M. Roychan Fajar
Pulau Madura
menjadi salah satu “episentrum” Aswaja yang mempunyai kapasitas luar biasa
secara kuantitas—pengikut paham Ahlussunnah waljama'ah menjadi kelompok
mayoritas—di wilayah Madura. Di tengah keberagaman masyarakat Madura, Aswaja
mampu menjadi ideologi yang tepat dalam menuntun masyarakat hidup dengan penuh
toleransi dalam menanggapi keberagaman, entah dalam persoalan keyakinan,
tradisi, budaya dan suku.
Aswaja, sebagai
salah satu ideologi masyarakat Madura juga telah mampu menciptakan dan menjaga
stabilitas sosial serta telah menghapus seluruh ketimpangan-ketimpangan
sosial—yang pernah meresahkan masyarakat. Tapi sayang, situasi dan kondisi
seperti itu hanya bisa kita lihat di masa lalu. Hari ini banyak terlihat
pelanggaran-pelanggaran kemanusiaan yang sulit terbantahkan. Lalu, akankah masa
lalu itu bisa kita ulang kembali hari ini?
Nietzsche dalam
buku kumpulan aforismenya, Der Willezur
Macht, membuka tulisannya dengan gagasan tentang nihilisme. Dia meramalkan,
suatu ketika akan terjadi bahaya dari segala bahaya menimpa manusia, yaitu
nihilisme; salah satu aliran filsafat sosial yang tidak mengakui nilai-nilai
kesusilaan, kemanusiaan, keindahan dan sebagainya.
Kebenaran
tentang ramalan Nietzche dapat kita lihat saat ini. Hal yang paling tampak dari
ramalan Nietzsche di atas, hari Kamis, 20 Juni 2013, telah terjadi “pengusiaran” pengikut Syiah di
Sampang. Anehnya, di wilayah tersebut banyak warga yang berideologi Aswaja. Di
mana Aswaja tak pernah mengajarkan dan mendidik pribadi-pribadi untuk melakukan
tindakan yang merugikan orang lain. Kita tahu, Aswaja selalu mengajarkan serta
menekankan prinsip-prinsip tasamuh, taaddul, tawazun, tawassuth dalam bingkai
kehidupan bermasyarakat.
Kejadian “pengusiran”
tersebut memberi gambaran kepada kita semua, betapa nilai-nilai Aswaja sudah
mulai runtuh dalam tiap diri yang mengaku berpaham Aswaja. Tidak hanya sampai
di situ, realitas aktual tersebut juga akan berimplikasi terhadap citra Aswaja
yang dulunya telah mampu mengawal dan menjaga dengan baik sebuah keberagaman
masyarakat Madura. Citra aswaja, pada perkembangannya, akan tercoreng oleh
runtuhnya nilai-nilai tertinggi yang dilakukan oleh mereka sendiri.
Sayangnya,
tidak semua orang yang menyadarinya. Di kalangan masyarakat sendiri, masih
timbul perdebatan yang begitu akut tentang “pengusiran” kaum minoritas
tersebut. Ada yang menilai, pengusiran tersebut merupakan langkah yang sudah
tepat dilakukan pemerintah, ada pula sebaliknya. Padahal, hemat penulis, apapun
nama dan alasannya, berusaha memindahkan masyarakat dari tanah kelahirannya
merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia.
Sebagai orang
yang berideologi Aswaja, penulis tidak bersepakat dengan adanya “pengusiran”
tersebut. Selain alasan akan mencoreng Aswaja, juga karena alasan kemanusiaan.
Apalagi, kejadian itu ditengarai bagian dari rekayasa sosial oleh orang-orang
tertentu untuk mendapat keuntungan dari adanya “pengusiran” masyarakat Syi'ah
di Sampang. Bagaimanapun, hal itu tidak boleh dibiarkan terus berlangsung lama
sehingga kita dibayangi krisis terus menerus.
Tentu,
persoalan krusial ini tidak bisa kita tanggapi hanya dengan sebatang rokok dan
secangkir kopi di pagi hari. Karena perubahan tidak cukup hanya didiskusikan,
melainkan harus ada tindakan konkret. Setidaknya, ada dua gerakan yang bisa
dilakukan untuk mencapai hal itu. Gerakan pertama adalah gerakan penyadaran. Di
kalangan masyarakat harus terbangun kesadaran akan status negeri ini.
Masyarakat harus sadar, bahwa, meminjam bahasa Anes Baswedan, negeri ini tidak
dibangun hanya untuk kalangan mayoritas, melainkan juga untuk minoritas. Dengan
demikian, diharapkan masyarakat mayoritas mau berbagi tempat dengan masyarakat
minoritas. Setelah itu, giliran pemerintah untuk tegas melindungi masyarakat.
Tugas pemerintah mengayomi dan memberikan perlindungan, bukan malah menjadi
aktor juga di pengusiran tersebut. Kerangka ini harus dijadikan frame oleh
negara.
*Penulis adalah manusia
yang tanpa henti merindukan kasih
sayang Tuhan
0 komentar:
Posting Komentar