Iman Warisan

 *Okeh: Moh. Roychan Fajar

            Masih saja, banyak seseorang menyepelekan hal yang bersifat sederhana tapi rumit sebenarnya. Kini, pikiran kita slalu disibukkan pada hal-hal yang hanya bersifat ragawi-formalistis, dan kebijakan-kebijakan anti demokratis. Terlebih, pada posisi orang tua yang memiliki tanggung jawab penuh terhadap masa depan sang putra.
            Terlalu banyak, para orang tua mendidik anaknya tidak secara demokratis. Selalu mengekang agar tetap tunduk padanya, padahal agama tak pernah memerintah untuk tunduk pada orang tua, hanya saja kita dituntut bisa berbuat baik kepadanya karna ketundukan hanya sebagian kecil dari perbuatan baik. Lebih kronis lagi, hal demikian merembet pada persoalan teologis.
            Dalam perkara teologi yang sangat riskan ini, notabene para orang tua mendidik anaknya harus sesuai dengan keyakinan, keinginan serta sepakat dengan keyakinan nenek moyang mereka sejak dulu. Kita selalu masa modoh dengan pendapat dan gagasan-gagasan anak-anak yang dinilai masih tidak cukup umur (balig)—dalam istilah Agama Islam—apa lagi gagasan tentang Tuhan, hampir tidak pernah kita mengajak anak-anak untuk duduk bersama dalam mesdiskukan prihal eksistensi Tuhan.
            Indoktrinasi Agama
            Doktrinasi dalam perkara agama yang acap kali kita lakukan pada anak-anak hanya akan melahirkan sebuah ‘pemaksaan’ yang mengikat, mengekang serta akan menciptakan nuansa kebosanan ilahi. Mereka dipaksa untuk meyakini satu Tuhan, satu Agama yang sesuai keinginan sang Bapak dan Ibu. Sehingga dalam batin mereka hanya mendapatkan sebuah iman warisan yang turun temurun sejak nenek moyangnya dari masa lampau. Hal demikian akan membentuk kualias iman sebagai sebuah tradisi, budaya bukan sebuah keyakinan.
            Wal hasil, sang anak tak kan pernah memiliki iman yang bisa dipertanggung jawabkan saat dewasa nanti. Ah, semua ini sungguh tidak adil, sekaligus telah mencedrai eksistensi seorang manusia merdeka yang dibawa sejak ia lahir ke dunia.
            “Karna-anak tidak memiliki pengatahuan yang cukup, oleh karna itu kami harus menuntunnya,” apologi ini seakan sangat bersahabat dengan pendengaran kita dalam situasi krusial ini. Memang, orang yang dewasa mempunya potensi pengetahuan yang jelas lebih dibandingkan anak-anak—orang dewasa akan lebih logis dalam menjelaskan tentang Tuhan dengan teori-teori dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Akan tetapi, kita harus bisa mengkaji potensi yang dimiliki seorang anak yang bisah dibilang masih gemar main klereng setiap hari dalam mendekati Sang Maha Kuasa.
            Anak-anak sering kali mengandung konotasi makna sebagai mahkluk sangat miskin potensi. Padahal, mereka sangat kaya potensi dibandinhkan orang dewasa dalam memahami Tuhan. Banyak orang dewasa yang mengukur sebuah kebenaran hanya pada dimensi rasionalitas saja, termasuk dalam memahami Tuhan. Bagi anak-anak, mereka cenderung mendekati Tuhan dengan imajinasinya. Mereka sering kali membayangkan sosok Tuhan dengan bermacam-macam dalam otaknya; Mulai dari Superman yang mempunyai kekuatan super untuk menolong sesama manusia, atau pada Super Hero yang kuat dari sekian banyak manusia yang ada.
Melalui imajinasi, mereka tanpa sadar melakukan pendekatan ilahi pada Sang Tuhan. Bukankah bagi Albert Einstein, bahwa imajinasi lebih hebat dan berdaya dari pengetahuan (Knowladge), termasuk perkara dalam memahami Tuhan? Bahkan, Henry Corbin (Filosof eksistensialis prancis) ketika menjelaskan tentang imajinasi menyebutnya sebagai rasio yang ter-spiritualitas-kan atau siritualitas yang ter-rasional-kan.  
            Tapi sayang, dalam keyakinan uamat manusia imajinasi memiliki nilai tawar rendah dalam memahami sebuah “relitas,” termasuk tentang Tuhan. Imajinasi dianggap sebagai khayalan fantasi yang bersifat ilusi. Padahal dalam ranah imajinasi, telah mampu melampaui rasional-logis yang sering menjadi ukuran kebenaran saat ini.
            Dalam khazanah spiritual islam, tercatat ada tiga tingkatan prihal pemikiran manusia. Dalam klasifikasi tingkatan tersebut, imajinasi menduduki peringkat kedua, yakni; di bawah spiritualitas-rohani dan di atas rasionalitas-logis. Posisi imajinasi, tak lagi memperdebatkan prihal teori dan  konsep-konsep metodolologi analisis dalam memahami objek kajian. Imajinasi akan memahami lebih pada gambaran abstrak yang ‘kokoh’ sebagai suatu keyakinan pada aspek rohani. Dalam prinsip ini, secara tidak langsung akan menciptakan proses abstraksi penting dalam rangka menerangi akar-akar dasar pengetahuan tentang Tuhan yang berada di balik sesuatu yang kongkret.
            Tuhan sebagai zat yang suci dan maha tinggi, tak dapat kita pahami melalui pendekatan empiris dan rasio. Hal demikian hanya akan mengantarkan kita pada pertanyaan-pertanyaan konyol yang hanya akan membuat kepala pusing tijuh keliling. Hanya dengan imajisilah kita akan bisa mendapat penjelasan komrehensip dalam melakukan pendekatan pada Tuhan. 


*Penulis adalah manusia yang
Tanpa henti mencari-Mu.
Guluk-Guluk 18-12-2013.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates