“Selamat Ulang Tahun,”
ucapan itu saya terima di SMS, akun Facebook dan media sosial lainnya yang saya
miliki. Pasalnya, pada tanggal 23 September, memang adalah hari ulang tahu saya. Untung, pada hari
tersebut, saya tidak berada di Pondok, karena kalau ada di Pondok, dapat dipastika
yang telah mandi tepung dan menerima lemparan telur dari sahabat-sahabat karib
saya.
Ya, itu adalah salah satu
ritual yang kami yakini sebagai aksi perekat terhadap kukuhnya persahabatan
kami. Ritual tersebut memang tidak kami rayakan dengan memotong kue, memberikan
hadiah mewah dan kejutan menggembirakan sebagaimana banyak orang lakukan.
Karena, sebuah ritual sebagai simbol dan penanda memang tampil tak selamanya
seragam.
Pengalaman tersebut pernah
saya alami tahun lalu, dengan tiba-tiba sahabat saya menungkan tomat ke atas
kepala. Semuanya hanya tertawa sambil bernyanyi: happy bitr day to
you... happy bitr day to you... happy
bitr day to you... Saya hanya bisa tersenyum dan langsung mandi
membersihkan tomat dikepala saya itu.
Pada hari ulang tahun yang
ke-21 ini, saya anggap pestanya adalah persembahan do’a dari sahabat-sahabat
saya, “terimakasih atas do’anya sahabat-sahabatku”. Saya sebut pesta, karena
pesta memang diproyeksikan sebagai ritual untuk melahirkan kebahagiaan,
persembahan do’a tersebut membuat saya bahagia, oleh karena itu saya
menyebutnya pesta. Dalam keadaan ini, saya bersyukur, ternyata tak ada
do’a—yang mereka persembahkan—bernada buruk. Do’a-do’a tersebut semuanya
benar-beanar “baik” untuk masa depan hidup saya kedepan.
Dari harapan mereka semua, ternyata sebanding lurus dengan
cita-cita dan keinginan hidup saya. Namun, tak ada dari mereka yang berharap
dan bersedia memberikan saran tentang bagimana caranya dan/atau apa yang harus
dilakukan untuk menggapai keberhasilan yang relevan degan harapan yang banyak
mereka tuangkan dalam bentuk do’a.
Keadaan ini dari dulu
cukup membuat kepala saya pening dan ruet. Karena saya menyadari bahwa hidup
tak selesai dengan do’a yang baik. Do’a hanya kristalisasi dari segala bentuk
keinginan yang semua orang bisa menyatakannya. Yang lebih sulit, bagaimana kita
membuat do’a tersebut dapat diterima oleh Tuhan sehingga bisa hidup sebagaimana
harapan dan cita-citanya.
Cita-cita untuk masa depan
memang bukan persoalan yang sepele.
Dalam setiap renungan yang sempat saya lakukan, saya selalu menghindar untuk
memikirkan masa depan. Tapi saya selalu berdo’a agar masa depan saya kelak
tetap berada dalam ridha-Nya. Namun dalam kesempatan yang berbeda, terdapat
rasa pesimis, dan gundah apakah Tuhan akan mendengar dan mengabulkan permintaan
saya itu.
Saya berharap Tuhan tak menganggap
permintaan saya tersebut berlebihan, sehingga akan mengabulkan permintaan saya
tersebut. Permintaan saya sederhana, cukup Tuhan memberikan semangat untuk
selalu belajar, itu sudah cukup bagi
saya.
Karena, saya masih sepakat bahwa kunci kebahagiaan hidup dunia
dan akhirat adalah lautan ilmu dan pengetahuan. Bahkan lebih dalam, untuk
konteks hari ini, mencari ilmu harus dinyatakan sebading dengan perang dalam melawan kebatilan
sebagaimana yang telah dilakukan oleh founding
father kita semua dulu.
Bukan saatnya
menyelesaikan persoalan dengan mengangkat pedang. Peristiwa kronis—kemunduran
peradaban—kita adalah gejala yang lahir dari rendahnya kualitas intelektual
dalam diri setiap umat. Maka dari itu, semangat mencari ilmu bagi saya adalah
sangat penting untuk merawat pribadi sendiri secara khusus, atau untuk
masyarakat luas secara umum.
Namun bagitulah, setiap
tindakan baik, memang akan senantiasa berbarengan dengan tantangan yang berat.
Namun saya percaya bahwa Tuhan memberikan ujian dan cobaan kepada hambanya
sesuai dengan kapasitas hamba itu sendiri. Inilah pula salah satu semangat saya yang tetap saya amini
sehingga, mengabadikan keinginan saya untuk selalu dikaruniai semangat mencari
ilmu yang besar dan luas.
Membongkar
Finalitas Masa Depan
Semangat mencari ilmu juga
sebagai keinginan yang meniscayakan satu proses yang terus berlangsung. Maka
dari itu “masa depan” dalam pikiran saya memposisikan diri sebagai satu
kongklusi yang terus “bergerak”. Lewat hal ini, bagi saya, dapat menghayati makna dan hasil
masa depan yang sesungguhnya. Menghayati berarti, mempertanyakan, menggugat,
dan menjadikan masa depan kita sebagai eksperimen terus menerus untuk
menguji kinerja hidup kita di dunia.
Dalam konteks ini, tak ada
masa depan yang selesai. Masa depan
selalu berproses, begitu juga “kesuksesan” yang banyak orang mengimpikan hal
itu dapat mereka capai dalam perkembangan waktu yang bernama “masa depan”.
Seiring dengan hal ini, kemudian mengilhami satu keyakinan bahwa “ilmu” harus
melampaui ruang waktu.
Beginalah cara saya
mencintai hidup. Beginilah pula hidup harus dipahami. Bahwa tak ada gagasan
final tentang makna kehidupan, ia terus melangkah pada proses yang abadi. Dan
ia harus selalu mendapat koreksi dan evaluasi agar terjadi pengalaman dialektis
untuk mencapai butir-butir keinginan dari setiap pribadi manusia. Sudah saat
kita lakukan “Dekonstruksi” pemikiran terhadap masa depan yang selalu dimaknai
sebagai pemahaman final.
Kalau Derrida pernah
mengibaratkan Dekonstruksi sebagai upaya “berfilsafat dengan palu”, maka tak
ada salahnya saat ini kita amini gagasan tersebut. Dengan palu, marilah kita
hancurkan berhala kesuksesan dalam masa depan, yang selalu dipuja oleh berbagai
kalangan penduduk negeri ini.
Karena sudah banyak
fonomena riskan yang terjadi akhir-akhir ini, karena pengaruh “berhala
kesuksesan” tersebut. Misalkan, banyak yang meyakini barometer kesuksesan
dengan simbol kekayaan. Akhirnya banyak orang tua yang setres karena anaknya
setelah masuk di Universitas Kedokteran dengan biaya mahal tapi tidak bisa
membalikkan modal saat ia kuliah. Pun demikian, banyak pula orang yang mengukur
kesuksesan dalam PT Pendidikan dengan menjadi PNS, sehingga salah apabila
sarjana pendidikan berkerja dalam ranah pertanian.