik. Salah satu cara yang bisa menyelamatkan publik dari berita-berita hoax, hemat penulis, bukan dengan mendukung kebijakan pemerintah untuk memblokir media yang diduga menyebarkan berita hoax, melain dengan meningkatkan basis pengetahuan kita agar dapat mem-verifikasi secara kritis informasi-informasi yang akan hendak kita baca.

Ya, bentuk perlawanan seperti ini menjadi kunci penting hari ini, agar nalar politik kita kembali etis. Sehingga, dinamika politik di antara dua kubu beserta pada para pendukungnya, yang hari ini sedang bersaing, dapat berjalan dengan sehat, penuh khidmat dan damai. Karena semua itulah yang akan menentukan masa depan Indonesia nanti. Memang rasaya sangat tidak adil, bila kerukunan umat yang sejak dulu telah tertanam, tiba-tiba hancur berantakan karena moment politik yang dikeruhkan oleh berita-berita hoax ini. Darinya, mari kita lawan bersama!

Merobek NKRI (Ber)syari’ah: Refleksi dan Kritik



Moh. Roychan Fajar

Seruan-seruan NKRI Bersyari’ah yang pertama kali melengking ke dalam pendengaran kita pasca aksi 212 tahun 2016 itu ternyata kian hari semakin menggema di mana-mana. Ya, masih segar dalam ingatan kita, setahun kemudian pada tahun 2017 lalu, saat reuni aksi 212 digelar, seruan NKRI Bersyari’ah kembali dikuatkan. Kini, tahun 2019, tepat dimana perhelatan pesta demokrasi paling akbar di bangsa ini akan digelar, seruan tersebut menjadi semakin “meriah” dan memantik banyak perhatian dari berbagai kalangan. Seruan-seruan akan hal ini, mafhum kita ketahui, senantiasa dipekikkan oleh sang imam besar FPI, Habib Rizieq. Ribuan mata menjadi saksi, saat ceramah dan orasinya di atas panggung dan disaksikan sejuta umat di Aksi 212 di Jakarta dulu, “perlunya NKRI Syari’ah” ia teriakkan dengan penuh tenaga di hadapan para jema’ahnya.

Ya, tepat dalam keadaan ini, sejumlah pihak kini mulai mempertanyakan secara kritis atas seruan yang sampai hari ini terus dikampanyekan tersebut. Kita bisa menyebut secara kikir, salah satu oranng yang kini telah mempertanyakan atas seruan Habib Rizieq itu, adalah Denny JA. Dalam tulisannya di akun Facebook-nya, yang ia unggah pada tanggal 8 Desember 2018 lalu, ia menulis satu esai dengan tajuk, “NKRI Bersyari’at atau Ruang Publik yang Manusiawi”. Dalam tulisan ini, Denny mempertanyakan relevansi gagasan NKRI Syari’ah terhadap apa yang ia sebut, “Ruang Publik yang Manusiawi.”

Bagi Denny, fardhu kita mempertanyakan gagasan di balik NKRI Syari’ah tersebut. Pasalnya, sebagaimana dalam penilaiannya, justru pancasila sebagai dasar ideologis NKRI ini sudah syar’i. Artinya, pancasila telah sesuai dengan spirit keislaman yang selama ini telah berhasil menjadi ‘payung basar’ bangsa yang plural ini. Kira-kira pertanyaannya: untuk apa kemudian ada NKRI Syari’ah? Karena tanpa embel-embel syari’ah pun, NKRI—melalui pancasila—selama ini sudah sesuai dengan nilai-nilai keislaman, yakni: nilai kemanusiaan. Dari itulah, Denny, dalam tulisannya, mengajak para bembaca dan kita semua untuk juga memikirkan apa yang sedang ia pikirkan itu. Secara gamblang ia mengajukan tanya, sembari menantang: “bagaimana sikap kita atas seruan NKRI Bersyariah?”.

Mari ambil nafas sebentar, sebelum malanjutkan dan menjawabnya.

Baiklah, sejatinya bila kita jujur, gagasan atau seruan NKRI dengan embel-embel Syari’ah ini bukan wacana baru dalam perdebatan kebangsaan kita selama ini. Dan selain Denny Ja, ada tumpukan penulis yang sejak dulu telah melahirkan teks-teks kritis yang berupa gugatan atas gagasan yang dianggap mengancam keutuhan NKRI tersebut. Sebut saja salah satunya misalkan, Gus Dur. Ia menolak tegas terhadap gagasan NKRI Bersyari’ah atau formalisme agama, yang meletakkan ajaran Islam (baca: Al-Qur’ah) sebagai ideologi politik, seperti negara-negara khilafah di Timur Tengah. Mengapa? Karena konsep negara khilafah (baca: NKRI Syari’ah), jelas berlawanan dengan konstelasi bangsa yang heterogen ini.

Yang juga tak kalah penting, di dalam gagasan NKRI Syari’ah, kita justru juga dapat menangkap satu pergeseran serius dalam paradigma keberislaman kita—yang tentu saja memprihatinkan: dari nalar yang ingkusif, moderat-kontekstual, yang sejak dulu telah berhasil mengadaptasikan Islam dalam sipirit nasionalisme, ke nalar-nalar yang sifatnya cenderung lebih eksklusif, tekstual dan normatif. Konsekuensinya, dalam bentuk pergeseran ini, semua doktrin-doktrin Islam akan menjadi beku, tertutup, dan cenderung memonopoli tafsir kebenaran. Kecenderungan memonopoli kebenaran ini akan membuat Islam tidak toleran terhadap pemahaman Islam yang lain maupun agama lain. Maka tidak heran bila model keberislaman seperti ini berorientasi terhadap pembentukan sistem negara khilafah. Islam sebagai ajaran harus resmi menjadi dasar negara. Seolah-olah, tanpa tempelan label Islam, ngara akan menjadi kafir, dzhalim dan tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Pada kerangka inilah, NKRI Syari’ah akan mempersempit “ruang publik” kebangsaan kita yang selama ini telah terawat scara arif, penuh nilai-nilai toleransi, bhinika tunggal ika, dan spirit kemanusiaan. Justru dengan NKRI Syari’ah stempel-stempel identitas akan dengan membabi buta dilancarkan. Bahkan tida jarang berujung perskusi, caci maki dan teror.

