Ijtihad Memahami Mahasiswa


Oleh Moh Roychan Fajar**

Mahasiswa telah menjadi indentitas yang lumrah dimiliki oleh hampir seluruh lapisan masyarakat (utamanya pemuda). Mahasiswa bukan lagi menjadi “barang mahal” yang hanaya boleh dimiliki oleh kaum elit. Namun masyarakat dengan penghasilan rata-rata menengah pun, kini sudah bayak, anaknya menyandang identitas sebagai mahasiswa.

Bahkan Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD-Dikti) RI dalam Rekab Nasional Semester Genap 2015/2016 menunjukkan jumlsh mahasiswa di berbagai Perguruan Tinggi negeri ini (PT di Bawah Dikti, PT Agama di bawah Kemenag, dan Perguruan Tinggi Kedinasan) mencapai angka: 6,873,981 mahasiswa.

Akan tetapi, kendati jumlah mahasiswa sudah tak terhitung banyakknya di Negeri ini, ada banyak dari menreka yang masih terlihat bingung, bahkan masa bodoh untuk menerjemahkan makna ke-mahasiswa-annya yang menyatu dalam pribadinya. Siapa sebenarnya mahasiswa? Apa sebenarnya tugas mahsiswa yang seutuhnya? Kategori apa saja yang dapat menjadi batasan untuk mendefinisikan mahasiswa?

Abainya terhadap pertanyaan-pertanyaan sepele tersebut, memposisikan mahasiswa sebagai pribadi yang gersang atas substansi dan makna koheren menyangkut tipologi, dan eksistensinya dalam lingkaran zaman . Akhirnya identitas (baca: mahasiswa) tersebut sekedar menjadi prestise untuk melambungkan pribadinya di atas strata sosial yang berkembang.

Bangunan pemahaman tersebut patut disayangkan. Mereka kehilangan arah dalam menentukan sikapnya untuk mengabdi pada bangsa, agama dan negaranya. Identitas tersebut, kini hanya sebagai mitos yang dapat dikagumi dengan substansi dan bukti yang kosong. Kesadaran belajar untuk berjuang dan mengabdi bagi bangsanya sudah tergantikan pada pola pikir yang pragmatis. Hingga akhirnya, menciptakan—secara tidak langsung—implikasi yang riskan untuk bangsa ini.

Memahami mahasiswa harus kita letakkan dalam ilustrasi historis dengan kajian intens dan kritis, sihingga mahasiswa tidak hanya menjadi mitos gemilang saja, tanpa memandang aspek-aspeknya sebagai pribadi banyak kekurangan dalam kuasa prestise tinggi kodisi-sosial masyarakat.

Dalam usaha menerjemahkan mahasiswa saat ini, di sini saya memiliki perbedaan pandangan dominan. Usaha mengetahui mahasiswa secara utuh dalam konteks tugas dan perjuangannya. Sebagaimana yang tertuang dalam sejarahnyamahasiswa yang dalam menghadapi warga asing untuk perjuangan kemerdekaan, mahasiswa dan penggusuran rezim otoriter Suharto tahun 1998 yang kemudian melahirkan era baru, yang bernama: Reformasi (yang kita nikmati hingga saat ini). Dalam hal ini, mahasiswa menghadapi banyak keterbatasan.

Mahasiswa dalam Kerangka
Universal, Historis, Partikular dan Kontekstual
Mahasiswa memang pada saat itu berhasil memperjuangkan cita-cita semua harapan bangsa. Tetapi perjuangan mahasiswa tersebut sebagaimana yang telah ditorehkan adalah perjuang historis, partikular dan kontekstual. Yang pada waktu yang sama, meniscayakan tafsir yang terus berkembang.

Menerjemahkan perjuanga yang harus dilakukan oleh mahasiswa tentu tak boleh dalakukan dalam kerangka verbal. Perjuangan mahasiswa tersebut bersifat universal, dengan situasi sosial dengan seluruh kendala yang ada. Dan kondisi tersebut tidak hadir dengan porsi yang sama dalam masa ini.

Mahasiswa harus berijtihad dalam meretas formulasi baru mengenai tanggung jawab dan perjuangan yang akan mereka lakukan. Tentu tetap dalam satu misi menuju pembangunan bangsa pada nasib yang lebih baik dan terarah. Dalam konteks ini menghadirkan keniscayaan baru dalam menerjemahkan perjuangan dengan cara yang lain.

Karena menurut saya, penjajahan tidak berhenti saat deklarasi dikumandang 17 Agustus ’45 yang lalu, oleh Presiden Soekarno. Penjajahan dalam konteks pola pikir, ideologi, dan tradisi lokalitas, kini harus dipandang sebagai porsi penjajahan kontemporer. Maka dari itu, mahasiswa tidak sebaiknya bersantai ria menghadapi dinamika kebangsaan ini.

Penjajahan Kontemporer  
Atas penjajahan kontemporer ini (saya menyebutnya) identas kebangsaan kita smakin tipis dan memudar. Misalkan dalam menyaksikan fonomena kekerasan yang kerapkali terjadi atas nama agama. Krisis toleransi tersebut sudah barang tentu “membelakangi” falsafah Indonesia, yakni: Bhinika Tunggal Ika. Belum lagi dalam urusan politik, korupsi dan kemiskinan yang lebih banyak terjadi secara struktural.

Inilah penjajahan baru yang harus mahasiswa tumbangkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Mahasiswa dapat membuktikan identitasnya sebagai agen perubahan dalam tataran ini. Untuk menumbangkan penjajahan model ini, mahasiswa harus memiliki kualitas bangunan pengetahuan yang utuh. Dalam pandang Antonio Gramsci, “intelektual organik”; bahwa mahasiswa harus membebaskan diri dari belenggu pembodohan, untuk meraih kekayaan wawasan dalam khazanah kognitif dan afektif.

Nampaknya—dalam kondisi ini—pantas mengamini syair Imam Syafi’i yang terus dipuja oleh para pujangga dunia. “Kalau anak muda tidak bisa menghabiskan waktu mudanya untuk belajar, maka takbirkanlah tiga kali. Sebagai tanda kematiannya”. Mahasiswa adalah pemuda yang harus memiliki spirit belajar yang tinggi. Tanpa belajar, ia adalah fosil yang kering dari kualitas.

Lebih jauh menurut Gramsci, kekayaan wawasan dalam khazanah kognitif dan afektif (sebagai hasil belajar) tersebut harus dapat dibuktikan dalam bentuk aksi kongkret sehingga melahirkan satu perubahan sosial sebagaimana diharapkan oleh masyarakat luas di bumi Nusantara ini. Hanya dengan ini, mahasiwa dapat membuktikan identitas dirinya.

Tercatat sebagai mahasiswa dalam sebuah Perguruan Tinggi (PT) dan memperoleh Jas almamater lembaga tersebut hanyalah formal; bukan itu yang penting. Yang pokok adalah kontribusi serta sumbangsih yang akan mereka torehkan. Tentu merupakan nestapa apabila terdapat pemuda yang dengan bangga memakai almamater PT, namun tak pernah menciptakan perubahan apapun untuk Nusa dan Bangsa ini. Bahkan saya meyakini bangunan pemahaman ini, adalah bagian penjajahan-pembodohan yang harus juga segera ditumpaskan oleh mahasiswa itu sendiri.

Dengan usaha tersebut, mahasiswa akan senantisa dalam menerjemahkan dirinya agar berfungsi secara khusus untuk dirinya sendiri, dan untuk masyarakat Indonesia secara umum. Sehingga, ia akan selalu tampil “segar” dalam melakukan rekonstruksi satu sisi dan dekonstruksi di sisi yang lain untuk meperbaiki tatanan masyarakat Indonesia. Wallahua’lam...

*Ketua LPM Instika
*Dimuat dalam Koran Kampus Instika Fajar News



0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates