Menjadi seorang santri, cukup
menarik ternyata. Kehidupan yang jauh dari kedua orang tua, mendidik
pribadi-pribadi yang mandiri tanpa ketergantungan pada Ibu dan Ayah. Walaupun,
entah dalam satu bulan satu kali, atau setengah bulah satu kali, kita tetap
membutuhkan uang kiriman sebagai modal awal hidup di pesantren.
Bagi orang yang telah terbiasa hidup
di keramaian kota—dengan berbagai kebutuhan yang telah tersedia, dan
prempuan-perempuan cantik dapat disaksikan secara gratis—tentu akan sulit untuk
kerasan bila hidup di pesantren. Bayangkan, Semua santri tanpa terkecuali harus
siap menahan diri untuk tutup mata pada perempuan.
Apa boleh
buat, apabila di
keramaian luar sana kita berlomba untuk mendapatkan perempuan cantik, maka di
pesantren kita akan berlomba untuk mendapatkan pria yang cantik. Karna tak
mungkin, seorang santri akan melawan keamanan pesantren untuk menerobos masuk
ke asrama putri hanya untuk menjalin cinta atau berpacaran.
Apakah
ada, pria yang cantik? Tentu ada. Namun sayang, bahasa cantik kini hanya
diyakini sebagai bahasa yang mengandung konotasi sifat kelembutan dalam merespon
penampilan kaum hawa. Hal demikian terjadi, karna konstruksi kesadaran kita
hari ini, hanya terbangun dari bentuk kebiasaan-kebiasaan simbol yang
forrmalitas. Apabila, sudah keluar dari kebiasaan akan mudah diklaim sebagai
tindakan yang salah. Sejatinya, cantik adalah bahasa yang menngandung makna komprehensif.
Karna bahasa cantik hanya bentuk bahasa yang dihasilkan oleh ekspresi rega
tubuh manusia.
Perempuan
atau pria sama-sama memiliki hak bebas untuk menyandang rupa yang “cantik.” Cantik
tidak hanya untuk wanita, namun juga untuk pria yang memenuhi kreteria
kecantikan terseebut. Sehingga, di tengah culture yang memaksa semua
elemen untuk mengikutinya, walhasil pria cantik akan menjadi objek incaran
dalam memenuhi naluri biologis, siapapun yang menyandang identitas kecantikan,
maka bersiaplah untuk menjadi incaran halayak ramai.
Naluri
Biologis
“Sex”, seluruh aktifitas manusia tak akan
pernah terlepas dari naluri biologis
ini. Mereka selalu berusaha dengan sedemikian rupa untuk memenuhi keinginan
biologisnya. Entah pada lawan jenis atau bahkan sesama jenis. Tentu tidak aneh,
apabila ada seorang yang memilki
naluri biologis pada sesama jenisnya.
Dalam kondisi ini, naluri biologis
ke
sesama jenis adalah
bagian proses tindak lanjut dari konstruksi kesadaran yang tercipta
dari lingkungan yang
sudah terbiasa atas kondisi seperti itu. Namu, yang penting untuk ketahuhi
apakah hal demikian adalah bagian dari kebiasaan yang salah atau
benar?
Salah dan Benar
Perbincangan mengenai salah dan benar, terkadang memang
membuat kita harus mengkerutkan dahi dalam memahaminya. Banyak orang yang
selalu bersibuk ria dengan pertanyaan-pertanyaan yang gusar untuk dipahami,
misalkan: apakah manusia dapat dikatakan baik apabila ia mengerjakan sesuatu
yang baik, atau perkerjaan yang baik karna pekerjaan tersebut dilakukan oleh
orang yang baik?
Pertanyaan diatas apabila ditarik
pada persoalan naluri biologis di atas, akan sampai pada jalan bebatuan
yang sangat sulit untuk dilewati—akan membuat kita pusing tujuh keliling—dalam memahaminya. Namu, mari kita coba untuk membongkar akar
persoalannya. Terkadang, seorang teman hanya memiliki pemahaman yang sempit
mengenai benar
dan salah.
Benar
dan salah adalah bentuk bahasa yang abstrak. Dan proses abstraksi akan muncul
dibalik benda kongkret yang bernilai. Cinta kepada sesama jenis, jelas itu
merupakan tindakan yang keluar dari kebiasaan dan pengalaman dalam kehidupan
yang bebas (Luar Pesantren). Akan tetapi, kita hidup dalam budaya dan kebiasaan
yang berbeda.
Kendati
sudah banyak yang menganggap sebagai tindakan yang keliru, tapi kita harus
kembali pada tujuan awal; dalam rangka memenuhi naluri biologis, karna benar
dan salah hanya dapat kita ukur melalui tujuan akhir mengenai proses untuk
mencapainya. Naluri adalah potensi ruhaniah yang abstrak pula, dan akan
berjalan sesuai dengan realitas keebiasaan yang ia jalani.
Naluri
itu tidak salah (Baca: Insex). Karna tetap berpijak pada kebiasaan yang
memang terbangun. Bahkan naluri tersebut normal. Salah, bagi orang yang
menyatakan sebagai tindakan abnormal. Abnormalitas hanya bisa dinyatakan
sebagai respon bagi tindakan-tindakan yang keluar dari kebiasaan.
Kamis, 04 Januari 2014
0 komentar:
Posting Komentar