Hal ini sedikit banyak sudah terjadi dalam khazanah kebangsaan kita hari ini. Terutama dalam momentum politik elektoral hari ini yang memang gemar “menjual agama” untuk kepentingan-kepentingan pragmatis. Di hadapan gagasan ini, isu-isu sentimal dan identitas dimainkan untuk untuk mendulang suara dan dukungan. Paling tidak, agenda ini telah berhasil mengantarkan Anes Baswedan sukses dalam Pilkada DKI lalu. Kini, di pentas elektoral yang lebih akbar, menuju Pilpres 2019, stempel muslim dan non-muslim, pribumi dan non-pribumi, kembali meriah dilakukan di jagat maya maupun di dunia yang nyata.

Sampai di sini, kita bisa menilai dengan bijak, di tengah bangsa yang demam populisme dan politik identitas, melalui kampanye-kampanya NKRI Syari’ah, adalah penanda bahwa demokrasi kita hari ini sedang terancam. Ruang publik kita sedang dalam kondisi darurat. Islam Indonesia yang sejak dulu telah berhasil merekatkan segala bentuk keberagaman di bumi Nusantara melalui harmoni pancasila, kini justru yang terjadi sebaliknya: Islam (itu sendiri) malah didakwahkan secara elitis, untuk mendiskreditkan identitas tertentu. Islam yang sejak dulu diajarkan secara substansial, demokratis, tersublimasi dalam segala bentuk kearifan lokal masyarakat Indonesia, kini justru disebarkan secara dangkal dan tidak beradab, dengan menganggap dirinya paling benar dan paling “Islami”.

Nah, sebagai kritik dan refleksi lebih luas, dalam konteks ini, ada baiknya kita mengulang pertanyaan Denny JA dalam tulisannya: “Yang mana yang lebih kita pentingkan? Label? Atau substansi? Label Islam atau praktek nilai Islami?”.

Denny, melalui pertanyaa ini—hemat penuls—ingin menegaskan bahwa Islam sebagai agama, tentu tidak sekedar hanya berupa ejaan nama, teks yang bisu dan label yang bebas ditempel dimana saja sesuka hati—seperti penempelan kata “syari’ah” setelah “NKRI”. Tepat di balik itu semua, Islam juga memiliki pengertian yang maha luas, substansial, yang tertuang dalam segala bentuk praktek keberagamaan umat-umatnya.

Dalam bentuknya yang terakhir inilah, Islam tak cukup sekedar dipekikkan di atas mimbar, tetapi juga harus diperas menjadi nilai universal, sehingga dapat  menaungi dan melindungi umat atas nama kemanusiaan. Keberislaman seperti inilah yang sejak dulu dirumuskan oleh founding fathers kita, yang kemudian dikembangkan secara konstitusional-ideologis, menjadi: Pancasila. Jadi, pancasila sebagai perwujuadan nilai universal doktrin Islam, adalah radilkalisasi ajaran Islam secara substansial, yang selama ini telah menciptakan ruang publik kebangsaan kita dengan penuh khidmat dan dan kebijaksanaan.

Jadi, sekali lagi, apakah kita masih perlu NKRI Syari’ah? Tidak.

Di Seberang Kejauhan...


Moh. Roychan Fajar

Aspal yang keras, hitam dan tebal itu menjadi jejak terakhir, sabagai satu-satunya wujud (namun samar) yang kini masih segar membekas, menggantung, mengendap, di seberang kejauhan ini. Kejauhan yang akan kembali menguji kesabaran, keseriusan, ketangguhan dalam hubungan kita bersama. Sumenep-Kediri, jarak yang tak dekat itu, akan membukan lembaran cerita dan kisahnya kembali, yang mungkin nanti akan lebih kempleks dan berat dibandingkan kisah Layla dan Majnun, Romeo dan Juliet, atau kisah Budha kuno tentang Rama dan Sinta.

Kedepan, ada banyak hal yang akan terjadi, yang akan kita lalui dalam perjalanan kisah yang mungkin tak akan selalu mudah untuk kita ringkas menjadi satu-dua paragraf di atas kertas; moment-moment dimana romatika itu tak bisa kita logikakan, kita bahasakan, kita jelaskan. Sebut saja, salah satunya: rindu. Yang kadang hadir melalui penampakan-penampakan yang samar, antara dua dimensi sekaligus: kebahagiaan dan kesedihan.

Ya, pada satu sisi, rindu itu memang melelahkan. Ia hanya membuatku duduk tersungkur memandang langit; membayang, merenung, mengingat, tentang kamu yang tak pernah pasti kecuali kepastiannya sebagai jejak yang menggores di dinding-dinding masa lalu. Masa di mana kita masih bebas bertukar senyum, bertegur sapa, dan makan bersama. Tetapi, ia (baca: ridu) juga sampul yang dapat melipat jarak kejauhan ini menjadi dekat, sedekat-dekatnya, antara aku dan kamu, meskupun hanya dalam bayangan—yang tak seutuhnya benar, namun juga tidak seutuhnya salah.

Tentu, betapa melelahkannya rindu itu, aku selalu tabah. Aku sadar, bergelut tanpa sudah dalam kejauhan ini—menjelajahi kesunyiannya, menelusuri liku demi liku jejaringnya, mencatat penggal demi penggal sejarahnya, terperangkap dan bahkan kadang jatuh dalam ke-semu-annya—merupakan sebuah perjalanan yang berat. Ibarat belukar hutan rimba, yang kapan saja dapat menelantarkan pengembara dari tujuannya. Di tengah gersang dan pengapnya rimba itu, seseorang hanya bisa berjalan mengikuti bayang-bayang fatamorgana yang sejatinya tak akan pernah terkejar.

Namun, kenapa harus peduli jika sudah yakin dan berdasarkan niat yang luhur? Aku memilihmu, sejak dulu hingga nanti sampai ajal memisahkan kita. Aku bukan bermaksud mendahului Tuhan. Ini semua aku katakan, karena kuyakin Tuhan akan meridhai hamba-Nya yang bersungguh-sungguh. Jadi biarlah tersesat sekalian dalam rimba tak bertuan itu, toh lama kelamaan kesesatan itu nanti bisa menjadi jalan yang menuju ridha-Nya. Memang tidak mudah, namun juga bukan berarti kesulitannya tak mungkin ditakhlukkan.

***

Tiga tahun sampai empat tahun kedepan, adalah waktu yang nanti akan membuka dan mengisi lembaran-lembaran cerita tentang kita berdua. Cerita yang mungkin tak akan pernah kita lupakan dan tak akan pernah lusuh dalam perjalanan waktu. Ya, semoga kita bisa merangkai cerita itu dengan indah, sejuk dan bersamaan dengan ridha-Nya. Karena kita pun sadar bahwa waktu tiga sampai empat tahun itu bukanlah waktu yang hanya bisa dilewati dalam sekejap mata berkedip. Jadi sabar dan saling mengerti antar satu sama lain adalah hal terpenting yang tak boleh kita lupakan.

Dua hal di atas itu bisa menjadi perekat atas keadaan hubungan kita nanti yang mungkin tak selalu berjalan mulus; kita memang sering saling bertukar senyum bersama, namun kita juga tak boleh lupa bahwa kita juga pernah saling marah. Itulah perlajanan. Selalu menyimpan dua kesan yang berbeda dalam prosesnya, antara keindahan dan keburukan, senyum dan kemarahan. Selain berdo’a dan memohon perlindungan kepada Tuhan, saling memahami antar satu sama lain, juga adalah jalan tengah untuk mendamaikan dua kesan yang selalu tanpil bersebrangan itu. Saling memahami ini sangat ditentukan betul oleh sejauh mana kita saling mencintai, menyayangi, dan sejauh mana kita saling memiliki. Karena di atas cinta dan perasaan menyayangi itulah, ia memilki watak “negativitas”, satu hal yang akan aku dijelaskan dalam konteks ini.

“Negativitas” yang aku maksud adalah pengetahuan yang secara otomatis tercipta di bawah perasaan “menyangi” sebagaimana yang disinggung di atas. Yang perlu digarisbawahi bahwa ia telah berhasil melampaui pengetahuan “hitam-putih” semesta ini. Inilah cinta yang total. Dengan prinsip negativitas-nya, ia tidak lagi memandang subjek yang ia pilih dalam metriks, baik-buruk, cantik-jelek, kaya-miskin, dst. Lebih dari itu, ia memahami orang yang dipilihnya sebagai sosok yang harus ia terima apa adanya, apapun kekurangannya.

Dari itulah, apa yang disebut sebagai “seling memahami” itu, dapat kita bangun melalui spirit “negativitas” ini; moment di mana tak lagi ada alasan, rasionalitas, tentang mengapa kita saling mencintai dan saling memiliki. Moment di mana kekurangan dan celah di antara kita tak lagi penting. Dan moment di mana kita saling terdorong untuk saling menjaga, mengingatkan, dan saling mengisi atas kekuaran-kekurangan yang tak bisa kita sembunyikan.

Memang tidaklah mudah.
Karena memang tidak ada yang mudah
dalam mencapai kebahagiaan.
Namun aku yakin,
kita sudah sama-sama siap menempuh itu semua!

***

Kini, aku selalu bertanya: apa yang bisa kulakukan, kuberikan, padamu selain kesetiaan ini? Aku sadar, karena kebodohanku, ketidakdewasaanku, kemalasanku, keteledoranku, kenakalanku, kemarahanku, telah berkali-kali menyia-nyiakanmu, membuatmu kecewa, mebuatmu marah dan jengkel. Membuatmu lelah, letih dan bahkan sesekali terganggu atas hubungan ini. Seolah-olah, cinta, sayang, dst, yang sering saya sampaikan kepadamu tak sebanding lurus dengan apa yang setiap saat kuperbuat. Ya, aku berjanji untuk terus belajar. Belajar untuk menjadi yang terbaik untukmu. Belajar agar apa yang selalu aku sampaikan tidak sekedar rongsokan wacana yang bisu dan hampa akan bukti, jauh dari kenyataan, atau sekedar aksara yang tertulis.

***

Sayang, aku mencintaimu, hingga nanti kita hidup di atap yang sama, bahkan sampai nanti, saat ajal memisahkan kita. Semoga Allah SWT meridhainya. Amien...

PMII Vis-À-Vis Radikalisme Agama (Refleksi dan Kritik-Kontradiktif Berbasis Ideologis)


http://images.nusantaranews.co/assets/uploads/2016/12/Ilustrasi-Deradikalisasi-dalam-menumpas-terorisme.-Foto-Ilustrasi-via-okezone.jpg

Moh. Roychan Fajar*

Tak bisa disangsikan, bahwa PMII telah menjadi organisasi mahasiswa yang paling dinamis dalam diskursus perkembangan wacana keislaman. Ikhwal ini diakui pula oleh Martin Van Bruinessen, kontras dengan mahasiswa islam modernis, PMII lebih memiliki penguasaan yang lebih konfrehensif terhadap khazanah ilmu tradisional,[1] namun sumber bacaan mereka (baca: PMII) melampaui tradisi keilmuan tradisional, seperti karya-karya ulama’ islam abad pertengahan, atau ulama’-ulama’ eksklusif sebagaimana yang dikagumi mahasiswa modernis. Kita sebut saja misalkan: Maududi dan Sayyid Qutb. 

Bertolak dari eksklusifitas mahasiswa modernis, PMII mempelihatkan minat yang cukup kreatif terhadap khazanah perkembangan islam kontemporer. PMII juga mengapresiasi dan mengakomodasi bukan cuma pemikiran-pemikiran liberal dan radikal semacam Hassan Hanafi, Asghar Ali Angenair, Muammad Abed al-Jabiri, al-Na’im, Muhammad Arkoun, Abu Zayd, Syahrour dan Khalil Abd Karim, tapi juga tradisi pemikiran sosialis Marxis, Post-Strukturalis, Post-Modernisme, gerakan feminisme dan civil society.

Dengan usaha ini, PMII berhasil membuka wacana keislaman yang lebih segar, dengan struktur gagasan yang tentunya lebih terbuka, namun ideologis, dibangdingkan gerakan modernisme islam, yang setiap saat menyerukan pemurnian agama untuk segera kembali berpijak pada al-Qur’an dan Hadist, kembali pada Negara Islam dan sekarang yang terbaru, anti China. Pada wilayah ini, kita harus “mencetak merah” tentang gerakan modernisme dalam islam. 

Terminologi modernisme dalam islam mempunyai sejarah dan konteksnya sendiri. Garis geneologi pemikiran modernis, juga neo-modernis, bersambung kepada Wahabi dan berpuncak kepada Ibnu Taimiyah yang jelas-jelas mencerca tradisionalis.[2] Yang kemudian sampai ke Indoensia, gerakan ini menjadi kelompok paling ekstrem dalam radikalalisme, fundamentalisme dan ekstremisme bermotifkan agama.

Pada titik ini, perjumpaan PMII dengan Radikalisme Islam dapat dipertemukan. Sebagai dua kelompok yang memiliki basis ideologis yang berbeda. Redikalisme agama yang hari ini menjadi perdebatan banyak pihak tentu tak bisa sekedar dilihat sebagai fenomena spiritual-religius (agama). Di sisi lain, ia juga fardu dilihat sebagai fenomena sosial yang sangat kelindan dengan ideologi poitik-ekonomi yang hari ini sedang berkembang. Uapaya ini kemudian menyudutkan kita bahwa PMII dan kelompok fundamentalis memang memiliki dua pendekatan konseptual yang berlawanan.

PMII mampu mendudukkan agama dalam lokus material. Meletakkan agama dalam lokus material adalah usaha melihat agama melalui parameter-parameter eksternal, yaitu agama sebagai praktik dan istitusi yang bekerja dalam dimensi empirik, sehingga dapat diamati melalui konstruksi nalar dan analisis-kritis tentang singgungan antara dogma dan politik, dogma dan ekonomi, dogma dan tradisi serta dogma dan kearifan lokal. Pada saat yang bersamaan, kita melihat fenomena terbalik: islam radikal seolah membangun tembok besar yang secara ketat memisahkan hubungan klindan sosial dan agama. Agama pada konteks ini, menjadi semacam “logosentrisme”—dalam istilah Jecques Derrida—yang secara total bersifat absolut dan totaliter. Dengan manafikkan realitas sosial, struktur sosial, yang kadang kali mampu merubah wajah agama yang sebenarnya; agama yang sejatinya arif, bisa menjadi garang seketika, yang awalnya bijaksana bisa pula menjadi jahat dalam sekejap mata memandang.

Maka tidak heran, barisan islam radikal ini, sangat ekstrem memposisikan infrastruktur sosial, untuk tunduk secara total pada prangkat normatif agama. Karena mereka memahami agama sebagai entitas final dalam arti tak boleh bercampuradukkan dengan prangkat sosio-kultural dan sosio-politik masyarakat. Alhasil—untuk sekedar menyebutkan contoh—negara harus menjadi agama, menolak pancasila, menolah NKRI dengan kembali pada syari’at islam secara normatif, seperti Islam di Timur Tengah, dst.

Konsekuensi dari penghayatan agama semacam ini, menciptakan pergeseran-pergeseran dimana agama dan dunia (harus) mengalami pemisahan yang radikal. Orang semakin dapat membedakan mana yang agamawi dan yang duniawi. Tradisi kemudian juga dimodifikasi sebagai sebuah barang: sebagai benda seni, artefak atau tidak lagi diyakini sebagai salah satu kekuatan tradisional. Komodifikiasi ini memungkinkan tradisi beralih dari lokusnya dalam pesantren dan komunitas, untuk selanjutnya dipindahtangankan menuju ruang baru yang bernama museum, galeri, atau dalam narasi besar tentang “pembaruan” atau “purifikasi”.

Inilah keadaan dimana agama sedang terjepit ke dalam ruang-ruang pribadi, ketika di sisi lain, pranata-pranata kehidupan semakin menguasai nyaris segala aspek kehidupan. Sebagai akibatnya, agama, beserta segala penjelasan teologisnya, tampak tak berdaya mengimbangi pergerakan ilmu-ilmu sekular yang memberi pola bagi kehidupan sosial. Sampai pada titik klimaksnya, persoalan-persoalan sosial seperti kemiskinan, marginalisasi, ketimpangan, semata-mata hanya problem dalam aspek moral.

Sementara PMII, ia memahami agama tidak sekedar dalam dimensi spiritual yang akhirnya bersifat ideasional. Sebaliknya, agama harus bertolak dari dunia sosial-materialis. Materialisme, sebagai suatu ontologi sosial (baca: pemikiran mendasar tentang masyarakat, individu, dan sejarah), dalam hal ini, sebagai suatu bentuk kesatuan otonom dari relung agama itu sendiri. Di sinilah, spirit “teologi pembebasan”-nya Asghar Ali Engineer, “islam kiri”-nya Hassan Hanafi, dan “post-tradisionalismenya”-nya Muhammad Abed al-Jabiri (diterjemahkan oleh Ahmad Baso), mendapatkan posisinya yang sangat vital, vis-a-vis dengan gerakan radikalisme agama yang semakin menggurita ke berbagai pelosok negeri.

PMII mencita-citakan agama bukan sekedar prangkat alfabeta pengetahuan diruang akademik dan di meja-meja diskusi. Atau sekedar prangkat doktrin pada “orientasi tunggal” yaitu: akhirat. Sebagai bagian dari gerakan ideologis, PMII juga harus dimaknai kehadirannya secara inklusif sebagai common platform bagi aktivisme masa depan yang bergerak dengan integritas intelektual dan wacana dari himpunan tradisi, pencerahan dan kritisisme, yang berakar dalam khazanah kognitif dan praksis mayoritas umat beragama di Nusantara. Infrastruktur ideologis PMII adalah perpaduan hibrid antara tradisi Aswaja, praksis kebangsaan dan keindonesiaan serta dinamika ilmu-pengetahuan kontemporer yang juga tak boleh di tinggalkan. Wallahua’lam...

*) Pengurus Cabang PMII Sumenep
Masa Khidmat 2016-2017 M.


[1] Martin van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (Yogyakarta: LKiS, 1994), hal. 233
[2] Lihat Ahmad Baso, “Neo-Modernisme Islam vs Post-Tradisionalisme Islam” dalam  Tashwirul Afkar Edisi No. 9 Tahun 2000, (Jakarta: Lakpesdam NU, 2000), hlm. 32.

Menjadi Santri-Marxisme (Ekperimentasi Metodologis “Islam Proletar” di Madura)



Bagi seorang santri yang mempelajari pemikiran Karl Marx, jelas akan menemukan kesulitan-kesulitan yang pelik, rumit bahkan membosankan. Kesulitan pertama, terdapat dalam instrumen referensi yang tentu saja tidak disediakan dengan manja oleh pesantren, tidak seperti kitab-kitab ulama’ muslim Abad Pertengahan yang tersedia langsung di perpustakaan. Kedua, Marxis dalam dunia pesantren kurang populer sebagai sebuah diskursus intelektual di kalangan santri. Sehingga bagi peminat Marxis, ia akan menemukan kesulitan untuk berinteraksi wacana dalam melakukan kritik dan otokritik tentang seluk-beluk pengembangan ilmu pengetahuannya tentang Marxis itu.

Dan kesulitan yang ketiga, Marxisme dalam spektrum pemikiran Islam dan/atau pesantren, masih dianggap sebagai tendensi berpikir yang cenderung liberal bahkan “anti tuhan”. Sehingga, bagi pengagum Marx dalam dunia pesantren, ia akan selalu dicurigai sebagai santri yang tidak taat beragama. Kesuliatan yang terakhir ini, sebenarnya bukan hanya terjadi di kalangan pesantren, tapi juga terjadi pada banyak orang yang kadang hanya secuil mempelajari khazanah pemikiran Marx, dan parahnya langsung menyimpulkan bahwa Marx adalah ateis, komunis, dst.

Dari itulah, bergelut dalam pemikiran Marxis di dunia pesantren adalah pertaruhan. Pertaruhan apakah nanti ia akan benar-benar intens dalam studinya itu, atau menyerah pada realitas yang seolah-olah tak dapat menghendaki sebuah pemikiran Marxis tumbuh subur melampai tradisi keilmuan yang sudah sejak dulu dikembangkan sebagai kurikulum pesantren itu sendiri. Tapi bagi saya, santri (saat ini) harus menjadi Marxis. Hal ini bertolak dari kosmologi kaum santri yang kini sudah nyaris sirna elastisitasnya dan paradigma kritisnya.

***
Mengapa santri harus menjadi Marxis? Tentu bukan untuk membangun serikat buruh dan bermaksud melenyapkan tradisi keilmuan pesantren, yang oleh Wali Songo dan para kiai-kiai sepuh sudah dipraktikkan sejak Islam menginjakkan petamakali di bumi Nusantara ini. Alasan vital santri harus menjadi Marxis, adalah berdasarkan situasi santri itu sendiri. Satu konstelasi ekonomi-politik yang meletakkan posisi santri sebagai kelas proletar yang terpinggirkan.

Bertahan dalam tradisionalitas, hanya akan membuat santri diam dalam penderitaan yang tak ia sadari. Pradigma tradisional pesantren terlalu “purba” untuk merangkai gerakan yang secara agresif, kuat dan revolusioner. Sebagai strategi sosial, “tradisionalisme pesantren” terlalu lugu untuk bersaing dengan wacana atau bahkan praktik-praktik kapitalisme global. Pada fase inilah, Marxisme menjadi kebutuhan untuk merekonstruksi strategi gerakan para santri—atau dalam hal ini Islam—di tengah struktur masyarakat yang modern-kapital.

Maka dari itu, bagi santri yang belajar Marxisme, berati ia juga harus mengupayakan—yang tentu tak sederhana—mempertemukan gagasan religius keagamaan—atau lebih spesifik keIslaman—denagan prangkat metodologi Marxisme. Eksperimentasi intelektual ini, di Indonesia sudah pernah dilakukan oleh beberapa orang yang lahir dari kultur pesantren, termasuk dulu yang pernah dilakukan oleh KH. Abdurrahman Wahid. Gus Dur pernah menulis artikel pendek tentang, “Pandangan Islam Tentang Marxisme-Leninisme”,[1] tahun 1982. Dewasa ini, dilajutkan oleh Muhammad Al-Fayyadl,[2] penulis yang juga cukup intens melakukan pembacaan ulang khazanah keIslaman kita melalui kerangka Marxisme. Tapi kedua orang tersebut tidak sampai pada wilayah spesifik pesantren, sebagai satu wacana strategis tentang Islam Indonesia.

