**Oleh Moh Roychan Fajar
Sejarah
manusia adalah testimoni pergolakan rasonalisme dan empirisme. Keduanya terus
bersaing dan berdebat dalam mendapatkan klaim kebenaran bagi kehidupan seluruh
umat manusia. Satu kebenaran dengan kualitas pengetahuan yang bebas dan abadi,
tak tergoyahkan oleh siapa pun dan sampai pada waktu kapan pun.
Akan
tetapi, akal maupun indra sampai saat ini—kedanti terus berkembang dalam
menyusun konsep teoretis—tetap saja tak memuaskan seorang pribadi yang haus
kebebasan dan keabadian pengetahuan. Kekuatan otak hanya mampu menjebak
pengikutnya terhadap “penghambaan konsep”. Begitupun indra, selalu tampil
dengan gagasan ‘sparatis’ ditengah
kehidupan umat beragama. Ia menolak realitas yang berada di luar jangkauan
indra.
Padahal khazanah pemikiran Islam, kita meyakini
bahwa yang desebut ada, tak harus terlihat oleh indra penglihat (mata). Karena
di balik itu ada cakrawala tersebunyi yang berupa realitas transenden. Oleh
karena itu, tidak heran pengetahuan modern hanya mampu membangun “kongklusi
logis” tentang
pengalaman indrawi. Yang pada akhirnya para saintis rasakan mustahil tentang
sebuah dunia lebih tinggi dibandingkan dengan wajah dunia yang hanya disaksikan
oleh indra.
Sementara
kaum rasionalis, selalu, bahwa
yang “masuk akal” adalah pijakan dari segala konsep secara metodis. Ia sangat
berambisi dalam menjelaskan segala bentuk realitas yang terjadi di muka bumi,
dengan menyangkal terhadap petuah klasik, “ada kalanya hidup ini tidak masuk
akal.”
Sungguh,
kulitas suatu konsep tidak akan memadai dalam menerangi pengalaman umum diri
kita. Apalagi, atas
realitas diluar diri kita. Sebagaimana dijelaskan oleh Bergson, simbol-simbol
yang menggantikan objek yang mereka simbolkan dan tidak menuntut upaya kita. Jika
diuji secara teliti, masing-masing simbol menyimpan banyak bagian objek yang
lazim baginya dan bagi yang lainnya.
Sehingga,
proyeksi otak (akal) tak akan pernah mengantarkan kita dalam menyelami luasnya
asensi diri yang origin. Pengetahuan yang berupa konsep hanya memuat
gejala-hejala, relasi, dan kemiripan-kemiripa yang bukan tentang benda an
sich, sebagaimana Dr.
Ishrat Hasan Enver.
Cogeto
Ergo Sum (aku berpikir, maka aku ada), adalah petuah klasik dari seorang Bapak rasionalis modern, Rene
Descartes. Satu pemikiran yang menyatakan bahwa bukti eksistesi diri merupakan
ia yang sedang berpikir. Kebenaran dalam teori ini, hanya sejauh mana sebagai
kongklusi (kesimpulan) dalam
bentuk kualitas konsep. Sekali lagi, pengetahuan yang terjabak dalam “lingkaran
konsep” akan berbuah sia-sia.
Tanya yang
dapat diajukan, dapatkah kita melampaui itu? Iya, tentu saja bisa. Kita akan
memakai Instusi sebagai pintu masuk
pada pengetahuan yang absolut. Menurut Iqbal melalui Intuisi, kita dapat
merasakan adanya diri itu nyata dan benar-benar ada. Sehingga kehadiran kita
adalah benar-benar nyata yang dapat kita kenali. Realitasnya adalah suatu
kenyataan.
Tentunya
bukan kenyataan yang berupa ilustrasi yang bersifat konsepsional, atau gambaran
indra yang hanya bersifat sementara, sebagaimna yang diyakini oleh kaum empiris
atau rasionalis. Namun sudah berupa kolektifitas kesadaran yang akan menjadi
sebagai dasar yang pasti. Yakni, Intuisi.
Melalui
intuisi, kita akan merasakan tentang pribadi yang ada, sebagai pusat segala
aktivitas dan tindakan. Pusat ini, pada dasarnya menjadi sebuah inti
kepribadian, yang disebut oleh Iqbal, sebagai Ego. Ego adalah diri yang abadi.
Diri yang tunggal, dan tak terbagi. Ia adalah persepsi langsung atas dirinya
sendiri.
Sejalan
dengan al-Ghazali, bahwa hakikat diri adalah sebuah entitas tersendiri yang
melampaui dan berada di atas pengalaman-pengalaman kejiwaan. Kendati pengalaman
acapkali datang tak diundang dan pulang tak diantar, namun substansi jiwa akan
tetap sedemikian rupa adanya. Ia abadi.
Sebagaimana
dalam keyakinan psikologi ortodoks, bahwa diri hanya sebatas kumpulan
pengalaman-pengalaman yangn termanifestasikan dalam prinsip kehudupan secara
gradual. Namun yang tak dapat dilupakan bahwa diri bukan sebatas kumpulan pengalaman-pengalaman,
ada juga satu kesatuan batin, yang menurut Dr. Ishrat Hasan Enver, adalah inti
pengalaman kita.
Perlahan
tapi pasti, kita (akan) meninggalkan rasionalisme dan empirisisme. Dengan
memposisikan intusi sebagai pijakan pasti. Karena dengan intuisi kita akan
“menyadari” bukan hanya sekedar mengetahui. Dalam prinsip kesadaran, kita tidak
akan membicarakan atau memperdebatkan tentang keabsahan dan relevansi satu
metodologi. Karenan, intuisi menyangkut krangka abstrak yang memiliki kualitas pemahaman
yang tersembunyi—sehingga terkadang—akan cukup membingungkan dalam krangka
pikiran.
Krangka
pemahaman hati seringkali tidak dapat diterjemahkan dalam bentuk bahasa
pikiran. Namun intuisi mampu melahirkan sublemasi kesadaran. Sehingga, bangunan
pengetahuannya akan lebih kuat dan kokoh, tentunya lebih ‘kuat’ dari pada rasio
dan indra. Intuisi dalam proyeksi hati, memang akan terlihat transenden untuk
di-ilmiah-kan dalam bentuk idiom
metodologis. Kedati pun demikian, hal itu tak dapat
dijadikan alasan sebagai
kelemahan dari intuisi ini.
Dalam
krangka tersebut, intuisi akan menyambungkan relasi transensen dalam bentuk
pemahaman yang absolut. Sebagaimana petuah hegel, bahwa pengetahuan harus
diproyeksikan pada titik objektif. Ia mengibaratkan kehidupan manusia adalah
perjalanan yang panjang menuju satu titik pengetahuan yang absolut. Pengetahuan
yang abadi, dan tak mudah digoyahkan oleh berbagai disiplin ilmu yang lainnya.
*Penulis adalah Penggiat Ijtihadul Falasifah PK. PMII
Guluk-Guluk
*Dimuat Koran Kabar Madura.
*Dimuat Koran Kabar Madura.
0 komentar:
Posting Komentar