Oleh: Moh. Roychan Fajar*
Pemikiran
filsafat banyak akan berhenti apabila pemikiran non-filsafat juga berhenti…
Filsafat
adalah bersifat terusmenerus (Perennial).
Kehidupan
segi dalamnya dan lingkungan intelektualnya menghadapkan seorang Filosof kepada
bentuk persoalan-persoalan yang selalu berubah dan tidak akan
membebaskannya
dari tugas berpikir lagi.
(Stephen Korner, Fundamental
Question in Philosophy)
Rangkaian kata di atas,
mengindikasikan bahwa filsafat tak dapat dilepaskan dari aktifitas hidup
sehari-hari, bahkan filsafat berusaha melakukan konstruksi pembebasan atas
segala hal yang mendiskreditkan dan menindas. Namaun pada realitas hari ini,
dalam beberapa perspiktif filsafat acap kali dianggap sebagai disiplin ilmu
yang tidak jelas, mengawang-awang, bahkan ada yang menyatakan menyesatkan.
Munculnya kredo tak bertanggung jawab tentang filsafat tersebut, berawal dari
beberapa karakter di dalamnya yang selalu membuat setiap orang mengkerutkan
dahi untuk memahaminya.
Memang, dalam proses pergerakan
dunia yang serba mengatas namakan “kekuata materi,” dan kesibukan-kesibuan
dunia yang hanya di isi oleh bentuk-bentuk aktivitas dalam memenuhi kenikmatan
ragawi, memburu popularitas, mengejar karir serta kekayaan, filsafat bak
sebatang rokok tanpa asap—yang tak mungkin memberi satu kenikmatan bagi sang
penghisap. Filsafat hanya mampu berbicara pada wilayah dunia abstrak tak mampu
melahirkan beberapa karya yang kongkrit dalam literature peradaban
Lebih dari itu, ditengah pegelaran
euphoria kaum agamis, filsafat selalu di anggap sebagai kebebasan berpikir yang
“arogan,” tak ter-kontrol, sehingga menghasilkan sistem pemikiran yang bebas
pula dalam melakukan penafsiran tentang teks-teks suci para agamawan. Hal
demikian menjadi bahan afirmasi penting bahwa filsafat akan mengantarkan pada
jurang kemusrikan.
Implikasi lebih kronis lagi adalah,
hal demikian menjadi catatan awal bagi setiap orang yang memandang filsafat
sebagai sesuatu yang menakutkan bahkan mengharamkan dalam pandangan-pandangan
islam radikal.
Filsafat yang Sebenarnya
Fakta-fakta di atas, sebenarnya
hanya sebagai narasi kosong para manusia yang tak pernah tenggelam dan bercumbu
mesra bersama manisnya sebuah Filsafat. Sebenarnya, filsafat tak seburuk itu,
pada dasarnya filsafat adalah gerak nalar yang sangat wajar dan sederhana,
sealamiah pernapasan. Falsafat, hanya berusaha mengungkap dan menjawab
misteri-misteri hidup yang dipandang sepele tapi rumit sebenarnya.
Filsafat berusaha mengajak untuk
berpikir sistematis melalui pengalaman-pengalaman empiris serta memburu hal-hal
yang ingin diketahu—yang memang telah ada dalam diri manusia sejak terlahir ke
dunia. Melalui filsafat pula, filsafat akan terus brusaha menjelaskan tentang
sesuatu yang telah ada atau yang mungkin ada dengan simtem berpikir secara
radikal, sistematis, dan kritis. Sehingga, penjelasannya mampu mencakup semua
aspek yang terkait di dalamnya.
Memang, orang lebih banyak memandang
orang yang belajar filsafat sedikit terasa aneh dipandang, terasa aneh untuk
diajak berbicara mengenai hal apa pun. Akan tetapi, seorang yang belajar
filsafat, bahkan para filosof sekalipun, sebenarnya berusaha untuk mengatakan
serta melakukan apa yang dianggap salah walaupun hal terseebut telah
bertentangan dengan kebiasaan.
Mengapa filsafat dibutuhkan?
Dalam sejarah filsafat barat, tak
jarang seorang filosof diasingkan. Bahkan Baruch Spinoza seorang filosof yang
berasal dari kalangan Yahudi di Amsterdam sempat ditinggalkan oleh keluarganya
karna gagasan-gagasan yang dianggap sesat. Beberapa filosof di masa yang lebih
belakangan telah dikutuk dan dihukum mati dengan minum racun, peristiwa ini
sempat terjadi pada Socrates—filosof agung pada masa Yunani kuno.
Seorang filosof tentu harus berus
berani berkata “tidak” dengan tegas pada yang salah, dan berkata “iya” pada
yang benar tanpa terselip sebuah kepentingan-kepentingan indevidu di baliknya.
Namun sayang, tak banyak orang yang melakukan hal demikian. Semua gerak pilihan
akan selalu jatuh dalam kepentingan untuk menjatuhkan lawan tandingnya.
Inikah wajah dunia yang kita
agungkan hari ini? Jangan pernah berbangga hati, dengan segala realitas
“bulsit” ini. Kita butuh para pemikir filosofis untuk menolong kita agar bisa
lari jauh dari kekacauan yang telah mampu me-ninabobo-kan rasio waras manusia
modern pada Abad 21 ini. Apatisme kebanyakan masyarakat hari ini dalam berbagai
dimensi masyarakat pinggiran-pedesaan ortodoks, perkotaan-metropolit adalah tindakan
keliru dalam merespon gerak dan laju perkembangan dunia yang berdiri tegak di
bawah konstelasi kesadaran dungu.
*Penulis
adalah manusia yang berakal waras
0 komentar:
Posting Komentar