Masih saja, banyak seseorang menyepelekan hal yang bersifat sederhana tapi
rumit sebenarnya. Kini, pikiran kita slalu disibukkan pada hal-hal yang hanya
bersifat ragawi-formalistis, dan kebijakan-kebijakan anti demokratis. Terlebih, pada posisi orang tua yang memiliki
tanggung jawab penuh terhadap masa depan sang putra.
Terlalu banyak, para orang tua mendidik anaknya tidak secara demokratis. Selalu
mengekang agar tetap tunduk padanya, padahal agama tak pernah memerintah untuk
tunduk pada orang tua, hanya saja kita dituntut bisa berbuat baik kepadanya
karna ketundukan hanya sebagian kecil dari perbuatan baik. Lebih kronis lagi,
hal demikian merembet pada persoalan teologis.
Dalam perkara teologi yang sangat riskan ini, notabene para orang tua mendidik
anaknya harus sesuai dengan keyakinan, keinginan serta sepakat dengan keyakinan
nenek moyang mereka sejak dulu. Kita selalu masa modoh dengan pendapat dan
gagasan-gagasan anak-anak yang dinilai masih tidak cukup umur (balig)—dalam
istilah Agama Islam—apa lagi gagasan tentang Tuhan, hampir tidak pernah kita
mengajak anak-anak untuk duduk bersama
dalam mesdiskukan prihal eksistensi
Tuhan.
Indoktrinasi Agama
Doktrinasi dalam perkara agama yang acap kali kita lakukan pada anak-anak hanya
akan melahirkan sebuah ‘pemaksaan’ yang mengikat, mengekang serta akan
menciptakan nuansa kebosanan ilahi. Mereka dipaksa untuk meyakini satu Tuhan,
satu Agama yang sesuai keinginan sang Bapak dan Ibu. Sehingga dalam batin
mereka hanya mendapatkan sebuah iman warisan yang turun temurun sejak nenek
moyangnya dari masa lampau. Hal demikian akan membentuk kualias iman sebagai
sebuah tradisi, budaya bukan sebuah keyakinan.
Wal hasil, sang anak tak kan pernah memiliki iman yang bisa dipertanggung
jawabkan saat dewasa nanti. Ah, semua ini sungguh tidak adil, sekaligus
telah mencedrai eksistensi seorang manusia merdeka yang dibawa sejak ia lahir
ke dunia.
“Karna-anak tidak memiliki pengatahuan yang cukup, oleh karna itu kami harus
menuntunnya,” apologi ini seakan sangat bersahabat dengan pendengaran kita
dalam situasi krusial ini. Memang, orang yang dewasa mempunya potensi
pengetahuan yang jelas lebih dibandingkan anak-anak—orang dewasa akan lebih
logis dalam menjelaskan tentang Tuhan dengan teori-teori dari berbagai disiplin
ilmu pengetahuan. Akan tetapi, kita harus bisa mengkaji potensi yang dimiliki
seorang anak yang bisah dibilang masih gemar main klereng setiap hari dalam
mendekati Sang Maha Kuasa.
Anak-anak sering kali mengandung konotasi makna sebagai mahkluk sangat miskin
potensi. Padahal, mereka sangat kaya potensi dibandinhkan orang dewasa dalam
memahami Tuhan. Banyak orang dewasa yang mengukur sebuah kebenaran hanya pada
dimensi rasionalitas saja, termasuk dalam memahami Tuhan. Bagi anak-anak,
mereka cenderung mendekati Tuhan dengan imajinasinya. Mereka sering kali
membayangkan sosok Tuhan dengan bermacam-macam dalam otaknya; Mulai dari
Superman yang mempunyai kekuatan super untuk menolong sesama manusia, atau pada
Super Hero yang kuat dari sekian banyak manusia yang ada.
Melalui
imajinasi, mereka tanpa sadar melakukan pendekatan ilahi pada Sang Tuhan.
Bukankah bagi Albert Einstein, bahwa imajinasi lebih hebat dan berdaya dari
pengetahuan (Knowladge), termasuk perkara dalam memahami Tuhan? Bahkan,
Henry Corbin (Filosof eksistensialis prancis) ketika menjelaskan tentang
imajinasi menyebutnya sebagai rasio yang ter-spiritualitas-kan atau siritualitas
yang ter-rasional-kan.
Tapi sayang, dalam keyakinan uamat manusia imajinasi memiliki nilai tawar
rendah dalam memahami sebuah “relitas,” termasuk tentang Tuhan. Imajinasi
dianggap sebagai khayalan fantasi yang bersifat ilusi. Padahal dalam ranah
imajinasi, telah mampu melampaui rasional-logis yang sering menjadi ukuran
kebenaran saat ini.
Dalam khazanah spiritual islam, tercatat ada tiga tingkatan prihal pemikiran
manusia. Dalam klasifikasi tingkatan tersebut, imajinasi menduduki peringkat
kedua, yakni; di bawah spiritualitas-rohani dan di atas rasionalitas-logis.
Posisi imajinasi, tak lagi memperdebatkan prihal teori dan konsep-konsep
metodolologi analisis
dalam memahami objek
kajian. Imajinasi akan memahami lebih pada gambaran abstrak yang ‘kokoh’
sebagai suatu keyakinan pada aspek rohani. Dalam prinsip ini, secara tidak
langsung akan menciptakan proses abstraksi penting dalam rangka menerangi
akar-akar dasar pengetahuan tentang Tuhan yang berada di balik sesuatu yang
kongkret.
Tuhan sebagai zat yang suci dan maha tinggi, tak dapat kita pahami melalui
pendekatan empiris dan rasio. Hal demikian hanya akan mengantarkan kita pada
pertanyaan-pertanyaan konyol yang hanya akan membuat kepala pusing tijuh keliling.
Hanya dengan imajisilah kita akan bisa mendapat penjelasan komrehensip dalam
melakukan pendekatan pada Tuhan.
*Penulis adalah manusia
yang
Tanpa henti mencari-Mu.
Guluk-Guluk 18-12-2013.
0 komentar:
Posting Komentar