Keles, begitulah nama dari salah
satu sekian banyak desa di semenanjung tanah Ambunten. Nuansa kesederhanaan
yang dimilikinya menjadi kebanggaan tersendiri bagi setiap penduduk yang ada
dalam desa tersebut. Panorama-panorama indah di sepanjang jalan menjadi nilai
tawar tesendiri yang tak dapat ditukar dengan kota-koota metropolitan yang
penuh dengan kebisingan dan polusi udara yang menyelimutinya. Karater penduduk
yang ramah tamah dengan identitas muslim yang tetap berpegang teguh pada
prinsip-prinsip keagamaan, membuat saya betah menjaga dan melestarikannya.
Beberapa masjid dan mushalla-mushalla kecil, menjadi sImbol bahwa identitas
kaum agamis masih tetap diperjuangkan. Dalam hal ini, saya sepakat dengan salah
satu gagasan Kaum Sinis—bagian
dari aliran filsafat yunani kuno—bahwa kebahagiaan sejati tak terletak
pada kelebihan ragawi dan kenikmatam materi: kekuasaan politik, mewahnya
penampilan dan baik atau sehatnya tubuh, akan tetapi kebahagiaan sejati
terletak pada ketidak tergantungan pada segala sesuatu yang acak dan
“mengambang.”
Penduduk keles selalu mempertahankan idealimenya dalam situasi apapun. Karna
mereka memaknai sebuah kebahagian tak terletak pada keindahan materi atau
sebuah kekuasaan. Mereka selalu berjuang dalam berperang melawan realitas zaman
yang berusaha untuk membunuhnya.
Hilangnya Identitas
Ccerita
di atas hanya sekedar kisah, yang kini tak lebih hanya sekedar romantisme
sejarah agung masa lalu yang tak mampu diperjuangkan pada realitas hari ini. Perubahan
paradigma penduduk menjadi awal runtuhnya nilai-nilai yang telah dipertahankan
pada masa-masa sebelumnya. Dengan rasa bangga yang tidak jelas, eksistensi para
penduduk; mulai dari kaum blater, pemuda, bahkan kaum sarungan pun telah
kehilangan identiasnya.
Tak bisa dipungkiri, laju
dan arus modernis tak satu pun manusia yang mampu membendungnya. Desa-desa
pelosok pun tak jarang para prnduduknya telah mulai terkontaminasi oleh beberapa
ideologi, budaya bahkan melalui sistem politik sekalipun. Hal demikian sangat
jelas telah bergulir mesra bersama para penduduk “Desa Keles” yang tampa sadar telah mencopot identitas
ke-Islaman-nya yang utuh.
Implikasi lebih kronis lagi, adalah ketika hilangnya identitas
menjadi sebuah kebanggaan, dan dinikmati sebagai sebuah keistimewaan. Jadi,
tidak heran jika anak muda-anak muda banyak yang tenggelam pada rayuan gombal
modernisme dengan prinsip-prinsip kemapanan. Hal serupa kini telah menjadi
bagin karakter yang membuat asing pada identitas budaya madura yang mestinya di
pertahankan, sebagai ruh dari setiap wilayah.
Dr Ali Satri’ti dalam gagasannya tentang budaya, bahwa budaya merupakan
gambaran dari setiap karakter penduduk dalam satu wilyah, pemahaman tentang
budaya merupakan bagian dari pemahaman terdalam mengenai sebuah peradaban.
Maka dari itu, pemandangan kontras mengenai kondisi Desa saya yang kian hari
penuh dengan ciplakan memalukan dari budaya dan tradisi luar (baca: peradaban
barat,) perlu langkah kongkret yang penting untuk digagas. walaupun kegelisahan
ini tak dirasakan oleh semua orang, bahkan tokoh agama pun; sebagai kaum
sarungan yang menjadi cerminan masyarakat dalam segala persoalan yang terjadi,
“diam” dan tak bertindak sedikit pun. Entah karna tidak tahu, sengaja untu
tidak tahu, atau bahkan masa bedoh dengan keadaan krusial ini.
Kesibukan mereka hanya di isi oleh ritualisasi agama; tahlil, ngaji, dsb.
Padahal, agama tidak lahir hanya sebagai seperangkat spritual ilahi.
Dalam sejarah kelahiran Islam, Karen Amstrong menulisnya dala biografi kritis
tentang Muhammad Sang Nabi, bahwa kelahiran Islam di peradaban arab saat
atmosfir materialisme dan kapitalisme sangat tinggi, dan Islam berhasil
menghapus akan kedua ideologi besat tersebut.
Hal demikian sebenanrnya ingin mendidik kita agar memiliki pribadi-pribadi
kritis akan persoalan yang tengah bergulir di samping kita. Karna, pemahaman
islam yang utuh bukan hanya percaya bahwa tuhan itu satu, tapi loyalitas tinggi
pada sesama adalah bagian dari ibadah yabng tak boleh di tinggalkan dalam
rangka menjaga eksistensi Islam yang Rahmatan lil ‘alamin.
Pun demikian tak ada bedanya denga para pasukan muda, yang gila pada penampilan—busana
ala modern—mereka menyabutnya. Dalam pandangan golobal, kini praktek
busan telah mereduksi terhadap teminologi “busana.” Mereka meyakini Busana
Modern hanya dalam bentuk memenuhi perkembanyan zaman sekaligus dalam rangka
menghindar dari bahasa-bahasa katrok, kampungan dang udik. Fenomena ini
mengahapus fungsi substansi busana untuk menutupi aurat.
Busana yang mereka anggap sebagai busana Gaul, seolah hanya nama dan
simbol yang melekat pada aksesoris, seperti: baju ketat, celana pencil, dan
celana-celana pendek bagi kaum perempuan yang di kemas sedemikian rupa oleh
kaum kapitalis melalui kampanye besar-besaran via media cetak maupun
elektronik.
Para diktator kapitalis tersebut, berhasil me-ninabobo-kan dan memanfaatkan
ketololan konsumennya demi kepentinga materi. Lebih ironis lagi, terciptanya
keyakinan jika tidak mampu mengikuti trend pasar seolah-olah telah gagal
menjalani kehidupan dan pergaulan dengan seorang teman.
Kerinduan…
Suasana, budaya, tradisi dan karakter penduduk desa
saya, kini benar-benar asing setelah hampir dua tahun saya berada di tempat
yang sangat jauh—jika di tempuh melalui jalan kaki—ah, maaf sedikit
bercanda. Saat pulang kampung realitas yang terjabarkan di atas sangat akrab
pada aktivitas penduduk yang terlihat bangga melakukannya.
Wilayah yang sangat identik dengan etika dan ketundukan pada agama, kini hanya
menjadi sebatas apologi yang sering di katakan oleh para tokoh-tokoh agama saat
mengisi ceramah-ceramah di mushalla dan mesjid. Padahal, mereka sendiri
terperangkap pada dunia kepitalisme dan materialisme yang tak di sadarinya.
Sehingga hal demikian berlanjut menjadi gila kekuasaan politik, budak materi
dan tak pernah memikirkan apa yang terjadi pada tetangga-tetangga di sampingnya
rumahnya.
Desa yang sempat saya banggakan, benar-benar telah tercrabut dari akarnya.
Semua persoalan ini, membuat saya rindu pada Desa yang tak lagi membuat saya
bangga akan semua keadaan yang kini telah berubah. Saya rindu pada suasana desa
yang seperti dulu, dimana para pemudanya bangga dengan pekerjaan sang Ayah
sebagai petani, dan sang Ayah sebagai nelayan. Kembalikan desa saya yang sangat
aku banggakan. Saya sangat merindukannya.
*Penulis adalah
penduduk desa keles,
yang tetap bangga
sebagai putra sang petani.
0 komentar:
Posting Komentar