Jadi, rumusan tentang “Santri-Marxisme”, yang saya lakukan saat ini, tidak bisa disebut usaha yang baru. Kecuali pada domain penekanannya yang lebih khusus dalam aspek kritik dan pembacaan ulang agama dan identitaas kesantrian dihadapkan dengan ideologi ekopol yang hari ini memporak-porandakan tatanan sosial kaum tradisional yang sejak dulu menjadi basis sosio-kultural pesantren dan santri. Sebagai eksperimentasi metodologis, Santri-Marxisme merupakan kristalisasi dari jejak pemikir-pemikir Islam kontemporer dewasa ini. Kita bisa menyebut misalkan, Ali Syari’ati, Mohammd Arkoun, Hasan Hanafi dan Asghar Ali Engenair, sebagai pemikir yang telah berhasil melampaui garis normatif ajaran Islam itu sendiri, dalam proyek rekonstruksi ajaran kritis Islam dan untuk kebaikan Islam itu sendiri.

Oleh karena itu, santri yang belajar Marxis di pesantren adalah bentuk ijtihad menghadapi realitasnya sendiri. Karena tanpa model ijtihad semacam ini, santri tidak akan menemukan persoalan-persoalan: “eksploitasi ekonomi”, “kapitalisme”, “kontradiksi sosial”, “struktur” dan istilah-istilah seperti: “borjuis-proletar” dalam dunia kitab kuning yang menjadi kawan akrabnya[3] sejak dulu. Sementara di dunia luar, di mana ia akan menginjakkan kaki dan hidup berkhidmat di tempat itu, persoalan-persoalan dalam studi Marxisme seperti di atas, riil terjadi. Inilah kemudian, “Santri-Marxisme” menduduki tempatnya yang paling vital dihadapkan dunia di mana nanti para santri itu sendiri hidup.

Karena bagaimana pun, santri sampai hari ini, masih diterjemahkan sebagai identitas keIslaman nusantara. Dalam kosmologi santri, juga melekat khas Islam masyarakat akar rumput, Islam pinggiran, Islam petani, yang keberadaannya kini dalam struktur sosial nasional maupun global, termarjinalkan sebagai kelompok yang tak punya akses politik, nyaris miskin permanen, dan jauh dari nasib sejahtera. Dalam studi Marxisme, kita bisa menyebut santri ini sebagai kelompok sosial ploretarians.

Sebagai kaum ploretar, tentu, ia memahami kondisinya beserta seluruh problem yang dihadapi bertolak dari posisi matrialis. Bahwa problem sosial yang kini menimpa kaum santri bukan sekedar persoalan moral dan apa pun itu menyangkut relasi dan dimensi vetikal-spiritual. Melainkan persoalan yang lahir dalam khazah sosial empirik yang erat kaitannya dangan desain politik-ekonomi para elit politik dan pemilik modal, yang ingin mengaup keuntungan indevidual.

Berangkat dari fenomena itulah, melalui lanskap Santri-Marxisme, saya ingin menyebut Islam santri, sebagai “Islam ploretar”: Islam yang bersemi dan hidup di wilayah pinggir, pedesaan dan mayoritas terdiri dari masyarakat kelas bawah. Walaupun mereka bukan seutuhnya buruh—sebagaimana terminologi ploretarians ala Marxisme—namun, mentalitasnya berhadapan dengan ideologi ekonomi dan politik nasional lebih-lebih global, mereka tidak ada bedanya dengan budak; sebagai pekerja rajin tanpa penghasilan setimpal dari institutsi, kantor atau pabrik di mana mereka bekerja. Sebagai kelompok proletar, posisi santri, mau tidak mau, kini harus di pahami sebagai subjek yang berada dalam posisi “alienasi”. Betapa tidak, dalam tatanan sosial, ia adalah komunitas yang berada pada base structure, yang “menghamba” pada kuasa kelas suprastructure borjuis, yakni: para teknokrat, dan korporat. Semantara dari dulu, tak ada sejarah penghambaan santri pada siapapun, kecuali penghambaannya terhadap Allah SWT. Bahkan ia selalu melawan atas segala bentuk tindak kolonialisme Belanda dan Jepang.

Di sinilah, Santri-Marxisme hadir tidak sekedar berupa eksplorasi konseptual yang canggih dan ujung-ujungnya, kandas dengan hasil yang kosong. Santri-Marxisme  ingin secara kongkret mengembalikan posisi santri sebagaimana yang dahulu; merebut kembali stabilitas yang selama ini telah sirna. Dari itulah, Santri-Marxisme ingin membawa Islam pada wilayah yang lebih praksis dan material, mengunakan prangkat dogma untuk melakukan perjuangan kelas. Dalam dialektika kehidupannya, tepat sebagaimana Marx, ia harus memahami: “the history of hitherto all existing society is the history of class stuggles[4] (sejarah seluruh kehidupan sosial sampai sekarang adalah sejarah perjuangan kelas). Santri harus bangkit dari posisinya sebagai kelas ploretar.

***
Nah, saya ingin lebih spesifik berbicara dalam konteks Madura. Di Madura, dari dulu hingga kini, secara kultural adalah basis pesantren, banyak pesantren besar yang hingga detik ini menampung beribu-ribu santri seperti di Annuqayah Guluk-Guluk dan Al-Amin Parenduen. Sehingga tidak heran, mayoritas penduduk Madura adalah santri; berbicara Islam di Madura, maka sama saja dengan berbicara santri di Madura. Santri dalam dialektika Islam Madura, bukan sekedar simbol historis dari situasi masa lalu, namun ia memang ekspresi Islam Madura hingga detik ini dan sampai kapanpun nanti. Dari itulah, dalam Islam Madura: saat identitas santri telah remuk dalam jaring laba-laba kapitalisme, maka itu pula berati Islam dalam keadaan yang sama. 

Islam di Madura sebagai “Islam proletar”, di mana pemeluknya mayoritas terdiri dari para pekerja, kuli, petani, setiap saat senantiasa tereksploitasi secara ekonimis oleh struktur besar kekuasaan. Bahkan dalam praktik politik pun, mereka hanya boneka. Sebagaimana boneka, mereka tak berdaya pada sang pemilik, dibuat untuk apa pun boneka itu, adalah kuasa sang pemilik. Mereka dicipta sebagai sapi perahan untuk diperas agar menghasilkan keuntungan bagi tuannya. Kesadarannya secara dominan dirumuskan secara hegemonik, inilah yang kemudian oleh Michel Foucault disebut sebagai, “kematian manusia” (the death of human).[5]
 
Masyarakat muslim Madura yang kini dalam kubang kapitalisme, harus menyadari bahwa dirinya berada dalam tirani yang secara nyata melanggar prisip-prinsip kemanusiaannya. Yang dalam perkembangannya nanti, akan menghancurkan sendi-sendi idealisme kaum santri sebagai representator Islam di Madura. Hingga akhirnya membuat Islam Madura beku, bisu dan absen dari aksi-aksi perlawanan terhadap seluruh bentuk eksploitasi yang sejatinya telah mencedrai hak primordial rakyat. 

Baik, mari kita tunjuk langsung. Selama ini, kalangan kelas menengah keatas, di Sumenep sedang merepatkan barisan untuk menyulap dirinya sebagai kelas elit bourjuis. Gerakan borjuis ini, terdiri dari para pengusaha yang memiliki basis politik sangat kuat di meja pemerintahan. Kekuatan politiknya digunakan untuk mengaup keuntungan pribadi untuk semakin tampil lebih dominan di tengah-tengah masyarakat. Fatwa-fatwa tentang kemajuan dan pembangunan adalah kata-kata kunci yang sering mereka ucapkan ke masyarakat desa, yang cenderung tak berpikir dua kali tentang masa depannnya. 

Gerakan ini semakin berkembang, saat mereka juga mampu berafiliasi dengan kelas intelektual dan seluruh media pers, cetak maupun online. Organisasi dan Komunitas diskusi/literasi yang lahir dari gerakan borjuis ini di Sumenep sudah bertaburan. Hal ini, digunakan oleh para elit politik dan pemodal itu untuk memperkuat status quo-nya di hadapan publik. Kita bisa melihat banyak gerakan aktivis yang tidak memiliki basis idelisme yang kokoh, juga ikut meremaikan serangkaian gerakan berjuis ini. 

Pada titik klimaksnya, kini gerakan elit kelas menengah keatas—untuk tidak menyebut sebagai kelas borjuis—tampil di hadapan publik, dengan dalih kemajuan dan pembangunan, yaitu: gagasan Visit Sumenep. Visit Sumenep, ingin menyulap kota santri yang religius ini, menjadi kota wisata. Proses pemebangunnya sudah mulai dilakukan. Para elit ini, bekerja sama dengan sejumlah investor lokal dan luar negeri dalam tahap pembelian tanah. Pembelian tanah, sebagai fakta yang sudah diketahui oleh banyak orang ini, setiap hari semakin meningkat. Bahkan dalam investigasi majalah Fajar Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Instika 2016, dilakukan degan cara memaksa dan cara-cara yang tidak manusiawi lainnya.

Visit  Sumenep dan penjarahan tanah dibeberapa wilayah Kabupaten Sumenep, menjadi salah satu perwujudan riil kapitalisme yang telah merebut alat produksi warga untuk kepentingan modal industri perusahaan atau individu. Upaya ini telah dilakukan, melibatkan berbagai elemen mulai dari pemerintah atau masyarakat lokal untuk menjadi “kaki tangan” dalam mendekati warga agar mau melepas tanahnya untuk dikuasai. Konspirasi birokrasi dan pengusaha dalam proyek kapitalisme ini, jelas mendudukkan masyarakat desa yang notabene santri, sebagai individu yang akan menjadi kuli di tanahnya sendiri.

Seiring berjalannya waktu, sampai cap halal pun untuk wisata di Sumenep dilakukan. Sebagaimana yang dikatakan oleh orang nomor satu di Sumenep ini, A. Busyro Karim. “Tidak perlu khawatir, sebab semuanya sudah serba sehat dan halal.  Nantinya pihak travel yang akan memanjakan para wisatawan, berhentinya dimana, makannya dimana, sholatnya dimana, maka semuanya insya Allah akan terjaga.”[6] Kendati jaminan untuk para wisatawan sudah ditanggung, namun tetap tidak ada tanggungan khusus untuk para rakyat pribumi.

Keadaan semacam inilah, agama direduksi sebagai prangkat simbolik untuk mengafirmasi seluruh praktik kepentingan pribadi, atau kepentingan kelompok dominan, yang terus berusaha dengan berbagai cara memperkuat dominasi kemapanannya sendiri. Pada fase ini, agama dibuat berdiri di tengah lingkaran permainan kaapitalisme itu sendiri. Usaha melakukan Islamisasi pada kapitalisme ini, semakin menonjol saat seperti rencana Visit Sumenep telah lebih dulu di cap halal. Usaha menghalalkan Visit Sumenep (kapitalisme) dimungkinkan sejuh dilatekkan sebagai rangkaian praktik secara vertikal, dengan melenyapkan implikasi sosiologis dalam diri agama itu sendiri.

Dalam fenomana ironis ini, Islam ploretar hadir, sebagai peghayatam Islam Santri-Marxisme untuk membangun kembali kesadaran empatik terhadap kaum mustadh’afîn. Yang lahir berdasarkan fenomena pertentangan kelas, antara kelas penindas (mala’ atau mutraf) dan kelas tertindas (mustadh’afîn). Termasuk pula, antara para petani atau buruh dan elit-politik serta pemilik modal. Kesadaran impatik dalam bingkai Islam ploretar, bedasarkan kerangka materialistik, yang mengafirmasi seluruh ide-ide tentang keIslaman, termasuk dalam aspek teologi, syari’ah dan tasawuf, nicaya bersifat material: di mana agama harus bertolak dari fenomena eksternal-sosial-empirik. 

Materialisme, sebagai suatu ontologi sosial (baca: pemikiran mendasar tentang masyarakat, individu, dan sejarah), dalam hal ini, sebagai suatu bentuk kesatuan otonom dari relung-doktrin agama itu sendiri. Semacam spirit “teologi pembebasan”[7]-nya Asghar Ali Engineer, “Islam kiri”-nya Hassan Hanafi, dan “post-tradisionalismenya”-nya Muhammad Abed al-Jabiri (diterjemahkan oleh Ahmad Baso), namun lebih radikal dari sekedar transformasi aqidah pada ranah sosial-material seperti yang mereka lakukan. Karena pada posisi ini, Islam proletar lebih menonjolkan diri bertolak dari kontradiksi kelas. Di sisnilah perwujudan Islam melalui pendekatan materialisme historis mendapatkan posisinya yang sangat vital.

Mendudukkan Islam dalam “materialisme historis”[8]-nya Marxis berarti kita juga melakukan reorientasi keagamaan. Bagaimana kemudia seluruh prangkat doktrik keagamaan itu sendiri dapat lebih akrab dan pula kritis terhadap realitas yang penuh dengan selubung jebakan berbahaya. Sehingga pada fase ini agama (baca: Islam) para santri, tidak lagi dihayati sekedar jalan menuju surga, tapi dalam aspek yang lain, juga harus dipahami sebagai “agama perlawanan”. Perlawanan terhadap seluruh elemen yang senantiasa menggunakan agama sekedar sebagai kendaraan untuk mencapai keinginan pribadinya. Kelompok yang selalu mendudukkan agama sebagai panggung pencitraan ini, adalah aktivitas yang gemar dilakukan oleh para elit politik dan pengusaha di Sumenep. 

Maka dari itu, Islam proletar menjadi argumentasi alternatif untuk meletakkan agama tidak sekedar foumulasi aqidah, melainkan juga kritik sosial untuk melihat praktik-praktik diskriminatif sebagai problem yang harus diselesaikan sebagai bagian garis perjuangan agama di Madura, utamanya Sumenep. Posisi strategis santri dalam stuktur sosial masyarakat Madura butuh kembali mengkonsolidasikan diri atas nama kedaulatan bersama. Maka dari itu, Islam Proletar mencoba mendefinisikan diri sebagai Islam yang memiliki spirit permbebasan dan strategi gerakan yang digali dari tiga dimensi sekaligus, kearifan lokal, Marxisme dan nilai-nilai sosial Islam rahmatan lil ‘alamin

Tiga dimensi di atas ini menjadi trilogi pokoh dalam menerjemahkan Islam Proletar di Madura. Sehingga, dalam praktiknya, pada waktu tertentu, ia bisa saja menjadi kritik sosial, lalu dapat pula berubah menjadi strategi gerakan recolusioner, dengan tetap memegang teguh kearifan lokal Madura sebagai fenomena objektif atas bersatunya spktrum ajaran Islam dan nilai-nilai sosial kemasyarakatan. Dan pada akhirnya penghayatan Santi-Marxisme ini, sebagai eksperimentasi metodologis, kembali mengaktualkan posisi vital santri dalam dinamika sosio-keagamaan masyarakat Madura berhadapan dengan kapitalisme yang pelan tapi pasti berusaha menjinakkan agama dalam pusaran politis yang rumit, sepihak dan diskriminatif. Alhasil, Santri-Marxisme berakhir dengan seruan: bersatulah kaum santri!


*Alumnus PP. Annuqayah Guluk-Guluk Madura


 Daftar Bacaan

Engels, Karl Marx dan Frederick. 1888. The Communist Manifesto, London: Collected Work
Al-Fayyadl, Muhammad. 2005. Derrida, Yogyakarta: LKiS
Angineer, Asghae Ali. 2007. Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: LKiS
Bailey, Sudney D. 1954. “The Revision of Marxism”, in The Review of Politics, Vol. 16, No. 4 (Oct.,  1954


[1] Lihat lebih jauh dalam, Abdurrahma Wahid, “Pandangan Islam Tentang Marxisme-Leninisme” dalam, Persepsi, No. 1, 1982.
[2] Ini terbukti dalam tulisannya bertajuk, “Islam and Marxism: A Repraisal”, lalu bandingkan dengan tulisannya yang bertajuk “Marxisme dan Ateisme”, di IndoProgress, diakses pada pukul 14:55 WIB, tanggal 13 Februari 2017 M.. Ia melakukan klarifikasi motodologis tentang dominannya para kalangan fanatik yang menyebut Marxisme adalah anti Tuhan. Dengan menyandar kan terhadap ungkapan Marx tentang agama yang oleh Marx dilihat sebagai opium (candu). Bahkan Fayyadl, juga pernah menulis saatu esai berjudu, “Santri dan Marxisme”, NU Online, diakses pukul 15:37 WIB, 03 Februari 2017 M.
[3] Op.Chit, Muhammad Al-Fayyadl, Santri dan Marxisme... diakses pukul 15:37 WIB, 03 Februari 2017 M.
[4] Lihat dalam, Karl Marx dan Frederick Engels, The Communist Manifesto, (London: Collected Work, 1888), pp. 8          
[5]  Lihat secara detail dalam, Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LkiS, 2005), hal. 16
[7] Asghae Ali Angineer, Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta: LkiS, 2007)
[8] Sudney D. Bailey, “The Revision of Marxism”, in The Review of Politics, Vol. 16, No. 4 (Oct.,  1954), pp. 452-462.
 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates